Thursday, January 26, 2012

Recovery (XXXIX)

Erli tertidur dengan nyenyak Hmm.. sepertinya sudah lama aku tidak melihatnya tidur pulas begini, Ara memperhatikan wajahnya yang tertidur, wajah itu sudah mulai tenang, mata yang terkatup dengan sempurna, nafasnya pun naik turun dengan teratur. Ia tidak lagi berjuang dalam mimpinya. Ara merebahkan diri, mematikan lampu nakas, tapi ia urung tertidur karena Blackberry Erli berbunyi, dengan cepat ia meraih benda itu, tidak ingin Erli terbangun dari tidurnya.



“Halo”
“Mas Ara? Maaf mas mengganggu malam-malam”
“Iya Din, ngga apa-apa”
“Aku cuma mau kabari kalau.. Ayah masuk Rumah Sakit”
“Masya Allah, kenapa?”
“Kata Dokter Ayah kondisinya menurun karena stress”
“Memang Ayah stress kenapa?”
“Emm..” Dinda mencari jawaban yang pas “… Masih kepikiran Bunda kali” ia menggigit bibir, merasa bersalah dengan kata-katanya yang agak sedikit berbohong
“Kasihan Ayah, tapi.. kami masih di Lombok Din, rencana baru dua hari lagi pulang, tapi besok aku usahakan kembali ke Jakarta. Kamu yang sabar ya. Mas Nadir sudah diberitahu?” Ara berkata cepat
“Sudah Mas, tapi baru besok pagi bisa kesini”
“Oo.. ya sudah kamu hati-hati ya disana. Jaga dirimu baik-baik”
“Iya. Makasih ya Mas. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”

Dinda menutup telepon, tatapannya menyapu bangsal yang sudah sangat sepi. Ia sengaja mengajak Dimas dan Nuni karena ia tidak mau sendirian di Rumah Sakit. Ada keinginan untuk menelpon Yosi, sekedar teman bicara disaat sepi, tapi kemudian ia urungkan niatnya itu.

PING!!!

Yosi mem-BBM nya, seolah mereka saling terhubung di alam pikiran
Dinda menjawab dengan emoticon senyum

Blm tidur say

I’m at hospital

What? Siapa yg sakit?

Ayah

So sorry to hear that? Are u ok? Mau aku temani

Yosi.. kenapa kamu begitu baik? 
Apakah benar perasaan itu masih ada?

Ngga mau kalau cuma lewat BBM, kalo datang baru aku mau hehe

:) Ok, aku akan ke sana

Sure?

Absolutely

Entah apa lagi alasan Yosi kepada istrinya agar dapat pergi di tengah malam begitu, tapi Dinda tidak mau memikirkannya, Dinda memang butuh teman, dan ia butuh bicara. Sambil menunggu Yosi ia memperhatikan wajah Dimas yang tertidur di sofa kamar. Di kasur lipat di sampingnya Nuni pun sudah tertidur.

“Makasih ya sudah repot-repot datang dan menemaniku”
“Ngga repot koq” mereka duduk di kafetaria Rumah Sakit yang buka dua puluh empat jam, sambil menyesap kopi hitam Yosi tidak berhenti memandangi Dinda

“What? Stop staring at me”
Yosi tersenyum, tapi lalu senyumnya mulai memudar ketika mendengar kata-kata Dinda
“Yosi, for our own good, please leave us”
“Apa? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?”
“Karena pada kenyataannya seperti itu.. Aku mohon, menjauhlah dari hidup kami”
“Kenapa kamu berubah? Tadi sore kita masih baik-baik saja”

Dinda terdiam, ia hanya tidak ingin terus-terusan menyakiti Ayah dan dirinya sendiri. Sekarang situasi mereka sudah berbeda. Yosi sudah mempunyai keluarga dan tidak mungkin ada ruang untuk Dinda. Ia harus menyingkir.

“Nanti.. ketika Dimas sudah dewasa, aku akan menceritakan tentang kamu. Tenang saja Yosi, dia akan tahu siapa Ayahnya”
“Kamu tidak bisa menyingkirkan aku seperti ini Dinda”
“Iya aku bisa, ingat Yos aku masih menyimpan Surat Pernyataan dengan tanda tanganmu dan Papahmu. Kalian tidak boleh mengusik kami”
“How could you”
“It’s a must, tapi.. percayalah Dimas akan tahu kalau kamu Ayahnya. You can keep my word”

Dengan cara ini Dinda dapat menyelamatkan hidup Ayahnya, dengan cara ini Dinda terhindar dari skandal orang ketiga, dan dengan cara ini ia berharap hidupnya dijauhkan dari masalah.

Jam tiga pagi dan ia hampir tertidur ketika Ayah bangun.
“Din..” suara itu parau dan lemah
“Ayah.. koq sudah bangun?”
Ayah memandang sekeliling
“Iya, Ayah di Rumah Sakit” Dinda seakan tahu apa yang dipikirkan Ayahnya
“Kenapa harus di bawa ke Rumah Sakit?”
“Ya karena Ayah sakit” Ia tersenyum, diperhatikannya wajah Ayah yang terlihat lebih tua
“Ayah.. minta maaf ya karena kemarin sudah kasar sama kamu”
“Bukan… Ngga.. Ayah ngga salah. Dinda yang keterlaluan. Maaf ya Yah”
“Yosi…”
“Ayah ngga usah khawatirkan itu lagi. Aku sudah bicara sama Yosi untuk tidak mengganggu aku dan Dimas, untuk sementara ini aku rasa itu yang terbaik”
“Kamu yakin?”
Dinda menghela nafas “Yosi sudah punya keluarga sendiri Yah, Dinda tidak mau merusak rumah tangga orang”
Ayah tersenyum, wajahnya sudah tidak pucat lagi
“Kamu sudah dewasa sekarang, Bunda pasti bangga sama kamu”
Malam itu, begitu banyak yang mereka bicarakan, saling melengkapi cerita dimasa lalu, mereka tertawa bersama, menangisi kenangan masa kecil yang menyedihkan sekaligus konyol.. hanya mereka berdua.

“Ayah dan Bunda ngga pernah membeda-bedakan kalian. Kami menyayangi kalian dengan porsi yang sama. Kalian bertiga punya karakter yang berbeda, jadi cara penanganannya juga berbeda”

Kalimat terakhir Ayah sebelum Ayah kembali tertidur masih terngiang di telinganya. Perbedaan karakter menyebabkan perbedaan perilaku? Begitukah Yah? Oh sungguh sulit menjadi orang tua. Kalian sangat hebat Yah, Bun.. I admire you both. Dinda tertidur di kursi samping tempat tidur Ayah.

