Thursday, January 19, 2012

Cooling Down (XXVIII)

Tidak terasa sudah menginjak ke angka Dua Belas usia pernikahanku, usia yang cukup matang bukan? Pasti kalian mengira usiaku sudah hampir mendekati kepala empat.. Well kalian salah, karena usiaku baru genap tiga puluh tahun di akhir tahun ini. Yah aku menikah muda. Menikah dengan gadis yang sudah merebut perhatianku dari awal kami bertemu. Gadis cantik yang cuek, tapi ternyata ia seorang yang baik hati, kepintarannya pun membuat aku semakin mengaguminya.. Hem aku teringat senyum jahilnya kala ia meledekku, ia selalu mengatakan aku hanya anak basket yang tidak bisa fisika dan ia tidak akan mau menjadi pacarku karena menurutnya anak basket itu tong kosong nyaring bunyinya. Aku tidak tahu apakah ia masih ingat dengan kata-katanya itu, well aku akan menanyakannya nanti. Mungkin ia akan malu karena saat ini ia bukan cuma menjadi pacar pemain basket tapi juga menjadi istri dari sang kapten, yaitu aku..

Apakah aku bangga menikahinya? Tentu saja! Perlu satu tahun untuk memupuk keberanian dan menanyakan apakah ia mau berpacaran denganku. Huff untunglah ia mau, karena kalau tidak... aku akan mengeluarkan jurus yang lain agar ia tetap mengatakan "Oke gua mau jadi pacar elo" :). Ia bukan cuma pacar, tapi sekaligus teman yang asik diajak seru-seruan, terkadang ia menjadi adik yang manja dan di lain waktu ia menjadi kakak yang sok dewasa, menasihati aku mengenai apapun yang ia anggap tidak patut. Humm i do love her. Dan aku pun menyayangi keluarganya sejak ia membawa ku ke rumahnya. Keluarga yang modern tapi tetap menjunjung norma-norma susila, tidak akan kamu menemui pertengkaran antara saudara atau pilih kasih dari orang tua kepada salah satu anaknya. Demokrasi yang religi.. aku menyebutnya seperti itu. Aku ingat bagaimana mereka menerimaku, membolehkan aku berpacaran dengan istriku saat itu. Tapi secara implisit kedua orang tuanya mewarning kami sampai seberapa jauh kami boleh berpacaran. Jangan pernah membayangkan kami ditinggal berdua saja di rumah itu karena itu tidak akan terjadi, akan selalu ada sang Ayah yang mengajakku bermain catur, atau sang Kakak yang meminta ditemani mengutak-atik motor kesayangannya, atau juga sang Nenek, Eyang Uti yang sering bertandang ke rumah dan mengajak kami menonton televisi bersama-sama. 

Rumah itu hangat, dan secara tidak langsung aku menemukan rumah lain selain rumahku. Rumah itu lebih lengkap karena ada kepala keluarga yang sudah tidak aku punyai lagi. Aku menemukan sosok papah yang sudah lama hilang, dan setiap kali aku melihat sang Ayah aku berkata dalam hati bahwa andai saja papahku masih ada tentulah ia akan menjadikan Ayah sebagai sahabatnya. Yah keluarga itu memang sangat bersahabat. Aku jatuh cinta kepada keluarga itu.

Lalu ada juga Long Distance dalam hubungan kami, menurutku Long Distance adalah cobaan sekaligus penentuan. Hubungan berjarak itu bisa menguji cinta kami, atau juga kalian yang sedang mengalami hubungan jarak jauh. Long Distance atau biasa disingkat LDR merupakan hal yang sangat sulit. Membiasakan diri tidak bertemu kekasih hati, tidak melihat wajah dan senyumnya, tidak lagi mengantar jemputnya dan sejuta aktivitas yang biasa dilakukan berdua. Cemburu dan curiga membayangi LDR, engkau tidak pernah tahu dengan siapa kekasihmu saat ini. Percaya! itulah yang utama. Setia! itu juga yang harus dijaga, dan yang terpenting adalah tidak putusnya komunikasi karena hanya komunikasi yang membuat kalian masih merasa dekat dan saling melengkapi. Lalu tidakkah aku pernah tergoda ketika berjauhan?? Tentu saja pernah, dan aku bersyukur wanitaku 'menangkap basah' aku :)
Ah.. kenangan-kenangan itu melintas lagi dalam benakku, menikah dengannya dalam acara sakral yang romantis, terbangun dan kaget karena ada seorang gadis tidur pulas di sebelahku, lalu juga ada saat-saat ia mengusirku dari kamar. Hal-hal manis yang tidak akan kau dapatkan selama kamu masih 'hanya' berpacaran. Aku bangga dengan keputusanku menikahinya dalam usia yang bahkan belum genap dua puluh tahun. Aku tidak menunggu untuk mapan dan lain sebagainya seperti yang orang lain rencanakan, karena menurutku apa yang aku lakukan adalah Ibadah. Menikah adalah menyempurnakan separuh Dienku, lalu kenapa aku harus menundanya? Aku bergantung kepada Dia tempat bergantung semua makhluk, walaupun cibiran dan kesinisan menghiasi pernikahanku, aku tidak perduli karena yang utama adalah wanitaku dan keluarga.

Kini.. siapa yang lebih unggul? Apakah aku atau mereka yang mencibirku? Di usiaku yang akan tiga puluh tahun aku telah memiliki seorang istri yang luar biasa, anak yang cerdas dan cantik juga sebuah tempat tinggal yang kami beli dari keringat kami sendiri.

Yah aku bahagia, ada dua orang cantik yang selalu menemaniku. Istriku yang bersedia bekerja untuk membantu suaminya yang belum sanggup mencukupi kebutuhannya, dan putri kecilku yang sekarang berusia lima tahun. Buah kasih kami, ketika kami hampir saja menyerah dan akan mengadukan keluhan kami kepada dokter, tanpa disangka kabar baik itu datang, kabar kehamilan istriku. Kehamilannya bagaikan oase di padang pasir, kesegaran diantara buruknya situasi saat itu. 

Putri kecilku semakin tumbuh, hari ini adalah hari pertama ia pergi ke sekolah, dengan 'tangisan sandiwaranya' ia hampir saja mengalahkan kami untuk mengijinkannya membolos di hari pertama. Ah.. Putri kecilku yang cantik dan pintar. Aku berjanji akan sekuat tenaga menjagamu Nak, kau adalah belahan jiwa kami, kau pelita hati kedua orang tuamu ini. Tumbuhlah kau dengan kehalusan akhlak dan budi pekerti, sehingga kau akan selalu memberi manfaat untuk orang lain.

'Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?' satu ayat indah yang selalu mengajarkan kita untuk bersyukur dalam segala situasi, seburuk apapun itu atau sebaik apapun itu. Aku tidak mendustakanMu Ya Rabb.. Tidak. Tidak akan pernah.

"Tok tok.. Papaahh, makanannya sudah siap, kata Bunda Papah mau makan jam berapa?" Irna memasuki ruang kerja Ara
"Sebentar lagi ya sayang"
"Papah sedang apa sih??" Irna yang selalu ingin tahu mendekatinya, naik ke pangkuannya dan memandangi Laptop dengan penuh ketertarikan
"Ada deeeh, mau tahu aja... jangan sayang" Ara menghalau tangan Irna yang hampir menyentuh keyboard
"Ayo kita makan aku sudah lapar"
"Oke, papah matiin Laptop dulu yah"
"Kapan-kapan aku pinjem Laptopnya ya Pah"
"Kan sudah punya, yang warnanya pink"
"Itukan bohongan, aku maunya punya Papah"
"Jangan dong, Laptop Papah kan bukan buat mainan"
Irna sudah memasang mimik menangis, senjata andalannya.

NB: Anakku memanggil Ayahnya dengan Papah dan Ibunya dengan Bunda. Siapa yang mengajari? tidak ada karena anakku melakukan apa yang ia mau tanpa ada yang memberitahu. Dan disinilah ia sekarang, merengek ingin menjajah Laptopku.

Salam.

-34935/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging