Erli tertidur dengan nyenyak Hmm.. sepertinya sudah lama aku tidak melihatnya tidur pulas begini,
Ara memperhatikan wajahnya yang tertidur, wajah itu sudah mulai tenang, mata
yang terkatup dengan sempurna, nafasnya pun naik turun dengan teratur. Ia tidak lagi berjuang dalam mimpinya. Ara
merebahkan diri, mematikan lampu nakas, tapi ia urung tertidur karena
Blackberry Erli berbunyi, dengan cepat ia meraih benda itu, tidak ingin Erli
terbangun dari tidurnya.
“Halo”
“Mas Ara? Maaf mas mengganggu malam-malam”
“Iya Din, ngga apa-apa”
“Aku cuma mau kabari kalau.. Ayah masuk Rumah Sakit”
“Masya Allah, kenapa?”
“Kata Dokter Ayah kondisinya menurun karena stress”
“Memang Ayah stress kenapa?”
“Emm..” Dinda mencari jawaban yang pas “… Masih kepikiran Bunda
kali” ia menggigit bibir, merasa bersalah dengan kata-katanya yang agak sedikit
berbohong
“Kasihan Ayah, tapi.. kami masih di Lombok Din, rencana baru
dua hari lagi pulang, tapi besok aku usahakan kembali ke Jakarta. Kamu yang
sabar ya. Mas Nadir sudah diberitahu?” Ara berkata cepat
“Sudah Mas, tapi baru besok pagi bisa kesini”
“Oo.. ya sudah kamu hati-hati ya disana. Jaga dirimu
baik-baik”
“Iya. Makasih ya Mas. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Dinda menutup telepon, tatapannya menyapu bangsal yang sudah
sangat sepi. Ia sengaja mengajak Dimas dan Nuni karena ia tidak mau sendirian
di Rumah Sakit. Ada keinginan untuk menelpon Yosi, sekedar teman bicara disaat
sepi, tapi kemudian ia urungkan niatnya itu.
PING!!!
Yosi mem-BBM nya, seolah mereka saling terhubung di alam pikiran
Dinda menjawab dengan emoticon senyum
Blm tidur say
I’m at hospital
I’m at hospital
What? Siapa yg sakit?
Ayah
So sorry to hear that? Are u ok? Mau aku temani
Yosi.. kenapa kamu begitu baik?
Apakah benar perasaan itu
masih ada?
Ngga mau kalau cuma lewat BBM, kalo datang baru aku mau hehe
:) Ok, aku akan ke sana
Sure?
Absolutely
Entah apa lagi alasan Yosi kepada istrinya agar dapat pergi di tengah malam begitu, tapi Dinda tidak mau memikirkannya, Dinda memang butuh teman, dan ia butuh bicara. Sambil menunggu Yosi ia memperhatikan wajah Dimas yang tertidur di sofa kamar. Di kasur lipat di sampingnya Nuni pun sudah tertidur.
“Makasih ya sudah repot-repot datang dan menemaniku”
“Ngga repot koq” mereka duduk di kafetaria Rumah Sakit yang
buka dua puluh empat jam, sambil menyesap kopi hitam Yosi tidak berhenti
memandangi Dinda
“What? Stop staring at me”
Yosi tersenyum, tapi lalu senyumnya mulai memudar ketika
mendengar kata-kata Dinda
“Yosi, for our own good, please leave us”
“Apa? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?”
“Karena pada kenyataannya seperti itu.. Aku mohon, menjauhlah dari hidup kami”
“Kenapa kamu berubah? Tadi sore kita masih baik-baik saja”
Dinda terdiam, ia hanya tidak ingin terus-terusan menyakiti Ayah dan dirinya sendiri. Sekarang situasi mereka sudah berbeda. Yosi sudah mempunyai keluarga dan tidak mungkin ada ruang untuk Dinda. Ia harus menyingkir.
“Nanti.. ketika Dimas sudah dewasa, aku akan menceritakan tentang kamu. Tenang saja Yosi, dia akan tahu siapa Ayahnya”
“Kamu tidak bisa menyingkirkan aku seperti ini Dinda”
“Iya aku bisa, ingat Yos aku masih menyimpan Surat
Pernyataan dengan tanda tanganmu dan Papahmu. Kalian tidak boleh mengusik kami”
“How could you”
“It’s a must, tapi.. percayalah Dimas akan tahu kalau kamu
Ayahnya. You can keep my word”
Dengan cara ini Dinda dapat menyelamatkan hidup Ayahnya, dengan cara ini Dinda terhindar dari skandal orang ketiga, dan dengan cara ini ia berharap hidupnya dijauhkan dari masalah.