Keesokan paginya Mas Nadir datang, menggantikan menjaga Ayah selama Dinda bekerja. Dan saat itu juga Ayah bersikeras untuk pulang. Ia tidak mau merepotkan anak-anaknya dan bersikukuh bahwa ia sudah sehat.
“Ayah ngga mau dirawat inap”
“Tapi Ayah masih sakit”
“Cukup kalian menemani Ayah di rumah, everything will be just fine. Dan lagi Ayah sudah bosan tiduran, Ayah mau bekerja” 
"Woops.. satu lagi yang harus berhenti dilakukan Ayah yaitu bekerja"
"Kenapa?"
"Karena.." Nadir mencari kata yang tepat ".. sudah waktunya Ayah melakukan hal-hal yang Ayah suka, playing golf maybe or.. just sit and read many books?"
Ayah menggeleng "Itu malah membuat Ayah tambah sakit, berlama-lama di rumah? No no" Setelah kematian Bunda Ayah malah lebih menyibukkan diri di kantor, ia tidak ingin meratapi kepergian istri tercinta, dan ia memilih bekerja sebagai penawar kehilangannya itu.

Dokter menyetujui keinginan Ayah tapi dengan syarat Ayah harus tetap rawat jalan sampai ia benar-benar pulih.

"Din.. aku mau mengajak Ayah menginap di rumahku. Bolehkan?"

Dinda menatap kakaknya, senang karena Mas Nadir juga selalu perduli kepada Ayah
"Ya bolehlah, kapan?"
"Sekarang" Mas Nadir menandatangani billing yang disodorkan kasir rumah sakit, ia mengedip jenaka. Dinda berharap Ayah tidak menceritakan masalah Yosi kepada Mas Nadir, karena Mas Nadir.. sekali lagi akan mencari Yosi.
"Bunda, kita mau kemana?"
"Mau ke rumah Om Nadir"
Erli masih terduduk kaku di sebelah Ara yang sedang menyetir, sesekali ia berkata "Awas sayang" .. "Eh eh" yang hanya membuat panik Ara
"Duuh Bundaa.. diem dong" Kata Ara gemas
"Iya, tapi itu.. depan. Awas"
Ara menghentikan mobil di bahu jalan, bersedekap dan memandang Erli. Erli tersenyum
"Maaf.. habisnya.."
"Kalau kamu seperti itu terus, aku malah ngga bisa bawa mobil dengan baik. Ngga konsen tahu"

Erli mengarahkan pandangan ke jalan, andai mereka hanya berdua pastilah Ia sudah memeluk Ara dan mengatakan kata 'Maaf' dengan manja, tapi mereka tidak hanya berdua, ada Dinda, Dimas dan Irna yang duduk di bangku tengah dan Nuni, Bik Jum serta Lastri di bangku belakang, jadi Erli hanya berkata
"Iya deh, aku kan masih trauma"
"Baca doa aja dalam hati. Oke Bunda cantik?" dan kata-kata Ara menuai sorakan dari Dimas dan Irna 
"Ciee.. Om nih, geniit"
"Iih cantikan juga aku daripada Bunda"  


Cinta.. tahukah kamu apa itu cinta? Cinta adalah suatu rasa yang muncul dalam hatimu tanpa kamu sadari.. Cinta itu begitu indah kala kita menempatkannya pada porsi yang benar dan akan menjadi malapetaka bila kita salah mencinta. Tapi apakah ada kesalahan dalam mencinta? Aku pernah membaca sebuah kalimat : Cinta tak pernah salah. Aku kurang menyetujuinya. Menurutku ada banyak kesalahan ketika kita memutuskan untuk mencintai orang yang salah, dan tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada juga kesalahan ketika kita mencintai orang dengan cara yang salah.

Cinta yang hakiki hanya cintanya Ilahi Rabbi, karena Ia lah Sang Maha Rahim, Maha Mencinta. Ia dengan kasihNya memberikan bumi sebagai sarana manusia, makhluk yang Ia ciptakan dengan cinta, walau hal tersebut mendapat 'protes' dari Malaikat bahkan Jin. Lalu cinta siapa lagi yang tanpa syarat? Cinta Ibu kepada anak-anaknya. Sang Khalik bahkan memberikan sedikit sifat MengasihiNya kepada seorang Ibu, yaitu Rahim Ibu sebagai tempat bernaung sang anak sebelum dilahirkan. Dan aku salah satu anak yang beruntung karena memiliki seorang Ibu yang berhati besar. Dengan cinta kasihnya ia mendidik, mengayom dan membesarkan aku serta kedua kakakku. Tidak pernah sekalipun ia berkata kasar kepada kami. Allah memberikan Bunda sedikit sifat kasih, sabar dan lembutNya hingga Bunda dapat begitu baik dalam memperlakukan kami.

Lalu cinta kepada siapa lagi? Dalam keluargaku yang aku tahu ialah cinta kepada Ayah. He is the best father in the world. Tidak percaya? Datanglah ke rumah kami, berbicaralah kepadanya selama satu jam dan kamu akan 'jatuh cinta' kepadanya. Dalam kekurangan mereka sebagai orang tua aku menemukan begitu banyak kelebihan yang bisa aku aplikasikan dalam kehidupan. Aku mencintai mereka.

Aku mencintai kedua kakakku, mencintai putraku yang mulai tumbuh besar dan terus menyatakan kerinduannya kepada ayahnya. Sabar sayangku.. someday i will tell you everything. Aku akan bercerita bagaimana akibat dari ketidakpatuhan kepada nasehat orang tua. Dan dari sana aku berharap kamu dapat memetik hikmahnya. Anakku.. aku akan meneruskan jejak kedua orang tuaku dalam mengamalkan ilmu-ilmu kebaikan kepada dirimu. Sambil terus berdoa engkau tidak akan marah dan meninggalkanku suatu saat nanti.

Cinta dari keluarga.. atas dasar itulah aku tetap bertahan.
 
"Mamah.. lagi ngapain sih?" Dimas penasaran melihat Dinda sibuk mengetik di Ipadnya
"Lagi apa yaa.. Kasih tahu ngga yaa..?"


Dan cintaku kepada seorang pria yang mulai aku buang, lalu aku akan melangkah untuk mendapatkan cinta pria lainnya. Cinta yang dimulai dengan cara yang benar. (to be continued) 

Ia mempublishnya. Menyimpan Ipad ke dalam tasnya dan memandang keluar, memperhatikan pepohonan hijau di sepanjang tol Cipularang. Erli masih menatap jalan, disampingnya Ara mengemudi dengan kecepatan pelan.

-50061/50000-

Wednesday, January 25, 2012

Ayah sakit (XXXVIII)

Setelah pembicaraan malam itu, sebisa mungkin Dinda menghindari Ayah. Ia pulang larut dari kantor dan berangkat lebih pagi sebelum Ayah keluar kamar untuk sarapan dan berangkat kerja. Protesnya Dimas tidak ia hiraukan, ia butuh waktu untuk memikirkan sikap apa yang harus diambil selanjutnya. Apalagi saat ini ia benar-benar kembali membuka hatinya untuk Yosi. Mereka kembali dekat

Tuesday, January 24, 2012

Its Unwrap (XXXVII)

Serapat-rapat engkau menutup bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Sepintar-pintar engkau menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan ketahuan juga.

