Terkadang aku ingin pergi jauh, ke tempat dimana tidak ada
yang mengenalku dan akupun tidak bertemu dengan orang-orang yang aku kenal.
Hanya aku dan lingkungan baru.
Aku tidak ingin berada di lingkungan lama yang terus
meracuniku dengan hal-hal yang membuatku terluka. Inginku berjalan tanpa beban,
tanpa tatapan sinis dari orang yang bahkan hanya mengenalku dipermukaan.
Aku ingin bebas, ingin menapaki dunia baru.. Tapi tentu saja
kan ku bawa kau bersamaku. Biarlah yang lain kita tinggalkan dibelakang. Aku hanya
mau kamu, untuk saat ini dan yang akan datang.
“Sstt Joko, sstt woyy”
Joko pemuda yang bekerja sebagai tukang kebun itu sedang
asik merapikan tanaman anggrek di halaman belakang. Ia menoleh
“Mas manggil saya?”
“Ya iyalah, siapa lagi, sini cepetan” Yosi masih berbisik
“Iya mas, ada apa?”
“Lo tolong cariin taxi, terus kalo udah dapet jangan elo
bawa kesini, tapi parkir di depan rumah sebelah aja” Joko manggut-manggut walau
belum mengerti situasi
“Tapi elo sekarang ke kamar gue dulu, bawa turun koper yang
ada dikamar, nah terus lo bawa deh naik taxi. Ngerti ngga?”
“Iya Mas” Joko manggut-manggut lagi
“Udah sana cepetan, nunggu apa lagi… Eh tapi inget jangan
sampai ada yang lihat, termasuk Bik Onah” Bik Onah adalah kakak dari Joko, yang
juga bekerja di rumah Yosi
----------
“Neng Dinda mau kemana? Tumben udah mandi hehe”
“Bosen Bik di rumah terus, aku mau ke mini market depan
komplek ya”
“Waduh sama siapa?”
“Sama Nisa, tadi udah janjian. Udah dulu ya Bik, nanti dia
nunggu kelamaan aku ngga enak” Dinda berlalu cepat dari hadapan Bik Jum, takut
Bik Jum curiga atau bahkan menghalangi. Maaf
ya Nis, nama elo gue pinjam, abisnya cuma elo tetangga yang sekaligus sahabat
dekat.
Dinda menengok ke kanan dan kiri sebelum masuk ke taxi yang
sudah menunggunya di pertigaan. Dadanya naik turun, hamil membuatnya gampang
capek.
“Elu ngapain sih Yos, kenapa ngga ke rumah aja”
“Gua takut, nanti diusir”
“Siapa yang mau mengusir elu”
“Mac Gyver, hehe.. Pak jalan pak”
Taxi berhenti di Stasiun Gambir, Yosi tidak perlu
repot-repot mengantri di loket, karena satu hari sebelumnya ia telah menugaskan
Joko untuk membeli tiket kereta api.
“Yosi.. kita mau kemana?” yang Dinda tahu mereka hanya ingin
makan dan ngobrol di suatu tempat yang sifatnya privasi, tentu saja itu bukan
di rumah. Tapi… kenapa stasiun kereta? Dan kenapa Yosi membawa koper?
Yosi tidak menjawab, ia terus menggandeng tangan Dinda,
memegangnya kuat-kuat seolah takut kalau Dinda akan melepas pegangan itu dan
pergi darinya.
“Jadi Dinda bilangnya mau pergi ke mini market sama Nisa?”
Ayah mengulang perkataan Bik Jum yang menunduk, antara campuran bingung, takut
dan cemas
“Iya pak, Neng Dinda bilangnya begitu sama Bibik. Mau Bibik
anterin dia ngga mau, langsung aja ngeloyor pergi”
“Erli, coba kamu ke rumah Nisa”
“Tadi sudah Erli telpon Yah, Nisa nya belum pulang kuliah
dari tadi pagi. Tapi kata Tante Melda dia akan menanyakan perihal Dinda ke
Nisa, jadi Erli lagi menunggu kabar dari Tante Melda”
“Huff, kemana sih anak itu. Bikin orang panik aja”
Ayah mencoba menelpon kembali..