Jam tiga pagi dan ia hampir tertidur ketika Ayah bangun.
Dengan cara ini Dinda dapat menyelamatkan hidup Ayahnya, dengan cara ini Dinda terhindar dari skandal orang ketiga, dan dengan cara ini ia berharap hidupnya dijauhkan dari masalah.
Jam tiga pagi dan ia hampir tertidur ketika Ayah bangun.
“Din..” suara itu parau dan lemah
“Ayah.. koq sudah bangun?”
Ayah memandang sekeliling
“Iya, Ayah di Rumah Sakit” Dinda seakan tahu apa yang
dipikirkan Ayahnya
“Kenapa harus di bawa ke Rumah Sakit?”
“Ya karena Ayah sakit” Ia tersenyum, diperhatikannya wajah
Ayah yang terlihat lebih tua
“Ayah.. minta maaf ya karena kemarin sudah kasar sama kamu”
“Bukan… Ngga.. Ayah ngga salah. Dinda yang keterlaluan. Maaf
ya Yah”
“Yosi…”
“Ayah ngga usah khawatirkan itu lagi. Aku sudah bicara sama
Yosi untuk tidak mengganggu aku dan Dimas, untuk sementara ini aku rasa itu
yang terbaik”
“Kamu yakin?”
Dinda menghela nafas “Yosi sudah punya keluarga sendiri Yah,
Dinda tidak mau merusak rumah tangga orang”
Ayah tersenyum, wajahnya sudah tidak pucat lagi
“Kamu sudah dewasa sekarang, Bunda pasti bangga sama kamu”
Malam itu, begitu banyak yang mereka bicarakan, saling
melengkapi cerita dimasa lalu, mereka tertawa bersama, menangisi kenangan masa
kecil yang menyedihkan sekaligus konyol.. hanya mereka berdua.
“Ayah dan Bunda ngga pernah membeda-bedakan kalian. Kami menyayangi kalian dengan porsi yang sama. Kalian bertiga punya karakter yang berbeda, jadi cara penanganannya juga berbeda”
Kalimat terakhir Ayah sebelum Ayah kembali tertidur masih terngiang di telinganya. Perbedaan karakter menyebabkan perbedaan perilaku? Begitukah Yah? Oh sungguh sulit menjadi orang tua. Kalian sangat hebat Yah, Bun.. I admire you both. Dinda tertidur di kursi samping tempat tidur Ayah.
Keesokan paginya Mas Nadir datang, menggantikan menjaga Ayah
selama Dinda bekerja. Dan saat itu juga Ayah bersikeras untuk pulang. Ia tidak
mau merepotkan anak-anaknya dan bersikukuh bahwa ia sudah sehat.
“Ayah ngga mau dirawat inap”
“Tapi Ayah masih sakit”
“Cukup kalian menemani Ayah di rumah, everything will be
just fine. Dan lagi Ayah sudah bosan tiduran, Ayah mau bekerja”
"Woops.. satu lagi yang harus berhenti dilakukan Ayah yaitu bekerja"
"Kenapa?"
"Karena.." Nadir mencari kata yang tepat ".. sudah waktunya Ayah melakukan hal-hal yang Ayah suka, playing golf maybe or.. just sit and read many books?"
Ayah menggeleng "Itu malah membuat Ayah tambah sakit, berlama-lama di rumah? No no" Setelah kematian Bunda Ayah malah lebih menyibukkan diri di kantor, ia tidak ingin meratapi kepergian istri tercinta, dan ia memilih bekerja sebagai penawar kehilangannya itu.
Dokter menyetujui keinginan Ayah tapi dengan syarat Ayah harus tetap rawat jalan sampai ia benar-benar pulih.
"Din.. aku mau mengajak Ayah menginap di rumahku. Bolehkan?"
Dinda menatap kakaknya, senang karena Mas Nadir juga selalu perduli kepada Ayah
"Ya bolehlah, kapan?"
"Sekarang" Mas Nadir menandatangani billing yang disodorkan kasir rumah sakit, ia mengedip jenaka. Dinda berharap Ayah tidak menceritakan masalah Yosi kepada Mas Nadir, karena Mas Nadir.. sekali lagi akan mencari Yosi.
"Bunda, kita mau kemana?"
"Mau ke rumah Om Nadir"
Erli masih terduduk kaku di sebelah Ara yang sedang menyetir, sesekali ia berkata "Awas sayang" .. "Eh eh" yang hanya membuat panik Ara
"Duuh Bundaa.. diem dong" Kata Ara gemas
"Iya, tapi itu.. depan. Awas"
Ara menghentikan mobil di bahu jalan, bersedekap dan memandang Erli. Erli tersenyum
"Maaf.. habisnya.."
"Kalau kamu seperti itu terus, aku malah ngga bisa bawa mobil dengan baik. Ngga konsen tahu"
Erli mengarahkan pandangan ke jalan, andai mereka hanya berdua pastilah Ia sudah memeluk Ara dan mengatakan kata 'Maaf' dengan manja, tapi mereka tidak hanya berdua, ada Dinda, Dimas dan Irna yang duduk di bangku tengah dan Nuni, Bik Jum serta Lastri di bangku belakang, jadi Erli hanya berkata
"Iya deh, aku kan masih trauma"
"Baca doa aja dalam hati. Oke Bunda cantik?" dan kata-kata Ara menuai sorakan dari Dimas dan Irna
"Ciee.. Om nih, geniit"
"Iih cantikan juga aku daripada Bunda"
Cinta.. tahukah kamu apa itu cinta? Cinta adalah suatu rasa yang muncul dalam hatimu tanpa kamu sadari.. Cinta itu begitu indah kala kita menempatkannya pada porsi yang benar dan akan menjadi malapetaka bila kita salah mencinta. Tapi apakah ada kesalahan dalam mencinta? Aku pernah membaca sebuah kalimat : Cinta tak pernah salah. Aku kurang menyetujuinya. Menurutku ada banyak kesalahan ketika kita memutuskan untuk mencintai orang yang salah, dan tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada juga kesalahan ketika kita mencintai orang dengan cara yang salah.
Cinta yang hakiki hanya cintanya Ilahi Rabbi, karena Ia lah Sang Maha Rahim, Maha Mencinta. Ia dengan kasihNya memberikan bumi sebagai sarana manusia, makhluk yang Ia ciptakan dengan cinta, walau hal tersebut mendapat 'protes' dari Malaikat bahkan Jin. Lalu cinta siapa lagi yang tanpa syarat? Cinta Ibu kepada anak-anaknya. Sang Khalik bahkan memberikan sedikit sifat MengasihiNya kepada seorang Ibu, yaitu Rahim Ibu sebagai tempat bernaung sang anak sebelum dilahirkan. Dan aku salah satu anak yang beruntung karena memiliki seorang Ibu yang berhati besar. Dengan cinta kasihnya ia mendidik, mengayom dan membesarkan aku serta kedua kakakku. Tidak pernah sekalipun ia berkata kasar kepada kami. Allah memberikan Bunda sedikit sifat kasih, sabar dan lembutNya hingga Bunda dapat begitu baik dalam memperlakukan kami.
Lalu cinta kepada siapa lagi? Dalam keluargaku yang aku tahu ialah cinta kepada Ayah. He is the best father in the world. Tidak percaya? Datanglah ke rumah kami, berbicaralah kepadanya selama satu jam dan kamu akan 'jatuh cinta' kepadanya. Dalam kekurangan mereka sebagai orang tua aku menemukan begitu banyak kelebihan yang bisa aku aplikasikan dalam kehidupan. Aku mencintai mereka.
Aku mencintai kedua kakakku, mencintai putraku yang mulai tumbuh besar dan terus menyatakan kerinduannya kepada ayahnya. Sabar sayangku.. someday i will tell you everything. Aku akan bercerita bagaimana akibat dari ketidakpatuhan kepada nasehat orang tua. Dan dari sana aku berharap kamu dapat memetik hikmahnya. Anakku.. aku akan meneruskan jejak kedua orang tuaku dalam mengamalkan ilmu-ilmu kebaikan kepada dirimu. Sambil terus berdoa engkau tidak akan marah dan meninggalkanku suatu saat nanti.
Cinta dari keluarga.. atas dasar itulah aku tetap bertahan.
"Mamah.. lagi ngapain sih?" Dimas penasaran melihat Dinda sibuk mengetik di Ipadnya
"Lagi apa yaa.. Kasih tahu ngga yaa..?"
"Lagi apa yaa.. Kasih tahu ngga yaa..?"
Dan cintaku kepada seorang pria yang mulai aku buang, lalu aku akan melangkah untuk mendapatkan cinta pria lainnya. Cinta yang dimulai dengan cara yang benar. (to be continued)
Ia mempublishnya. Menyimpan Ipad ke dalam tasnya dan memandang keluar, memperhatikan pepohonan hijau di sepanjang tol Cipularang. Erli masih menatap jalan, disampingnya Ara mengemudi dengan kecepatan pelan.
-50061/50000-