Di ruang keluarga, Ayah yang sedang menonton CNN memandang Dimas yang duduk di karpet, sedang merangkai rel kereta berwarna kuning
"Dimas, mainannya bagus sekali, baru ya?"
"Iya Kek, ini kan yang beliin om itu" Dimas mulai menjalankan kereta di relnya
"Om?? Om siapa?"
"Itu looh temennya Mamah"
Ayah tidak pernah melihat Dinda bersama pria, tentu saja mengherankan kalau Dimas mendapat hadiah dari seorang 'om'
"Memang Dimas pernah bertemu dengan temennya Mamah?"
"Sering"
Keheranan Ayah semakin menjadi. Dengan nada santai Ayah mulai bertanya kapan mereka bertemu, dimana dan seperti apa penampilan pria itu.
"Kalau pulang sekolah dan Mamah yang menjemput, aku sering diajak makan, pernah juga hari libur. Orangnya baik Kek"
"Oh ya?"
"Iya, tapi masa ada yang lucu deh" Dimas meninggalkan mainannya dan duduk di pangkuan kakeknya
"Apa?"
"Kan si om itu lagi nemenin aku main di kidzania terus ada ibu-ibu yang bilang "Ih anaknya lucu deh".. memang aku anaknya om itu" dengan kepolosannya Dimas bercerita
"Terus om itu bilang apa?"
"Om itu bilang "Iya anak saya memang lucu, pintar lagi" begiitu"

Sudah dua hari Ayah memikirkan cerita Dimas, ia teringat Yosi, walau ia berharap om yang dimaksud bukan Yosi.

"Dinda, koq baru pulang?" 
"Iya Yah, tadi habis dari rumah Mbak Erli"
"Ada apa?" 
"Mbak sakit Yah, dia... aku mencoba membujuknya untuk ke psikiater"
"Kenapa dengan Mbakmu?"
Dinda menceritakan kondisi Erli, ia bertukar pikiran dengan Ayah
"Ayah punya teman seorang psikiater, Ayah akan berbicara kepadanya"
"Hu-uh, makasih ya Yah. Erli ke kamar dulu ya, capek banget" dan Ayah mengurungkan niatnya untuk menanyakan perihal "Om" tersebut

Keesokan harinya Ayah berkunjung ke rumah Erli, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat perubahan dalam diri Erli. Anaknya itu menjadi lebih kuyu, wajah bulat telurnya berubah tirus dengan kantung mata menghitam. Erli lebih banyak melamun.

"Li.. lihat tas yang ayah pakai. Masih ingat?" Ayah mengacungkan tas kulit berwarna coklat
Erli mengangguk, ia mengenali tas itu, matanya berkaca-kaca 
"Katanya Ayah mau buang, sini Erli bakar"
"Jangan dong, inikan hadiah dari Bunda"
"Katanya Ayah ngga mau pakai" suaranya menggantung di udara
"Ayah berubah pikiran. Ayah akan menjaga barang-barang yang diberikan Bunda. Dan kamu tahu Li Ayah akan menjaga diri Ayah karena itulah yang paling berharga bagi Bundamu dulu"
Erli terdiam
"Aku.. sering mendengar suara Bunda Yah, dan Rian.."
"Rian?"
"Iyaa.. Rian my baby"
"Bagaimana bisa kamu mendengar mereka sedangkan mereka sudah tidak ada. Kamu berhalusinasi?"
"Feel like real"
"Li.. kamu tidak pernah meninggalkan shalat kan?"

Sebelumnya Ayah telah menemui salah satu temannya yang berprofesi sebagai psikiater, sang sahabat mengatakan agar Ayah berbicara kepada Erli dari hati ke hati, menanyakan apa yang ia rasakan, menyentuh tangan Erli dan mengusahakan eye contact ketika berbicara. Erli perlu menyibukkan diri dengan hal-hal yang ia sukai, dan ia juga menyarankan agar mereka berlibur bersama. "Jangan lupa selalu melibatkan Tuhan Hen.. yaah you know better than me laah" sang psikiater menutup pembicaraan mereka.

"Kenapa Ayah bertanya seperti itu?"
"Entahlah, mungkin karena Ayah bingung. Kamu anak Ayah yang paling wise dalam menghadapi masalah. Tapi.. kali ini kamu benar-benar down. Ayah sedih melihatmu seperti ini Li" Ayah menyentuh tangan Erli. Tangan itu lebih kecil dari yang terakhir Ayah ingat
"Aku.. aku sangat rapuh Yah. Without Bunda i am nothing"
"Sstt.. kamu jangan bilang begitu. Ara dan Irna, mereka lebih membutuhkanmu saat ini"
"Tapi Erli butuh Bunda"
"Li.. kamu ingatkan satu ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kesanggupan umatNya?"
Erli mengangguk
"Allah pasti tahu kalau kita sanggup melewati cobaan ini. Semua yang ada di dunia ini cuma titipan sayang.."
"Iya Yah, aku tahu tapi.. kalau bukan karena aku mungkin Bunda masih ada, kalau aku tidak melewati jalan-jalan kecil itu mungkin kita tidak akan seperti ini. Mungkin masih ada Bunda.. dan Rian dalam perutku" Erli menghapus air matanya
"Satu lagi yang dilarang Allah, yaitu berandai-andai. Kamu menyangsikan keputusanNya Li? Bukankah ia memberikan yang terbaik untuk kita? Kamu ingat bahwa Allah memberikan yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan"
"Memangnya saat ini kita butuh kehilangan Bunda?"
Erli menatap wajah Ayah, mencari ketenangan akan ketakutannya sendiri
"Semua yang hidup akan mati kan sayang?"
"Errghh.. in theory i know it for sure, tapi.. aku masih susah mengaplikasikannya"
"Itu sebabnya kamu berhalusinasi? Mendengar suara Bunda dan Rian?"
 
Ara berterima kasih atas kedatangan Ayah, ia menerima usulan Ayah agar tidak membujuk Erli untuk ke psikiater terlebih dahulu, karena Erli akan terus memberontak dan itu hanya akan memperburuk keadaan. Ayah ingin Ara meluangkan waktu berdua saja dengan Erli, pergi ke suatu tempat, mengajaknya kontemplasi, karena itu bukanlah delusi atau schizophrenia, ia hanya mengalami perasaan bersalah yang akut. Dan ia butuh bimbingan untuk itu.

