Aku terus dan terus tumbuh seperti
rumput;
Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh
bentuk.
Aku mati dari mineral dan menjadi
sayur-sayuran;
Dan dari sayuran Aku mati dan
menjadi binatang.
Aku mati dari kebinatangan menjadi
manusia.
Maka mengapa takut hilang melalui
kematian?
Kelak aku akan mati
Membawa sayap dan bulu seperti malaikat:
Kemudian melambung lebih tinggi dari
malaikat --
Apa yang tidak dapat kau bayangkan.
Aku akan menjadi itu.
(Akan Jadi Apa Diriku? - Jalaludin
Rumi)
Prosesi Pemakaman telah selesai, kerabat dan teman yang banyak
memakai baju berwarna hitam itu satu persatu meninggalkan pusara. Ara
meletakkan dua nisan disana, Khairuvit Anggraini dan Muhammad Rian, nama untuk
putra kecilnya. Ayah masih terpekur menatap nisan, wajahnya sendu sesekali ia
menatap lurus ke depan. Melamun
"Ayah ayo kita pulang" Dinda mengenakan jilbab dari
paperbag, jilbab yang menjadi saksi kematian Bunda. Ayah bangkit, baju koko
putihnya kotor terkena tanah merah, begitu pula dengan Mas Nadir, bajunya juga
kotor dengan tanah merah. Tanah tempat mereka meletakkan Bunda dan Rian, untuk
selamanya.
Ara mengendarai mobil dan membawa mereka pulang, kursi-kursi di
tenda di halaman rumah terisi oleh beberapa orang yang kembali kesana setelah
ikut ke pemakaman. "Sabar ya Hen" Tante Mega, adik dari Ayah kembali
menguatkannya. Ayah tersenyum. Ia meninggalkan mereka dan menuju ke kamar. Ia
hanya ingin berbaring, mengenang semua yang telah dialaminya bersama istri
tercinta.
Sayang, dua minggu lagi anniversary kita tapi engkau
meninggalkanku tanpa satu pesan pun. Sayang, mungkin Allah lebih menyayangimu
sehingga memanggilmu lebih dulu. Aku akan berusaha tegar sampai datang waktuku,
aku berharap kita berkumpul disana, kalau kau melihatku, tolong panggil namaku
karena aku rindu. Saat inipun aku sudah merindukanmu, merindukan kemanjaanmu,
merindukan senyuman manismu. Sayang.. Aku rapuh tanpamu. Aku bahkan tidak tahu
baju apa yang akan aku kenakan besok karena kamu yang mengurus aku selama ini.
Sayang.. Ayah menghapus air matanya, ia lemas tidak bertenaga, dari tadi
malam ia belum menyentuh makanan apapun.
Ara kembali ke Rumah Sakit, Irna memaksa ikut tapi kali ini Ara
menolak. Ara terduduk disamping Erli yang belum sadarkan diri, ia menggenggam
tangan Erli
"Beb, plis bangun sayang, aku butuh kamu disini, aku tidak
kuat menghadapi ini sendirian.. Plis beb, mbuul" Ara membisikkan kata-kata
ditelinganya, berharap Erli membuka mata.
"Bagaimana keadaan istri saya Dokter?"
"Istri anda mengalami kemajuan pesat, tubuhnya cukup kuat
untuk bertahan dari benturan keras. Mungkin satu dua hari ini ia akan siuman.
Tapi menurut saya lebih baik anda tidak memberitahukan keadaan yang sebenarnya
dulu, karena... akan sangat berpengaruh pada proses penyembuhan istri
anda"
Ara mengangguk "Baik Dok, terima kasih banyak"
"Ara, kamu koq disini? Ngga menjaga Erli?" Ayah
bertanya ketika melihat Ara kembali ke rumah di malam hari
"Lastri yang menjaganya pak, Ara mau ikut Tahlilan
disini"
Bapak-bapak berdatangan satu persatu, mereka yang selesai
menunaikan shalat maghrib di Masjid tidak pulang ke rumah masing-masing tapi
langsung menuju Rumah Ayah untuk bertahlil.
