Sore yang tenang itu rusak oleh tamu yang membuat rusuh, Bik
Jum tidak bisa menghalau ketika sang tamu berteriak-teriak ingin bertemu dengan
tuan rumah. Ayah yang baru saja kembali dari kantor cepat-cepat keluar menemui
mereka
“Ada apa ini Bik?”
“Ini Pak, mereka memaksa ingin bertemu dengan Bapak”
“Oh silakan masuk” Ayah mempersilakan masuk mereka
“Begini, langsung saja. Saya tidak akan mengijinkan anak
saya menikah dengan Dinda. Saya jadi curiga jangan-jangan memang itu niat
kalian. Menikahkan Dinda dengan anak saya”
“Mamah”
“Diam kamu Yosi”
“Mamah jangan berbicara seperti itu, kalau Mamah mau
menyalahkan, Yosilah yang pantas disalahkan”
“Diam kamu!! Kamu disini hanya sebagai petunjuk jalan. Kamu tidak
punya hak berbicara” Ibunda Yosi yang berpenampilan laiknya sosialita ternyata
tidak punya manner sedikitpun
“Ibu, tolong jangan membuat onar di rumah saya. Kita bisa
membicarakan ini baik-baik. Saya rasa ibu mengerti sopan santun”
“Hallah, ngga usah berpura-pura. Sebenarnya kalian maunya
apa? Uang?” dengan congkaknya sang ibu berkata
“Mamah!! Stop Mah, jangan seperti itu..”
“PLAAKK… Mamah sudah bilang diam, kamu anak tidak tahu diri”
“Cukup!!!. Saya tidak terima jika anda berlaku kasar di
rumah saya. Silahkan pergi dari sini. Keluar sekarang juga. Dan asal tahu saja
saya juga tidak sudi menikahkan putri saya dengan anak anda”
Ibunda Yosi terkejut diusir seperti itu
“Oke, bagus kalau begitu, jangan menuntut apa-apa kepada
kami. Ayo pulang Yosi, kamu bisanya Cuma merepotkan keluarga”
“Om maafin Mamah saya om..”
“Yosi!”
Ayah hanya menggeleng, ia terduduk di sofa, tidak habis
pikir akan sikap orang tua yang seperti itu. Di ruang keluarga Dinda memeluk
Bunda, matanya terpejam. Ia tidak pernah ibunda Yosi dengan baik, tapi ia juga
tidak menyangka bahwa sang Ibu bisa berlaku seperti itu.
“Bik, kunci pagar depan” Ayah melangkah ke kamar tapi Dinda
mencegatnya
“Ayah” Ia memegang lengan Ayah. Menuntut kata-kata dari Ayah
yang sudah ditunggunya dari kemarin
“Please say something Yah, don’t punish me like this”
Ayah diam sesaat, lalu kemudian dibimbingnya Dinda ke
halaman belakang. Mereka duduk berhadapan
“Kemarin Ayah berniat untuk menikahkan kamu dengan Yosi. Tapi
saat ini tidak lagi. Kita tidak perlu meminta pertanggung jawaban dari mereka.
Ayah akan membuat Surat Perjanjian agar mereka tidak menuntut hak asuh dari
anakmu, karena Ayah yakin suatu hari kelak mereka akan mencari darah daging
mereka sendiri. Terlebih Yosi” kalimat yang Dinda tidak sangka dari Ayah
“Kenapa begitu Yah?”
“Karena untuk saat ini itulah yang terbaik. Ayah bukannya
mau memisahkan anakmu dengan bapaknya. Tapi Ayah Cuma ingin mereka tahu bahwa
tanpa mereka pun Ayah bisa menghidupi anakmu. Kamu dengar sendiri tadi
bagaimana Ibunya Yosi menghina kita. Dia anggap apa kita ini? Tanpa tedeng
aling-aling menghina orang dirumahnya sendiri, menganggap ini konspirasi untuk
mendapatkan anaknya. Dia pikir dia siapa? Mau kamu mempunyai mertua seperti
itu?”
Yang ditanya hanya menunduk
“Sampai kapanpun Ayah tidak rela kamu direndahkan”
“Ayah membenci Yosi?”
“Ayah tidak suka dengan orang tuanya. Dari dulu Ayah
mengingatkan kamu untuk tidak terlalu dekat dengan Yosi tapi kamu membandel.
Ayah sudah feeling kalau hubungan kalian tidak akan baik. Situasi kalian berbeda
dengan Erli dan Ara. Dan Ayah kesal karena kamu tidak menuruti kata-kata Ayah. Lihatkan
bagaimana akibatnya sekarang. Kalian anak muda tidak berpikir panjang, yang
kalian tahu hanya senang-senang sesaat. Padahal apa yang kalian lakukan saat
ini sangat berdampak untuk kehidupan kalian di masa depan”
Dinda masih terdiam, berusaha mencerna setiap kata
“Terus apa selanjutnya kalau sudah begini? Kuliahmu terbengkalai,
hamil tanpa ada suami yang menemani, digunjingkan keluarga dan tetangga. Tidak mempunyai
teman lagi. Kehidupanmu benar-benar berantakan”
“Aku ngga tahu Yah”
“Din, coba sekarang Ayah Tanya, menurutmu apa hikmah dari
semua kejadian ini?” Dinda terdiam, ia tidak tahu apa hikmahnya, yang saat ini ia
tahu bahwa ia telah menghancurkan dirinya sendiri
Bunda menceritakan peristiwa tadi siang kepada Erli, lalu
Erli bercerita kepada Ara, dan Ara menyampaikannya kepada Mas Nadir
“Arggh Damn, gua belum pulang sih. Coba kalau ada gua”
“Aku juga ngga ada Mas”
“Masih mencari pekerjaan? Udah di tempat Ayah aja”
“Sebenarnya sih udah ada titik terang. Kantor yang tadi aku
datangi membuka cabang baru. Jadi aku disuruh stand by aja menunggu info”
“Cabang baru bagaimana? Di kota lain?”
“Bukan cabang sih tapi lebih ke anak perusahaan”
“Ooo.. eh gua masuk dulu ya, mau mandi” Mas Nadir memasukkan
peralatan ke dalam kotak perkakas, setelah melap Kawasaki ninjanya ia menutup
garasi dan masuk ke dalam rumah
“Dinda, udah makan?”
Dinda tersadar dari lamunannya
“Udah”
“Menurut gue elo jangan menghubungi si Yosi itu dulu, nanti
ketahuan ibunya repot lagi, kesini terus mencak-mencak lagi. Elu mau bikin Ayah
Bunda cepat sakit ya?”
“Ya ngga lah Mas”
“Ya uda makanya stop”
Dinda merasa batinnya tertekan, hanya karena satu kesalahan
yang ia lakukan ia harus menanggung begitu banyak derita. Ia teringat ia belum
pernah lagi tertawa bersama yang lain, semua dirumah ini tampak suram. Tidak ada
lagi canda tawa, hanya Mac Gyver yang masih sama. Andai ia bisa mengulang waktu
tak akan ia melakukan kebodohan itu. Dinda menghitung apa lagi yang kira-kira akan
terjadi di waktu mendatang. Kelahiran anaknya yang tanpa didampingi suami? Biaya
membesarkan anak tersebut? Kapan harus kembali melanjutkan kuliah dan kapan ia
dapat bekerja untuk menafkahi diri dan anaknya sendiri? Sampai saat ini ia
belum bertemu dengan keluarga besarnya, perlakuan apa yang ia dapat dari
mereka? Ya Allah maafkan aku, pliiiss
Din
Gmana kabar elu?
Yosi mem-BBM nya, lagi-lagi ia teringat kata-kata Mas Nadir
dan hal itu mengurungkannya untuk membalas BBM Yosi
Din, gua minta maaf ya. Sumpah gua ngga tahu kalau nyokap
begitu kasarnya td siang
Setengah jam kemudian
Din
Pliisss jawab doongg
Gua minta maaaaafffffffff
Dinda is writing a message
Andai maaf elu bisa dijadiin duit, gua udah kaya kali ya Yos
Loh koq ngomongnya begitu
Dinda kembali tidak menjawab
“Assalamu’alaikum, Tantee” Johan kembali menekan bel pagar. Tidak
berapa lama Bibik membukakan pagar
“Mobilnya ngga dibawa masuk Den?”
“Ngga usah, ngga lama. Tante ada?”
“Ada Den
Johan masuk dan menemukan Bunda sedang membuat risoles
“Wuih lagi ada acara apa nih tan?”
“Eh Johan, ada apa Jo?”
“Ini si Reza ulang tahun hari minggu besok” Johan
menyerahkan undangan ulang tahun adik bungsunya
“Oo taruh deh di meja, tangan tante kotor” Bunda
memperlihatkan tangannya yang berlepotan adonan kue. Dinda yang baru keluar
dari kamarnya berpapasan dengan Johan
“Wuee.. tambah ndut aje lo, Din. Sehat lo?” yang ditanya
kikuk, bingung harus menjawab apa. Johan dengan cueknya menatap Dinda dari
ujung kepala sampai kaki
“Jadi lo beneran hamil?” tiba-tiba dada Dinda sesak, ia
terbatuk
“Ckckcck.. elu ngebalap Erli ya? Dia aja ngga jadi-jadi eeh
elu udah duluan. Ckckck” dengan suara pelan takut terdengar oleh orang lain
Johan berkata
“Ehem” Ara berjalan menuruni tangga
“Eh ada pengangguran, enak ye hari gini baru bangun tidur,
turun tinggal makan”
Bayangan beberapa tahun lalu berkelebatan di pikiran Ara,
bagaimana Johan si pelaku tabrak lari yang menabrak Ibunya muncul lagi dalam
ingatan
“Mau ngapain lo ke sini?”
“Terserah gue, ini rumah tante gue”
“Kalo urusan elu udah selesai mendingan elu cabut daripada
bikin reseh”
“Eh siapa lo ngusir-ngusir?”
“Johan.. masih disini toh, Tante kira udah pulang”
“Eee.. ini baru mau pulang Tante. Pulang dulu Tan”
“Iya hati-hati ya” Bunda memandang Dinda dan Ara bergantian “Kalian
kenapa?”
Mereka menggeleng bersamaan
Dua acara yang ingin sekali dihindari oleh Dinda saat ini,
pernikahan Mba Niar dan Ulang tahun Reza. Bunda mengizinkan ia tidak ikut ke
acara ulang tahun tapi ia harus datang ke pernikahan Mba Niar. Ia mematut diri
di depan cermin, berusaha tetap bernafas dalam baju kurung yang sudah sempit di
badannya yang semakin membesar. Mengeluarkan kipas dan memegangnya untuk menutupi
perut, lalu mencoba menyampirkan tas, dengan tujuan yang sama. Menutupi perutnya.
Ia memakai high heel yang sesuai dengan warna pakaian yang ia kenakan
“Dinda, ibu hamil ngga boleh pakai high heel”
“Aneh dong Mba kalau aku pakai sepatu ceper”
“Hufff iya juga ya, ya udah tapi jalannya hati-hati”
“Hooh” dalam hati ia sedikit berharap kalau high heel ini
dapat membebaskannya dari kehamilan, dengan terjatuh lalu keguguran mungkin? Ia
mengernyit ngeri akan khayalannya itu
Erli dan dua keluarganya tidak ikut sibuk mengatur karena
semua sudah ditangani oleh Wedding Organizer, mereka hanya tersenyum manis,
menyambut tamu dan mempersilahkan tamu mencicipi hidangan. Tapi kemudian Erli
melihat seorang tamu yang sangat dikenalnya. Ih ngapain dia disini? Omaigat, mudah-mudahan dia ngga melihat aku.
Dan sebisa mungkin Erli menghindari orang tersebut. Tentu saja hal itu membuat
Ara curiga
“Kamu kenapa sih? Koq seperti orang gelisah?”
“Ha? Ngga.. aku.. aku mau pup” mudah-mudahan bohongku ini
dianggap white lie
“Huff ada-ada saja sih, ya udah sana ke belakang”
“Kamu kan tahu kalau aku ngga bisa itu sembarangan”
“Toiletnya bersih kaleee.. Emangnya toilet umum, Udah sana”
Agar tidak membuat
Ara semakin curiga Erli berjalan menuju rest room
“Hei” sapaan itu mengagetkannya setengah mati, ia terlonjak
dan seketika menjadi patung
“Duuh sombongnya. Biasa aja dooong” orang tersebut melangkah
kehadapan Erli, lalu tersenyum. Senyuman manis yang masih sama pada wajah yang
dulu sempat mencuri hatinya dari Ara
“Kamu ngapain disini?”
“Aku diundang, kalau ngga diundang ya ngga mungkin disini
kan”
“Kamu temannya Mba Niar?”
“Niar? Oh bukan aku temannya Reza” Reza, suami Mba Niar
memang dosen juga, tapi Erli tidak tahu kalau Reza dan Andi mengajar di kampus
yang sama
“Kamu apa kabar De?” Erli celingak-celinguk, mencari sosok
Ara
“Udah dulu ya, dah”
“Eehh tunggu” Andi memegang lengan Erli yang langsung
ditepis olehnya
“Kamu jangan macem-macem. Disini ada Ara dan keluargaku”
“Koq bisa?”
“Ya bisalah, Ara kan adiknya Mba Niar” Erli menyesali
kata-katanya barusan
“Oooo jadi kamu sama Reza iparan dong, hmm bisa dong aku
minta info tentang kamu ke Reza”
“Ngga usah ngaco. Udah deh plis jangan ganggu aku” Erli
berjalan menjauh tapi Andi mengikutinya
“You don’t know how I miss you De’”
“Forget it Mas, udahlah lupain semua, kalau kamu perduli
sama aku, kamu jangan ganggu aku lagi”
“Bisa yah kamu berkata seperti itu”
“Tentu saja bisa, toh aku ngga punya perasaan apa-apa sama
kamu”
“Kamu jahat De’”
“Memang”
-31629/50000-
No comments:
Post a Comment