“Yos, nih ayah telpon lagi.. Duuhh gua takuut. Sumpah gua
ngga mau merepotkan mereka terus, gua mau pulang aja” Dinda menangis
“Ngga bisa pulang sayang, keretanya udah jalan”
“Turun di stasiun berikutnya, gua ngga mau tahu pokoknya gua
mau pulang. Elu mau digebukin lagi sama Mas Nadir?”
“Ih koq ngancem begitu”
“Habisnya” Dinda semakin menangis, membuat orang disekitar
melihat ke arah mereka
“Sttt… elu jangan nangis dong, cepcep.. nanti orang mengira
kalau gua nyulik elu”
“Ya makanya” Dinda menghapus air matanya dengan kasar, bayangan
Ayah yang pastinya akan marah, Bunda yang menangis, Mba Erli yang sangat
khawatir dan Mas Nadir yang… duuhh gua ngga bisa membayangkan akan jadi apa
nanti kalau Yosi bertemu Mas Nadir
“Bisa-bisa elu jadi rempeyek”
“Hah.. Apa?” Yosi tidak mengerti dengan perkataan Dinda yang
tiba-tiba itu
“Gua bilang bisa-bisa elu jadi rempeyek kalau ketemu sama
Mas Nadir” ia cemberut, mengalihkan pandangan ke luar kereta yang melaju
kencang
“Gua lapar”
“Memang tadi di rumah belum makan”
“Udah, tapikan orang hamil itu bawaannya laper melulu, elu
sih ngga pernah hamil”
“Yee masa gua hamil, nanti kaya filmnya Arnold Schwarzenegger
dong, yang apa tuh judulnya, yang dia jadi bapak-bapak tapi hamil”
“Ngga tahu ah, bomad”
Yosi membelikan jajanan khas kereta, aksi suap ini
membuahkan hasil, Dinda tidak terlalu uring-uringan walaupun wajah khawatirnya
terlihat jelas
“Yosi, elu bilang elu mau belajar Islam, bohong ya?”
Yosi menggeleng cepat
“Ngga gua serius, Gua pengen anak gua punya orang tua yang
lengkap makanya gua akan nikahin elu”
“Di Semarang?”
“Hmm di mana aja boleeehh”
“Iiihh ngga lucuuu”
“Aww…” kalau Erli hobinya suka mencubit, Dinda lain lagi, ia
lebih suka menginjak kaki
Dinda mengeluarkan Blackberry-nya, ia akan memberitahukan
keberadaannya kepada orang rumah, harus!!
Mba Erli, sebelumnya Dinda minta maaf sama semuanya kalau
Dinda selalu bikin susah. Dinda ngga tahu kalau bakalan seperti ini.
Jadi ceritanya tadi siang Yosi mengajak ketemuan, dia bilang
dia mau belajar Islam, mau nikahin Dinda. Makanya Dinda keluar rumah, tapi
Dinda bilang sama Bik Jum kalau Dinda mau ke mini market (pliiss jangan omelin
Bik Jum, dia ngga salah). Terus ternyata Yosi membawa Dinda ke Gambir. Beneran
deh Dinda ngga tahu.
Dan sekarang Dinda udah di jalan menuju Semarang. Dinda sih
pengen turun di stasiun berikutnya tapi Dinda takut, kami berdua ngga punya
pengalaman naik turun kereta. Jadi.. dengan terpaksa Dinda (untuk saat ini) akan
ikut Yosi ke Semarang.
Nanti di Semarang Dinda akan kasih tahu alamat rumah
saudaranya Yosi. Pliiss jangan marah yaa… Dinda sayaaang banget sama kalian… Tidak
pernah ada maksud untuk menyusahkan apalagi membuat malu keluarga. Maafin
Dinda.
Peluk cium Dinda untuk semua.
Send. Dinda mengirim email kepada Erli, ia tidak ingin
kalimatnya terpotong sehingga ia memutuskan untuk mengirim email, bukan BBM
atau telepon
----------
“Kita lapor ke polisi aja Yah, Nadir punya teman polisi. Dia
pasti mau bantu”
Sudah jam delapan malam, dan tidak ada kabar dari Dinda,
Bunda mengurung diri di kamar, masih dengan berbalut mukena ia bermunajat
kepada Allah, meminta agar tidak terjadi apa-apa dengan Dinda.
“Bunda” Erli mengetuk pintu kamar, ia membawakan nampan
berisi teh manis hangat dan hakau buatan Bik Jum. Ia masuk setelah Bunda
mempersilakannya masuk
“Bunda makan dulu, dari tadi sore Bunda ngga makan apa-apa”
Erli menahan diri untuk tidak menangis
Bunda menggeleng
“Bunda mengkhawatirkan Dinda, kalau saja tadi sore Bunda ada
di rumah, pasti ngga akan seperti ini”
“Bunda jangan bilang begitu”
Blackberry dikantong Erli berbunyi, ia membukanya, sempat
menahan nafas sebentar lalu..
“Bunda, baca ini.. dari Dinda”
Setelah membacanya Bunda berlari keluar kamar, memberitahukan
hal itu kepada Ayah dan Mas Nadir
“I knew it, aku udah feeling Yah, pasti gara-gara anak
brengsek itu… Arrghh”
“Nadir, kita semua marah, kita kecewa, tapi Ayah ngga mau
kamu bertindak gegabah seperti waktu itu. Ingat itu?” Ara yang juga ada disana
memperhatikan Ayah, semakin lama ia mengenal Ayah semakin bertambah perasaan
respeknya.
Erli hendak menelpon Dinda tapi Ara mencegahnya, menurutnya
akan lebih bijak kalau Erli membalas email tersebut.
Dindaaaa, kamu tuh ya bikin orang panik aja, kamu ngga tahu
betapa sedihnya Bunda. Ia menangis terus, merasa bersalah, takut kamu melakukan
perbuatan nekat. Kamu bikin kita senewen. Hampir aja kita mau lapor polisi,
biar polisi mencari kamu. Apa menurutmu Mas Nadir akan diam saja? Bisa-bisa si
Yosi itu habis sama Mas Nadir, tahu kamu hah? Paham kamu??
Kamu ngga kasian sama Ayah, beliau itu begitu sayangnya sama
kita. Plis Dinda be mature, kamu tidak hidup sendirian, kamu punya kami. Jadi tolong
jangan hanya memikirkan keinginanmu sendiri.
Ara baru membacanya setelah Erli mengirim email tersebut
“Koq begini bahasanya?”
“Habis harusnya bagaimana?”
Ara tidak bisa menjawab, ia hanya menggaruk-garuk kepala
yang sebenarnya tidak gatal
----------
Dinda menangis, lagi. Guncangan tubuhnya membangunkan Yosi
“Kenapa? Laper lagi?”
Dinda tidak menjawab, ia hanya menyerahkan Blackberry-nya
kepada Yosi
“Tuhkan aku bilang apa. Kamu pasti habis sama Mas Nadir”
----------
Keesokan paginya Bunda mencoba menghubungi Dinda, tapi kotak
pesan suara yang menjawab
“Mungkin kehabisan batrei kali Bun, dia kan ngga bisa
ngecharge di kereta” Erli menenangkan. Pagi itu mereka berkumpul di meja makan
seperti biasa, tapi sarapan yang dihidangkan oleh Bik Jum hampir tidak mereka
sentuh. Loose appetite.
----------
Dinda merasa tubuhnya sangat lelah, pegal karena berjam-jam
hanya duduk, dan disini.. di rumah ini ia kembali terduduk untuk mendengarkan ‘ceramah’
dari sepupu jauh Yosi. Pada dasarnya keluarga ini baik, tapi mereka hanya
menyayangkan yang telah terjadi. Selain merasa diceramahi mereka berdua merasa
seperti tahanan yang sedang diwawancara dan dikorek kejahatannya. Untung tadi pas datang langsung dikasih
makan, kalau ngga aku mungkin saat ini udah bertanduk, atau kalau tanduknya
ngga keluar yaa paling banter aku pingsan ditempat. Pikiran Dinda
menerawang, ia membayangkan kasur empuk, selimut tebal dengan ruangan ber-ac,
berendam di bath up seperti yang sering ia lakukan di kamar mandi Bunda kalau
ia merasa penat.
Akhirnya Bima, sepupu jauh tersebut mengijinkan Dinda
beristirahat di kamar tamu. Dinda diberikan handuk bersih dan pakaian ganti
oleh Vivi, istri Bima. Kelegaan yang sangat ketika tubuhnya menyentuh kasur, ia
tidak perduli dengan nasib Yosi yang masih diceramahi Bima. Rasain!, gumamnya sebelum matanya
benar-benar tertutup.
----------
“Assalamu’alaikum” lamat-lamat Dinda memberikan salam
“Wa’alaikumsalam, Neng Dinda?” Bik Jum langsung mengenali
suara itu, dan suara Bik Jum yang kencang membuat orang rumah yang masih berada
di meja makan menghambur menghampirinya. Bik Jum memberikan gagang telepon
kepada Bunda
“Iya Bik, ini aku. Bagaimana keadaan di rumah” Dinda masih
belum tahu kalau gagang telepon sudah berpindah tangan
“Dinda..” Suara Bunda bergetar, walau sedih dan kecewa tapi
ada perasaan syukur kalau putrinya baik-baik saja
“Bundaa.. huhuhu” Dinda tidak kuasa menahan diri, tangisnya
pecah.. ia memegang gagang telepon dengan erat
“Maafin aku Buun, aku sudah durhaka sama Ayah dan Bunda”
“Jangan bilang begitu sayang.. Kamu dimana? Kamu baik-baik
sajakan?” tentu saja Bunda akan memarahinya, tapi nanti bila mereka bertemu.
Memarahi anak di telepon bukanlah tindakan yang baik. Anak akan semakin takut
kepada orang tua, lalu ia akan menyesal telah memberitahukan kesalahannya
kepada orang tuanya. Ia akan melarikan diri, dan tidak bertemu dengan orang tua
adalah tindakan yang ia pikir akan lebih nyaman untuknya.
Ayah membiarkan Bunda
berbicara dengan Dinda sampai Dinda menanyakannya
“Ayah udah berangkat kerja ya Bun?”
“Belum sayang, kamu mau bicara sama Ayah?” Dinda menggeleng
tapi lalu ia sadar kalau Bunda tidak melihatnya
“Hmm ngga usah deh Bunda, Dinda takut. Sudah dulu ya Bun,
ngga enak nih nelpon kelamaan, soalnya Dinda pinjem telpon dari Mba Vivi, BB
Dinda belum dicharge”
“Ya sudah, nanti kalau BB nya sudah ada batreinya jangan
lupa kamu kasih tahu alamat disana ya. Insya Allah hari ini juga kami akan menjemputmu.
Segera ya sayang karena Mba Erli mau
booking tiket” Bunda tidak ingin menunda menjemput Dinda, lebih cepat lebih
baik.
“Iya Bunda, nanti aku sms aja deh dari BB nya Yosi” Yosi
yang namanya disebut langsung melihat kearah Dinda, sedari tadi Yosi berdiam
diri, ia memupuk mental, takut akan kedatangan keluarga Dinda.
-28406/50000-
No comments:
Post a Comment