Tahlilan adalah salah satu ritual yang biasa dilakukan umat
muslim. Tahlilan diadakan dalam rangka mendoakan orang yang telah meninggal
dunia. Selama tujuh hari pertama, lalu empat puluh hari, kemudian diikuti
dengan seratus hari dan satu tahun. Dan ada pula yang tahlilan untuk seribu
hari. Tapi tidak semua umat muslim melakukan tahlilan karena pada dasarnya
tahlilan bukanlah hal yang wajib. Tahlilan juga terjadi karena faktor kebiasaan
di suatu lingkungan tertentu. Dan keluarga Erli tinggal di lingkungan yang
menjadikan tahlilan sebagai suatu keharusan.
"Ayah.. Makan dulu yuk, dari tadi pagi Dinda belum melihat
Ayah makan" Dinda menghidangkan nasi kotak seperti yang dibawa pulang para
Bapak setelah tahlilan selesai
"Ngga nafsu makan Din" Ayah duduk berselonjor diatas
karpet, sofa tamu sengaja disingkirkan untuk di gelar karpet tahlilan
"Kalau Bunda tahu Ayah ngga makan, Bunda pasti marah"
dengan terpaksa Dinda memakai senjata andalan, Bunda.
Ayah terdiam, ia menerima piring yang sudah diisi nasi dan lauk
pauk yang disodorkan Dinda.
Sampai dua hari ke depan Erli belum sadarkan diri, Ara menunggu
dalam cemas. Berkali-kali ia membisikkan kata ke telinga Erli tapi Erli tetap
bergeming. Irna pun sudah sangat rindu akan ibunya
"Bunda.. bangun dong, aku punya cerita, aku juga kangen
sama Bunda.. huhuhu"
Ara menggendong Irna keluar kamar, di bangku panjang yang berada
di Bangsal Ara mendudukkan Irna
"Sayang, Papah punya permintaan sama kamu.. Kamu maukan
memenuhinya?"
"Apa?" kaki Irna yang tidak sampai ke lantai
bergoyang-goyang
"Papah minta tolong kalau nanti Bunda sudah sadar Irna
jangan kasih tahu ya kalau Umi sudah ngga ada"
"Umi kan sudah meninggal" Ara tidak tahu apakah Irna
mengerti sepenuhnya akan arti kata meninggal, tapi yang pasti Irna tahu kalau
neneknya telah pergi jauh
"Iya Papah tahu, tapi.. untuk saat ini Irna jangan kasih
tahu Bunda ya. Biar Papah saja yang memberi tahu"
"Kenapa?" Irna bertanya lagi, dalam hati Ara bersyukur
karena Irna tidak tahu bahwa adik dalam perut Bundanya pun sudah tidak ada
"Karena nanti Bunda sedih, Irna ngga maukan bikin Bunda
sedih?" Irna menggeleng, tangannya asik memainkan pita di bajunya
"Ok, jadi deal ya kalau Irna ngga akan bilang ke Bunda
bahwa Umi sudah meninggal?"
"Deal" Irna mengacungkan jempol, mereka sering
mengatakan Deal plus acungan jempol sebagai tanda perjanjian akan suatu hal.
Dinda benar-benar merasa lelah, ia secara otomatis menggantikan
Bunda di rumah itu, ditambah keadaan Mba Erli yang belum sadar membuatnya tidak
punya teman untuk berbagi keluh kesah. Ayahnya berubah menjadi seperti Dimas,
yang harus diingatkan untuk makan, mandi dan sebagainya. Untuk sesaat Ayah
benar-benar limbung, ia seperti tidak mempunyai pegangan hidup. Dinda baru
menyadari betapa berartinya seorang Bunda dimata Ayah. Tapi di lain sisi ia
sangat sedih melihat Ayah seperti itu. Seorang pria yang dulu tegar, selalu
punya solusi untuk semua hal dan selalu menjadi tempat bergantung di rumah ini
tiba-tiba tumbang hanya karena seorang wanita.
Mungkin memang benar adanya suatu pepatah yang mengatakan bahwa
di balik pria sukses ada wanita yang hebat. Dan Bunda memang terbukti hebat,
dengan kedua tangannya yang lentik ia dapat mengatur semua berjalan baik di
rumah itu. Dengan senyumnya yang menawan ia tanamkan cinta kasih. Dengan
kata-katanya yang lembut ia membentuk pribadi anak-anaknya hingga menjadi
berhasil. Ah Bunda, aku sangat merindukanmu, aku masih sangat membutuhkanmu.
"Dinda.."
"Eh Tante, aku kira sudah pulang" Ibu Ara memegang
pundaknya
"Kamu yang kuat ya nak" seakan tahu isi hati Dinda ia
berkata
"Insya Allah Tante, aku mungkin tidak sebaik Bunda tapi aku
akan menjaga Ayah"
Hari ketiga dan Erli belum sadarkan juga, Ara tertidur di sofa
ketika ibunya, Dimas dan Irna datang. Ara bersyukur karena sang Mamah mau
menjaga kedua anak tersebut, bantuannya sangat diperlukan oleh Dinda
"Ara, heyy.. bangun.."
Ara mengerjapkan mata "Mamah"
"Ini Mamah bawakan makanan, kamu makan dulu gih biar ngga
ikut-ikutan sakit"
"Jam berapa ini Mah?" Ara meminta cuti dari kantor
selama beberapa hari
"Jam dua belas"
"Ara shalat dulu deh, nanti selesai itu baru makan"
Mamah tersenyum
"Koq Bunda kamu ngga bangun-bangun sih?" Dimas
bertanya sambil tangannya tetap sibuk bermain PSP
"Bunda lagi pingsan" entah dapat darimana kata-kata
itu tapi Irna mengatakannya dengan yakin
"Memang kalau pingsan lama?"
"Ya iyalah" jawabnya lagi
"Allah Yang Maha Menyembuhkan aku memohon kepadaMu dan
hanya kepadaMu, Ya Allah tolong sembuhkan istriku, angkatlah segala
penyakitnya" Dalam sujud panjangnya Ara kembali meminta kesembuhan untuk
Erli.
Dimas dan Ara tertidur di sofa, kamar VIP sebagai fasilitas yang
didapat dari kantor Ara sangat membantu, mereka tidak berbagi kamar dengan
pasien lain sehingga pasien tersebut tidak perlu mendengarkan kegaduhan dari
dua bocah cilik itu. Mamah melipat mukenanya, ia telah selesai menunaikan
shalat dzuhur ketika dilihatnya jari-jari Erli bergerak.
"Erli" dengan suara pelan Mamah memanggil, perlahan
Erli membuka mata, menutup dan membukanya kembali, perlu waktu untuk
mengadaptasikan cahaya bagi kedua matanya yang telah tertutup selama
berhari-hari.
"Mah"
"Kamu sudah sadar sayang. Alhamdulillah Ya Allah"
"Haus"
Ara melangkah dengan gontai menuju kamar, tapi sikapnya berubah
seratus delapan puluh derajat ketika melihat Erli sudah sadar.
"Beb" ia memanggil pelan, tidak mau membangunkan kedua
anak yang sedang tertidur pulas
Setelah beberapa saat Erli ingat dengan apa yang terjadi
"Sayang, bagaimana keadaan Bunda?"
Dan Ara terpaksa berbohong "Baik, kamu mau makan? aku juga
lapar belum makan" ia mengalihkan perhatian yang ia tahu ia tidak akan
bisa terus melakukannya.
Mas Nadir dan keluarga datang menengok sebelum pergi tahlilan.
Baju koko yang dipakainya sempat menjadi pertanyaan oleh Erli tapi istri Mas
Nadir hanya berkata "Sekarang Mas mu kan jadi anak shaleh" dan
kemudian mereka tertawa. Pertanyaan lain yang dilontarkan Erli adalah kenapa ia
tidak sekamar dengan Bunda. Mereka sudah tidak tahu lagi harus menjawab tapi
lalu Dimas dan Irna membuat ulah yang -untuk sementara- mengalihkan perhatian
Erli.
Ayah memaksa Dinda untuk pergi ke Rumah Sakit seusai tahlilan
malam itu, dan Dinda, dengan menepis lelahnya menurut.
"Erli.."
"Ayah"
"Sudah baikan kamu nak?"
"Alhamdulillah, bagaimana keadaan Bunda Yah? Kenapa Erli
tidak satu kamar dengan Bunda?" pertanyaan itu ia lontarkan kembali.
Ayah melihat Ara, Ara mengangguk, mereka tidak bisa terus
menghindar dari pertanyaan itu, toh Erli bukan anak kecil yang bisa dibohongi
"Bunda..."
"Bunda kenapa Yah?"
Dinda mendekati Erli, ia menggenggam tangannya
"Ada apa?... Please somebody tell me.. ugh" ia
merasakan sakit diperutnya
"Kamu ngga apa-apa sayang?"
"Beb, please tell me what's going on"
Mereka masih diam
"Ada apa dengan Bunda? Bunda dimana?"
"Bunda sudah pergi untuk selamanya Mbak"
"Maksud kamu? Dinda" Erli menekan tangan Dinda
digenggamannya
"Passed away"
"Innalillahi wa innailaihi raji'un" Erli menangis
sekencang-kencangnya, ia menyalahkan dirinya atas kematian Bunda. Dan sakit itu
kembali menderanya, sakit bekas jahitan karena kuret
"Duuh sakitnya, kenapa dengan perutku? Bayiku baik-baik
sajakan?"
Pertanyaan kedua yang ingin dihindari tapi tak mungkin.
Ara memanggil Dokter, lalu yang lain menunggu di luar. Saat
itulah Dokter menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Bahwa karena kecelakaan itu
tim Dokter dengan terpaksa mengangkat janin dengan melakukan proses kuretase
atau kuret.
"Kami telah meminta ijin dari Pak Ara, kondisi janin saat
itu sudah.. meninggal karena terbentur dan guncangan yang sangat keras.
Mendiamkannya hanya akan memperburuk kondisi ibu"
Erli menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia baru saja sadar
dari tidur panjangnya dan menerima dua berita pahit sekaligus. Dokter
memberikannya obat antibiotik dan penghilang rasa nyeri, Erli hanya diam.
"Tas aku mana?" tanyanya datar. Ara memberikan tasnya,
di salah satu resleting ia menemukan apa yang ia cari. Poto hasil scan bayinya.
Selama beberapa saat ia menekuri poto itu lalu ia teringat hal lain..
"Ayah.. maafkan aku, maafkan kebodohanku Yah..
aku"
Ayah yang duduk di sofa menghampirinya
"Tidak Li, bukan salah kamu. Memang sudah digariskan Allah
seperti ini, kamu harus sabar ya Li" dan kali ini Ayah tidak bisa menahan
air mata itu, mereka berdua menangis.
Ara sudah tidur tapi Erli masih memandang keluar jendela.
Mencari bintang diantara gelapnya malam. Hikmah? Apa hikmah dari kematian
orang terkasih? Tegurankah bahwa semua yang bernyawa akan mati? Bahwa dahulu
kami tiada lalu ada dan akan kembali tiada? Bahwa kami tidak boleh terlalu
mencintai makhluk karena makhluk itu akan pergi meninggalkan kami?? Ooh Bunda
kasih dan sayangmu sangat besar kepada kami, belum sempat kami membalas jasamu
selama ini. Aku tidak tahu akan bagaimana hidup kami tanpamu Bun.. Engkau
adalah Ibu yang sempurna untuk kami, Engkau adalah lentera untuk kami. Ia
mengelus perutnya dan menemukan bekas jahitan disana. Anakku.. belum sempat
aku melihat wajahmu Nak, kenapa kau pergi sebelum kau hadir di dunia ini? Aku
ingin menyentuhmu Nak, memelukmu agar kau tahu bahwa Bundamu menyayangimu,
bahkan kini aku merindukanmu sebelum kau tertidur didekapanku.. Bunda.. Rian
bayi kecilku, selamat jalan ku ucapkan untuk kalian berdua, kalian adalah
penyemangatku untuk terus menjadi wanita yang shalehah karena aku ingin
berjumpa dengan kalian di akhirat sana. Tunggu aku..
-42256/50000-
No comments:
Post a Comment