"Darimana Yah?"
"Dari rumah Erli"
"Ooo.. Lalu bagaimana?"
"Sering-seringlah tengok Mbakmu, dia cuma butuh pengertian bahwa semua ini takdir Allah"
"Aku jugakan sibuk Yah, so many things to do"
"Termasuk bertemu dengan pria itu?" Ayah merasa ini kesempatan untuk bertanya
"Pria siapa?"
"Pria yang memberikan mainan kepada Dimas"
Dinda masih diam
"Siapa Din?"
Dinda menarik nafas panjang, mencari kata yang sesuai untuk tidak menimbulkan kemarahan Ayah. Tapi ia tidak ingin terus menutupi, lamat-lamat ia menjawab
"Yosi Yah"

Kini tak ada lagi Bunda yang menenangkan Ayah, memeluknya di kala Ayah marah. Dan tidak ada juga Mbak Erli yang membelanya. Dinda sendirian, menunduk dalam diam. 
"Apa yang kamu harapkan dari dia hah?"
"Dia hanya ingin bertemu dengan Dimas Yah"
"Kenapa kamu tidak cerita ke Ayah?"
"Aku takut Ayah marah" 
"Kamu pikir sekarang Ayah tidak marah? Kamu ingat bagaimana dulu keluarganya menghina kita?"
"Tapi Dimas anaknya Yah"
"Tapi seharusnya kamu membicarakan hal ini kepada Ayah, kamu melangkahi Ayah"
"Yah plis aku sudah dewasa, aku punya hak untuk menentukan hidup anakku sendiri"
"Dinda! Kamu masih tinggal di rumah ini dan kamu masih anak Ayah jadi Ayah berhak tahu segalanya tentang kamu!!"
Dinda masih mau membantah, tapi Ayah berkata lagi
"Memangnya kamu mau kemana kalau kamu ada masalah? Kamu akan kembali ke Ayah, ke keluarga ini. Dan akan selalu seperti itu. Mengerti kamu?"
"Aku selalu salah di mata Ayah, ngga seperti Mbak Erli"
"Jangan bawa-bawa Erli, ngga ada hubungannya sama sekali"
"Tentu aja ada. Ayah memanjakan Erli dan suaminya. Ayah tampung mereka di rumah ini sampai mereka bisa membeli rumah sendiri. Mengurus anaknya sendiri. Ayah bahkan ngga menyalahkannya ketika kecelakaan itu terjadi. Ayah langsung datang memberikannya perhatian ketika tahu ia stres. Kepergian Bunda tidak cuma dirasakan oleh Ayah dan Mbak Erli, aku juga sangat kehilangan, tapi Ayah tidak pernah bertanya perasaanku. Aku capek Yah, aku capek di anak tirikan"

Hampir saja Ayah menamparnya, tapi itu tidak dilakukan. Dan Dinda pergi dari hadapan Ayah..

Hampir saja tangan itu.... , hampir.. besok-besok mungkin bukan hanya hampir.. Dia yang bahkan tidak pernah berkata kasar hampir saja menjatuhkan tangannya kepadaku.. Aku tidak membencimu Mbak, aku cuma.. kadang terganggu dengan semua ini.. Maafkan aku.. 

-47078/50000-

Monday, January 23, 2012

Delusion ? (XXXVI)

“Erli.. Ya Allah... Li.. Lii… Allaah” mobil meluncur, terpelanting, terjungkir balik “Aaaa” Brruukk, menabrak dinding “Aaahhh… La.. ila..ha ila..llah” mata Bunda terpejam setelah erangan panjang, darahnya menetes dari dahi yang terbentur dashboard, mengalir keluar, tercampur dengan aliran air hujan…

Erli terbangun, mengelap keringat di dahi, tubuhnya gemetar
“Sayang, kamu kenapa? Mimpi?” Suara teriakannya membangunkan Ara. Ia menerima gelas yang disodorkan, meminumnya sampai habis, masih dalam diam. Ara memeluknya dan dapat merasakan debaran jantung yang kencang, seperti seseorang yang baru saja berlari sprint
“Tell me, what’s up” Erli masih diam, matanya tertutup karena kenyamanan pelukan Ara, tapi kemudian ia membuka matanya lagi. Ia tidak ingin tertidur.

“Papah, Bunda kenapa?”
“Bunda sakit sayang”
“Jadi Bunda ngga kerja ya?”
Ara menggeleng, setelah kecelakaan itu Erli menjadi sosok yang lemah, ia sering tidak masuk bekerja karena tidak enak badan.

“Bunda.. Bunda sakit ya? Sakit apa?” Irna menghampiri, naek ke ranjang dan menyentuh dahi Erli, hal yang sama yang Erli lakukan kala Irna sakit
“Dede nya nakal lagi ya?” Irna mengira Erli sedang mengalami morning sickness
“Coba aku mau dengar suara dede” Irna meletakkan kepalanya di perut Erli tapi Erli menghindar, ia menepis Irna, berbalik dan menutup tubuhnya dengan selimut. Ia mengacuhkan Irna
“Bundaa” Irna masih berusaha mencari perhatian, tapi Erli berubah menjadi sosok yang lain
“Aku mau tidur, Irna keluar ya, dan tutup pintunya”

Lima menit berlalu dengan Irna masih bertahan, dan Erli pun masih membalikkan badan. Lima menit kemudian Irna turun dari ranjang. Menutup pintu.

“Kakak Irna mau sarapan apa?” Lastri bertanya kepada Irna yang berjalan menunduk. Irna tidak menjawab, ia hanya duduk di kursi makan dengan tangan bersedekap, wajah cemberutnya menarik perhatian Ara
“Kenapa sayang?”
Mendung mulai menggelayuti wajah Irna, dan ‘hujan’ itupun turun. Irna menangis mengadukan sikap Bunda tercinta. Untuk anak seperti Irna sikap Bunda adalah hal yang jarang terjadi, bahkan tidak pernah. Itu membuatnya terluka. 

Setelah Ara membujuknya agar mau berhenti menangis, sarapan dan pergi ke sekolah bersama Lastri, Irna pun menurut, dengan tambahan Ara harus membawakannya banyak donat sepulangnya bekerja nanti.

“Sayang, kita ke Dokter yuk” Erli masih meringkuk di dalam selimutnya, Ara tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi
“I have no idea what happen to you my love. Could you give me some clue?”
Erli berbalik, matanya berkantung
“I dreamt about Bunda, her scream, her bloods”
“Sayang..”
“Aku merasa sangat bersalah, aku merenggut hidup Bunda.. orang yang sangat berarti dalam hidupku, dan aku menusukkan belati ke jantung Ayahku sendiri”
Ara tidak bisa terus-terusan membiarkan ini terjadi, Erli butuh ditangani
“Aku ngga gila sayang, I am normal”
“Iya aku tahu, aku tidak mengatakan kamu gila sayang. And I won’t say that, aku.. cuma akan mengajakmu ke psikiater, you need someone to share”
“Kamu tidak mau mendengar curhatku?”
“I’d love to, tapi kamu butuh orang yang lebih kompeten, yang bisa memberikanmu masukan secara professional”

Tapi Erli menolak, ia bangkit dari tempat tidur, merapikannya dan masuk ke kamar mandi. Tidak lama kemudian ia keluar, turun ke bawah dan sarapan di meja makan
“Kamu koq belum berangkat kerja” ia berkata kepada Ara yang mengawasinya
“Ini mau berangkat, kamu ngga kerja?”
“Mau, setelah ini aku akan pesan taxi” setelah kejadian itu Erli belum berani mengendarai mobil, bahkan sebenarnya ia takut naik mobil. Tapi ia toh tidak mungkin naik sepeda ke kantornya.

Di kantor pun ia banyak merenung, tidak ada lagi keceriaan yang terpancar dari wajahnya. Binarnya seakan hilang dihisap waktu. Ia mengecek BBM nya walau ia tahu tidak akan ada lagi message dari Bunda yang mengingatkan untuk makan siang, tidak ada lagi Bunda yang ia telepon di siang hari untuk menanyakan masak apa hari ini? Atau bagaimana kelakuan Irna? Feel so numb tulisnya di Time Line, semenit kemudian notifikasi twitternya berbunyi Don’t forget to lunch Beb, Love U RT @Erliiiy Feel so numb, Erli tidak menjawab mention Ara.

Erli terbangun karena hujan deras, suara hujan yang dulu disukainya kini tidak lagi ia harapkan, ia tidak ingin hujan terlebih di malam hari. Ia merapatkan tubuhnya ke Ara, menarik lengan Ara agar memeluknya, tindakannya membangunkan Ara
"Hmm.. kenapa sayangku?" 
Erli menggeleng, selama tiga puluh tahun hidupnya baru kali ini ia tidak suka hujan. Ia mencoba menutup mata kembali..

"Aaaahhhh... Erlii.. Astaghfirullahal adzim" dan darah kembali menggenang

Ia tersentak, ingatan itu terus kembali menghantuinya. Ya Allah ampuni segala dosa Bundaku, berikanlah ia tempat yang baik di alam kuburnya, jangan siksa ia Ya Allah. Ara merasakan hangat dilengannya, ia terbangun kembali, menatap langit kamar, mencari adakah kebocoran disana, tapi ternyata air itu bukan berasal dari sana

"Sayang, kamu menangis?"
Erli tersedu
"Mimpi lagi?"
"Itu bukan mimpi, itu kenyataan"
"Kenyataan yang terus membayangimu, dan kita harus.."
"Ngga" Erli terduduk, ia menggeleng, mendekap bantal dan terus menggeleng
"Baiklah, mari sini" Ara memeluknya, dalam kantuknya ia mengelus punggung Erli, jam satu malam.

"Tok.. tok.. Permisi Pak, Bapak memanggil saya?"
"Iya Erli, silahkan duduk.. Eee begini, saya mendapat laporan dari Kepala Divisi mengenai.. kinerjamu yang menurun akhir-akhir ini.." Pak Dibyo berkata langsung ke pokok permasalahan
"Saya ingin tahu apakah kamu sedang ada masalah?" Lanjutnya lagi
"Sebenarnya ini lebih ke masalah pribadi Pak, mungkin Bapak masih ingat tentang kecelakaan yang saya alami beberapa bulan lalu" Erli pun tidak menutup-nutupi duduk persoalannya
"Ah ya, saya masih ingat dengan jelas"
"Saya mohon maaf kalau hal itu mempengaruhi kinerja saya. Saya berusaha untuk melupakannya, tapi.. masih sangat berat Pak. Wajah Ibu saya terus bermain di pelupuk mata"
"Hmm saya mengerti, dan saya turut berduka cita"
"Terima kasih Pak"
"Kalau kamu mau kamu bisa ambil cuti untuk menenangkan dirimu"
"Sungguh Pak?"
"Ya kenapa tidak?"

Tawaran cuti diterima dengan baik oleh Ara, ia sangat berharap Erli mau 'mengobati' traumanya
"Sudah berapa kali aku bilang aku ngga gila!!"
"Aku juga ngga pernah bilang begitu kan sayang"
"Iya, kamu memang tidak mengatakannya, tapi dengan kamu menyuruh aku ke psikiater itu sama saja kamu mengatakan aku sakit jiwa"
"Beeb, plis.. psikiater itu bukan untuk orang gila"
"Aku tidak mau!!"
"Tolong Beb, for your own good. Aku tidak mau kamu terus menangisi Bunda dan Rian, mereka sudah pergi. Kita doakan mereka tapi jangan ratapi"
Mereka tidak sadar kalau pembicaraan mereka terdengar sampai keluar kamar. Irna menopang dagu, mendengarkan dan berusaha mencerna kalimat-kalimat itu

Keesokan harinya
"Bunda"
"Iya"
"Memang dede Rian udah ngga ada? Meninggal juga bareng sama Umi?"
Pertanyaan itu menyentak Erli, seketika itu juga ia menatap Irna
"Tahu darimana kamu?"
"Kemaren waktu Papah bertengkar sama Bunda, Irna dengar"
"Irna, kamu tuh ngga boleh ya menguping pembicaraan orang tua. Mulai ngga sopan ya kamu, siapa yang mengajari?" Erli mencengkram lengan Irna lalu tanpa menunggu jawaban dari Irna ia meninggalkannya.

Mental Erli semakin hari semakin memburuk. Ia sering marah-marah, menangis dalam kesendirian. Bayangan-bayangan atas 'dosanya' terus menghantui. Ia mulai berhalusinasi, ia merasa mendengar suara bayi kecil menangis.

"Kalau ia bilang ia mendengar suara Bunda menangis aku masih maklum Din, anggap saja itu tangisan Bunda waktu di mobil , tapi.. kalau bayi menangis? Hff Rian kan belum dilahirkan"
Dinda terdiam sebentar, lalu dengan memberanikan diri ia bertanya "Delusion?"
Ara mengangkat bahu tanda tak tahu, ia bercerita kepada Dinda karena ia pikir Dinda lah yang paling mengenal Erli saat ini
"Tolong kamu bujuk Mbakmu agar ia mau diobati, apa sajalah, mau ke psikiater kek, ikut pengajian kek, ngobrol sama Ustad kek, what ever" 

Blackberry Dinda yang ia letakkan di meja berbunyi, ia mengambilnya sebelum Ara melihat siapa yang menelepon
"Halo.."
"Kamu dimana?" tanya Yosi


-45950/50000-

Move on? (XXXV)

"Din, aku turut berduka cita ya atas kepergian Ibumu, aku tahu kalau ia sangat berarti untuk kalian"
Kata-kata Yosi terdengar tulus. Ini kali keempat mereka bertemu di pelataran parkir sekolah Dimas. Seperti janji Dinda Yosi boleh melihat Dimas tapi tidak boleh bersinggungan langsung dan untuk itu Dinda sebisa mungkin mengawasi Dimas

"Thanks"
"Dimas lucu yah, ia sepertinya anak yang pintar"
"Damn Right" Yosi hanya melihat Dinda, kata-kata Dinda yang kasar tidak ditanggapi

Dimas keluar dari kelas, dibelakangnya Irna berlari kecil mengejarnya. Kedua bocah itu berjalan menuju Nuni dan Pak Kirun yang sudah datang menjemput mereka. Dimas tidak tahu keberadaan Dinda.

"Sampai kapan aku akan seperti ini? Menunggu di sudut dan hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku ingin memeluknya Din"
"No you can't" Dinda menjawab singkat
"Din.. plis berhenti bersikap kaku. Ini aku.. Yosi, orang yang dulu kau cintai, Ayah dari Dimas"
"Yos, cinta kita itu cinta monyet"
"Aku tidak menganggapnya begitu"
"Ya sudah, it's up to you. Bygones" Dinda melangkah pergi. Tugasnya sudah selesai
"Bisakah kita ngobrol di suatu tempat? Sambil lunch?"
"I'm busy"
"Iya aku tahu kamu wanita karier, but please.. jangan terus menghindari aku"

Yosi tidak tahu betapa inginnya Dinda bersama Yosi, membicarakan masa lalu mereka, bertukar cerita tentang apa yang terjadi selama beberapa tahun ini, mengatakan kepada Yosi bahwa ia merindukannya.. Yah Dinda masih menyimpan perasaan itu, bagaimana mungkin ia mengabaikan Ayah dari putranya? cinta itu masih ada, walaupun beberapa pria berusaha mendekatinya tapi ia menolak. Jauh dilubuk hatinya ia masih menginginkan Yosi.
"Next time ya" tapi itulah yang keluar dari bibir Dinda

Move on.. kata-kata itu kembali terngiang di telinga Dinda, I don't wanna move on, i wanna move back, with him.. Lamunannya kembali ke episode lama dalam hidupnya. Andai orang tua Yosi mengijinkan mereka menikah mungkin saat ini berbeda, mungkin saat ini ia tidak perlu bekerja pontang panting untuk menghidupi dirinya dan Dimas, bahkan mungkin.. ia yang akan menemani Bunda mencari kado untuk Ayah dan Bunda tidak akan.. Astaghfirullah, maafkan aku Ya Allah, aku hanya belum bisa menerima ini semua. It's too much.

Ajakan selanjutnya Dinda mengangguk, atas dasar "tidak enak" ia menerima tawaran Yosi untuk makan siang

"So.. how's life?"
"Like you see, I'm alive"
"Din.. plis deh, jawabnya ngga usah seperti itu kenapa sih"
"Seperti apa?"
"Sinis"
"Hhh.. Jadi aku harus apa? Bermanis-manis?"
Yosi terdiam, lalu ia berkata
"Kamu masih marah denganku? dengan keluargaku? Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kebencianmu itu? Tolong Din, aku sangat kangen kamu yang dulu, kamu yang terbuka, kamu yang.. ceria. Dari pertama aku bertemu kembali denganmu aku tidak melihat tawamu. Sesulit apa efek dari perbuatan kita? Katakan Din.. aku ingin merasakan penderitaanmu"

Dinda meleleh, kata-kata itu seperti angin surga ditengah-tengah kepayahannya
"Kamu tidak tahu apa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, aku banyak menangisi hidupku, tapi juga tertawa.. karena Dimas. Kamu tidak tahu Yos" jawabnya pelan
"So ceritakan kepadaku agar aku tahu" Yosi semakin menuntut, ingin sekali ia kembali involve ke dalam hidup Dinda. Dinda merasakan kenyamanan yang dulu, rasa tentram yang membuatnya mengindahkan larangan Ayah untuk dekat dengan Yosi.

"Mamah.. koq Mamah yang jemput, bukannya Mbak Nuni?" Dimas bertanya ketika suatu hari dilihatnya Dinda menunggunya di luar pagar sekolah
"Kamu lebih senang dijemput Mbak Nuni yaa daripada Mamah?"
"Ya ngga laah hehe"
Dimas dan Irna memasuki mobil, duduk di tengah lalu menggunakan safety belt. Tanpa banyak bicara Dinda mengantarkan Irna pulang ke rumahnya yang memang tidak jauh dari sekolah, pun dengan rumah Ayah. Ara sengaja mencari rumah yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ayah karena ia tahu bahwa Erli akan sangat membutuhkan kedekatan itu.
"Dadagh Irna, salam ya sama Bunda and Papah" 
"Dadagh, makasih tante. See ya tomorrow Dimas"
"Byee" Dimas menutup kaca

Dinda menjalankan mobil setelah dilihatnya Lastri keluar rumah dan menyongsong Irna.
"Kita ke mall sebentar ya Mas"
Dimas memandangnya dengan heran "Mamah ngga kerja?" 
"Tadi ijin sebentar, nanti balik lagi"
"Huumm.. bekerja itu bisa keluar-keluar ya? Dimas ngga bisa loh di kelas, paling-paling kalau mau ke toilet aja" Dinda tersenyum, sudah terbiasa dengan kritisnya sang putra. Ia lebih menyiapkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Yosi. Nanti.. setelah ia mempertemukan mereka berdua akan ada banyak pertanyaan dari Dimas.
Agar jauh dari jangkauan penglihatan, Dinda memilih tempat duduk agak di sudut, duduknya gelisah sementara Dimas sudah mengaduk Ice Creamnya, cheesecake yang diblender dengan peppermint choco plus taburan oreo membuatnya tidak memperhatikan kegelisahan Dinda.

Orang yang ditunggu datang..
"Ehem.. Dinda? Apa kabarnya?" rencana mereka adalah pertemuan itu merupakan pertemuan tak terduga
"Eh Yosi? Hei apa kabar? Aku baik" 
Lalu Yosi duduk di hadapan Dimas
"Dimas, kenalkan ini teman Mamah" perhatian Dimas tidak lagi ke mangkuk ice cream, ia melihat Yosi lalu menerima uluran tangan Yosi
"Namaku Dimas" ia berkata seperti yang selalu diajarkan Mamah
"Hai Dimas.. Eee kalau nama lengkapnya siapa?"
"Dimas Zahirul Amin"
"Wah nama yang bagus sekali.. Siapa yang kasih nama itu?"
"Ya Mamah aku lah"
Dinda diam
"Ooo.. artinya apa tuh kalau om boleh tahu" senyum Yosi masih mengembang
Dimas menengok ke arah Dinda
"Jawab dong Mas" dalam hati ia berdoa agar ia terus dikuatkan
"Dimas itu artinya terkasih, kaloo Zahir itu artinya pelindung, terus kaloo Amin.." ia menengok lagi, meminta bantuan sang Ibu
"Amin artinya dapat dipercaya, jadi kalau digabung?"
"Kalau digabung berarti anak yang dikasihi dan bisa melindungi, samaa bisa dipercaya"
Yosi terkagum-kagum akan kepintaran anak kelas satu SD itu, ia hampir saja ingin memeluknya tapi untunglah ia menyadari posisinya
"Waah hebat sekali ya Dimas, memangnya Dimas mau melindungi siapa sih?"
"Ya Mamah laah" 

Dalam BBM nya Yosi berterima kasih atas pertemuan itu, dengan nada tidak memaksa ia mengharapkan bisa bertemu lagi dengan Dimas, Ya memang Yosi tidak memaksa secara langsung tetapi ia sangat piawai dalam meracik kata-kata sehingga tanpa disadari, Dinda sudah terintimidasi olehnya. Apalagi Dimas pun mengatakan bahwa pertemuan itu menyenangkan

"Mah om itu itu siapa sih?" Dimas bertanya dalam perjalanan pulang
"Teman Mamah, kenapa?"
"Orangnya baik yah, aku senang ketemu sama om itu" 

Dan bagian dalam rencana mereka pula bahwa Yosi tidak memperkenalkan diri. Dinda tidak ingin Dimas menceritakan pertemuan ini dan menyebut nama Yosi di keluarganya.

"Mamah kenal dimana?"
"Teman Mamah dulu"
"Rumahnya dimana?"
"Duh, Mamah juga ngga tahu"
"Sepertinya aku pernah lihat, emmm dimana yaa?"
"Dimana.. dimanaa.. dimanaa..."
"Aahh Mamah niihh kaya Ayu tingting aja, males deh"

Yosi semakin sering mengisi hari-hari Dinda, ia menggantikan posisi Bunda dalam hal perhatian, mengingatkannya makan atau shalat, menanyakan jam berapa ia pulang, berkata "Hati-hati di jalan" dan "Selamat tidur". Tidak lupa disisipi pertanyaan tentang Dimas. Dinda semakin terbuka oleh Yosi. Ia menceritakan masalah Ayah, pekerjaannya, Mbak Erli dan apapun yang merisaukan hati. Perasaan itu kembali bersemi, perasaan yang dengan susah payah ia coba kubur kini menyeruak dengan mudahnya. 

Bunda, engkau menyuruhku untuk move on, menemukan pria yang aku nyaman bersamanya, kini ada seorang yang dekat dengan aku, tapi.. orang itu orang dimasa laluku. Orang yang pernah dipisahkan dari aku. Orang yang memberikanku bahagia sekaligus derita. Orang yang aku cinta tapi tak bisa untuk bersama. Bunda.. Aku harus bagaimana? Hadirlah dalam mimpiku Bun, berikanlah aku wejanganmu yang selalu menenangkan hatiku.. Aku rindu engkau.

-44740/50000-

Saturday, January 21, 2012

Buang saja.. Atau Bakar!! (XXXIV)

Mas.. tolong mampir ke rumah
Ayah demam, aku sudah membujuknya ke Dokter tapi ia terus menolak
Aku harus apa?? :'(

Kepala Dinda rasanya mau pecah, ia benar-benar kerepotan dengan semua yang terjadi, sudah dua minggu Bunda meninggalkan mereka dan kondisi Ayah semakin memburuk. Ya Allah aku hanya seorang wanita yang lemah, aku percaya Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar kesanggupanku.

"Mamah.. aku ngga bisa mengerjakan PR yang ini" Dimas mendatanginya dengan LKS ditangan
"Hfff.. apa sayang?" Andai aku mempunyai suami mungkin aku tidak sepusing ini, atau.. andai saja aku single mungkin masalahku tidak overlapping seperti ini. Dinda tidak punya waktu lama untuk berandai-andai karena Blackberry-nya berbunyi. Teman satu kantornya menanyakan design yang ia janjikan akan segera ia kirim malam itu juga.

Din
Maaf aku ngga bisa kesana, aku sudah di tol menuju Lingkar Luar
Dan lagi macet parah

Mas Nadir membalas BBM Dinda. Ayah harus ke Dokter karena kalau tidak kondisinya akan semakin memburuk, err why he is so stubborn.. Bundaa.. Dinda hanya bisa menjerit dalam hati. Ia memberanikan diri menelepon ke rumah Erli

"Halo Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, Lastri ada Pak Ara?" 
"Eee.. maaf ini siapa ya?"
"Huff... ini Dinda, adiknya Ibu Erli"
"Ooo maaf bu, saya belum mengenal suaranya, hehe.. tunggu sebentar saya panggilkan"

Dinda mengutarakan niatnya kepada Ara, ia ingin Ara membujuk Ayah agar mau ke Dokter karena Demamnya semakin tinggi. Ara mengiyakan dan setengah jam kemudian ia sudah tiba di rumah.

"Tok.. tok.. Ayah"
"Masuk" Ayah menutup tubuhnya dengan selimut, ia memang terlihat sakit. Ara menyentuh tangannya 
"Ayah badannya panas sekali, kata Dinda Ayah tidak mau ke Dokter"
"Ngga apa-apa, nanti juga sembuh sendiri"
"Jangan begitu Yah. Dinda sangat mencemaskan keadaan Ayah. Mari aku antar ke Dokter"
"Ngga usah repot-repot Ra. Bagaimana keadaan istrimu?"
"Erli sudah membaik, ia hanya tidak boleh bekerja berat dan tidak boleh stres" 
"Syukurlah, jaga dirinya baik-baik ya Ra, Ayah titipkan ia kepadamu"
"Ayah bicara apa sih" Ara tersenyum. Ternyata rayuannya juga tidak berhasil. Ayah tetap tidak mau ke Dokter. Ara memberitahukan hal itu kepada Erli dan Erli meneleponnya.

"Yah, Erli mau bicara"
Ayah mengambil Blackberry dari tangan Ara
"Halo"
"Ayah.. kenapa Ayah ngga mau ke Dokter?"
"Ayah ngga apa-apa koq"
"Ayah jangan begitu, plis Yah.. Bunda pasti sedih kalau tahu keadaan Ayah seperti ini" senjata andalan itu dipakai lagi
"Kalau besok masih sakit Ayah akan ke Dokter" Ayah mulai luluh
"Jangan menunggu besok dong, sekarang aja ya Yah. Atau Erli perlu kesana?"
"Jangan Li, kamu kan belum sehat betul"
"Makanya Ayah mau ya ke Dokter" 
dan bujukan itu berhasil. Dinda merasa lega, tapi karena rasa lelahnya ia menjadi sedikit sensitif Dibujuk Mba Erli aja mau, dari tadi sore aku sampai berbusa ngga didengarkan katanya dalam hati.

Keesokan paginya Ayah sudah agak sehat, ia sudah bisa bangun dari tempat tidur, dan berjalan-jalan di halaman belakang.
"Ayah lagi ngapain?" Dinda sudah bersiap pergi bekerja, tugas mengantarkan Dimas ke sekolah ia delegasikan kepada Nuni, pembantu baru
"Olah raga sedikit biar bugar"
"Naah begitu dong, Ayah jangan mendzalimi diri sendiri, ngga boleh itu Yah"
Ayah tersenyum "Nanti jangan pulang terlalu malam ya Din"
"Kenapa Yah?"
"Ngga apa-apa sih" 

Dinda berusaha membereskan pekerjaannya dengan cepat, jam lima teng ia meninggalkan kantor. Hal yang jarang terjadi karena ia selalu pulang diatas jam tujuh malam. Sesampainya di rumah ia melihat mobil lain yang diparkir di teras.

"Mba, udah sehat? Malam-malam koq kemari?"
"Ayah menyuruh aku kesini, ada apa ya?"
Dinda mengedikkan bahu "Ngga tahu aku juga disuruh pulang cepat, aku tinggal dulu ya Mba, mau mandi terus shalat maghrib"
Erli mengangguk.
Mereka berkumpul di teras belakang, meninggalkan Irna dan Dimas di ruang keluarga bersama Nuni.
"Maaf ya kalau Ayah memanggil kalian, Ayah cuma.. tidak ingin sendirian malam ini, kalian tahu kenapa?"
"Emm.. Anniversary?" Erli menebak
Ayah mengangguk "Hari ini tepat hari Ulang tahun pernikahan kami, tapi Bundamu sudah tidak ada disini, Ayah tak kuasa melewati malam ini sendirian. Semua tentang Bundamu terlalu manis untuk Ayah kenang. Bundamu... she is the best for me"
"And for us Yah" 
"Iya Li, for us... Ayah sepenuhnya mengerti bahwa ini semua kehendak Ilahi, Ayah pun bersedih akan kehilangan putramu, tapi... masih ada yang mengganjal dalam pikiran Ayah, alasan kenapa Bundamu pergi di sore itu. Kenapa Li? Kenapa kalian pergi? Bunda selalu mengajak Ayah kalau ia mau ke Mall, lalu kenapa saat itu ia malah memilih kamu?" 

Erli menunduk, perasaan bersalah mulai merayap kembali. Ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan pernah hilang darinya. Untuk selamanya ia akan dibayang-bayangi teriakan Bunda, erangan kesakitannya, suara hujan dan guntur yang mencekam. Sejujurnya ia pun trauma tapi ia berusaha kuat.. Demi keluarganya, demi Ayah.

"Ehem.. Ayah.." Dinda mewakili Erli "Sebenarnya waktu itu Bunda mengajakku untuk menemaninya ke Grand Indonesia, tapi.. aku terlalu sibuk sehingga Bunda mengajak Mba Erli"
"Untuk apa? Mau apa Bunda sebegitu inginnya mengajak kalian di hari kerja?"
Keheningan yang menusuk dan tatapan Ayah yang tetap menuntut jawaban
"Bunda mau cari kado buat Ayah" Erli mulai meneteskan air mata, Ara merangkulnya
"Kado?"
"Iya Yah. Bunda ingin memberikan kado di hari jadi kalian. Ia mau kasih surprise buat Ayah" Bergantian Erli dan Dinda menjelaskan
"Jadi karena Ayah Bundamu meninggal?"
"Astaghfirullah, Ayah jangan bilang begitu"
"Tapi karena itukan?"
"Karena Erli Yah. Erli yang mengendarai mobil, Ayah boleh menyalahkan Erli" tangis Erli makin menjadi.
    
Ayah terdiam, Istrinya selalu memanjakannya, menyiapkan segala keperluannya, dan karena alasan ingin menyenangkan hatinya sekarang ia pergi untuk selamanya. Kado?? Aku tidak butuh barang yang kau beli di mall sebagai kado, kalau boleh memilih aku ingin kamu menjadi kadoku saat ini dan seterusnya. Tapi aku tidak bisa memilihkan? Kamupun hanya titipan bagiku.

"Maafkan Ayah, Ayah tahu Ayah tidak boleh menyalahkan siapapun atas kecelakaan itu. Memang sudah digariskan tapi... Ayah masih berat merelakan kepergian Bunda. Itu saja"
"Ayah.. kami akan selalu ada untuk Ayah, walaupun tidak ada yang bisa menggantikan Bunda tapi kami berusaha. Ayah yang tegar dong, biar kami juga tegar"
"Iya Din, Bunda bilang apa di saat-saat terakhirnya Li?"

Bayangan itu muncul lagi, bayangan yang mengganggu tidur Erli belakangan ini. Senyum manis Bunda ketika memilih jilbab di salah satu tenant, mata binarnya melihat cake aneka warna "Bunda nanti mau bikin cake bayam ah di hari jadi Bunda" "Eww memang enak?" "Enak dong, tenang aja" kerlingannya itu.. begitu nyata.

"Bunda mau bikin kejutan untuk Ayah, rencananya setelah pulang dari GI Bunda mau cari tiket pesawat, ia mau ke Lombok berdua saja dengan Ayah" 
Ayah menengadah, menahan air matanya agar tidak tumpah
"Lalu apa lagi?"
"Ayah, sudahlah.. Nanti Ayah tambah sedih"
"Dinda!! Ayah mau tahu" suaranya tiba-tiba tegas. Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri
"Apa lagi Li?"
"Bunda membeli tiga jilbab cantik untuk Bunda, Erli dan Dinda pakai hari ini, ia berharap Dinda bisa move on dan menemukan pria yang baik untuk ia dan Dimas"
Dinda sudah tidak tahan mendengarnya, ia pergi.

"Terus?" Ayah mengacuhkan kepergian Dinda, semua orang punya caranya sendiri dalam menghadapi kejadian ini
"Bunda juga mau bikin Cake Bayam, katanya Ayah harus mulai makan makanan yang sehat karena Bunda bertanggung jawab atas kesehatan Ayah"
"Lalu.."
"Ia membelikan Ayah sebuah tas, tunggu sebentar.." Erli beranjak, menuju mobil yang diparkir di teras, mengambil paperbag besar. Dinda ternyata duduk disana.

"Din, ayo temani aku" Erli menghampiri Dinda, mengulurkan tangannya. Mereka berjalan berangkulan. 

Erli meletakkan paperbag di meja
"Bukalah Yah, itu Bunda yang pilih"
"Ayah ngga butuh kado, apalagi dengan kejadian seperti ini"
"Aku sudah mengatakan begitu tapi Bunda bilang Bunda memaksa, kapan lagi Bunda bisa membelikan hadiah untuk Ayah" Erli mengulangi kata-kata Bunda yang sangat ia ingat dengan jelas. 

Ayah bergeming. Erli mengambil dan membuka paperbag, mengeluarkan isinya
"Kata Bunda tas kerja Ayah sudah jelek banget, kulitnya terkelupas. Jadi Bunda membelikan ini, bagus kan Yah?" Tas kulit branded berwarna coklat itu semakin terlihat mempesona diterpa sinar bulan
"Aku tidak mau memakainya. Buang saja!!"
"Jangan begitu Yah, Bunda pasti sedih kalau pemberiannya tidak dipakai"
"Din tolong berhenti menggunakan kata-kata seperti itu"
"Okey maaf tapi, tas coklat ini.." Dinda belum selesai berbicara karena Ayah sudah memotongnya
"Ayah bilang buang saja, atau bakar!!" Ayah pergi dari sana. Meninggalkan mereka bertiga. Gamang..

-43577/50000-

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging