Saturday, January 21, 2012

Selamat Jalan Bunda, Selamat Jalan Rian (XXXIII)


Aku terus dan terus tumbuh seperti rumput;
Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh bentuk.
Aku mati dari mineral dan menjadi sayur-sayuran;
Dan dari sayuran Aku mati dan menjadi binatang.
Aku mati dari kebinatangan menjadi manusia.
Maka mengapa takut hilang melalui kematian?
Kelak aku akan mati
Membawa sayap dan bulu seperti malaikat:
Kemudian melambung lebih tinggi dari malaikat --
Apa yang tidak dapat kau bayangkan.
Aku akan menjadi itu.
(Akan Jadi Apa Diriku? - Jalaludin Rumi)

Prosesi Pemakaman telah selesai, kerabat dan teman yang banyak memakai baju berwarna hitam itu satu persatu meninggalkan pusara. Ara meletakkan dua nisan disana, Khairuvit Anggraini dan Muhammad Rian, nama untuk putra kecilnya. Ayah masih terpekur menatap nisan, wajahnya sendu sesekali ia menatap lurus ke depan. Melamun

"Ayah ayo kita pulang" Dinda mengenakan jilbab dari paperbag, jilbab yang menjadi saksi kematian Bunda. Ayah bangkit, baju koko putihnya kotor terkena tanah merah, begitu pula dengan Mas Nadir, bajunya juga kotor dengan tanah merah. Tanah tempat mereka meletakkan Bunda dan Rian, untuk selamanya.

Ara mengendarai mobil dan membawa mereka pulang, kursi-kursi di tenda di halaman rumah terisi oleh beberapa orang yang kembali kesana setelah ikut ke pemakaman. "Sabar ya Hen" Tante Mega, adik dari Ayah kembali menguatkannya. Ayah tersenyum. Ia meninggalkan mereka dan menuju ke kamar. Ia hanya ingin berbaring, mengenang semua yang telah dialaminya bersama istri tercinta. 

Sayang, dua minggu lagi anniversary kita tapi engkau meninggalkanku tanpa satu pesan pun. Sayang, mungkin Allah lebih menyayangimu sehingga memanggilmu lebih dulu. Aku akan berusaha tegar sampai datang waktuku, aku berharap kita berkumpul disana, kalau kau melihatku, tolong panggil namaku karena aku rindu. Saat inipun aku sudah merindukanmu, merindukan kemanjaanmu, merindukan senyuman manismu. Sayang.. Aku rapuh tanpamu. Aku bahkan tidak tahu baju apa yang akan aku kenakan besok karena kamu yang mengurus aku selama ini. Sayang.. Ayah menghapus air matanya, ia lemas tidak bertenaga, dari tadi malam ia belum menyentuh makanan apapun. 

Ara kembali ke Rumah Sakit, Irna memaksa ikut tapi kali ini Ara menolak. Ara terduduk disamping Erli yang belum sadarkan diri, ia menggenggam tangan Erli
"Beb, plis bangun sayang, aku butuh kamu disini, aku tidak kuat menghadapi ini sendirian.. Plis beb, mbuul" Ara membisikkan kata-kata ditelinganya, berharap Erli membuka mata.

"Bagaimana keadaan istri saya Dokter?"
"Istri anda mengalami kemajuan pesat, tubuhnya cukup kuat untuk bertahan dari benturan keras. Mungkin satu dua hari ini ia akan siuman. Tapi menurut saya lebih baik anda tidak memberitahukan keadaan yang sebenarnya dulu, karena... akan sangat berpengaruh pada proses penyembuhan istri anda" 
Ara mengangguk "Baik Dok, terima kasih banyak"

"Ara, kamu koq disini? Ngga menjaga Erli?" Ayah bertanya ketika melihat Ara kembali ke rumah di malam hari
"Lastri yang menjaganya pak, Ara mau ikut Tahlilan disini" 
Bapak-bapak berdatangan satu persatu, mereka yang selesai menunaikan shalat maghrib di Masjid tidak pulang ke rumah masing-masing tapi langsung menuju Rumah Ayah untuk bertahlil.

Tahlilan adalah salah satu ritual yang biasa dilakukan umat muslim. Tahlilan diadakan dalam rangka mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Selama tujuh hari pertama, lalu empat puluh hari, kemudian diikuti dengan seratus hari dan satu tahun. Dan ada pula yang tahlilan untuk seribu hari. Tapi tidak semua umat muslim melakukan tahlilan karena pada dasarnya tahlilan bukanlah hal yang wajib. Tahlilan juga terjadi karena faktor kebiasaan di suatu lingkungan tertentu. Dan keluarga Erli tinggal di lingkungan yang menjadikan tahlilan sebagai suatu keharusan. 

"Ayah.. Makan dulu yuk, dari tadi pagi Dinda belum melihat Ayah makan" Dinda menghidangkan nasi kotak seperti yang dibawa pulang para Bapak setelah tahlilan selesai
"Ngga nafsu makan Din" Ayah duduk berselonjor diatas karpet, sofa tamu sengaja disingkirkan untuk di gelar karpet tahlilan
"Kalau Bunda tahu Ayah ngga makan, Bunda pasti marah" dengan terpaksa Dinda memakai senjata andalan, Bunda.
Ayah terdiam, ia menerima piring yang sudah diisi nasi dan lauk pauk yang disodorkan Dinda.
 
Sampai dua hari ke depan Erli belum sadarkan diri, Ara menunggu dalam cemas. Berkali-kali ia membisikkan kata ke telinga Erli tapi Erli tetap bergeming. Irna pun sudah sangat rindu akan ibunya
"Bunda.. bangun dong, aku punya cerita, aku juga kangen sama Bunda.. huhuhu"
Ara menggendong Irna keluar kamar, di bangku panjang yang berada di Bangsal Ara mendudukkan Irna
"Sayang, Papah punya permintaan sama kamu.. Kamu maukan memenuhinya?"
"Apa?" kaki Irna yang tidak sampai ke lantai bergoyang-goyang
"Papah minta tolong kalau nanti Bunda sudah sadar Irna jangan kasih tahu ya kalau Umi sudah ngga ada"
"Umi kan sudah meninggal" Ara tidak tahu apakah Irna mengerti sepenuhnya akan arti kata meninggal, tapi yang pasti Irna tahu kalau neneknya telah pergi jauh
"Iya Papah tahu, tapi.. untuk saat ini Irna jangan kasih tahu Bunda ya. Biar Papah saja yang memberi tahu"
"Kenapa?" Irna bertanya lagi, dalam hati Ara bersyukur karena Irna tidak tahu bahwa adik dalam perut Bundanya pun sudah tidak ada
"Karena nanti Bunda sedih, Irna ngga maukan bikin Bunda sedih?" Irna menggeleng, tangannya asik memainkan pita di bajunya
"Ok, jadi deal ya kalau Irna ngga akan bilang ke Bunda bahwa Umi sudah meninggal?"
"Deal" Irna mengacungkan jempol, mereka sering mengatakan Deal plus acungan jempol sebagai tanda perjanjian akan suatu hal.

Dinda benar-benar merasa lelah, ia secara otomatis menggantikan Bunda di rumah itu, ditambah keadaan Mba Erli yang belum sadar membuatnya tidak punya teman untuk berbagi keluh kesah. Ayahnya berubah menjadi seperti Dimas, yang harus diingatkan untuk makan, mandi dan sebagainya. Untuk sesaat Ayah benar-benar limbung, ia seperti tidak mempunyai pegangan hidup. Dinda baru menyadari betapa berartinya seorang Bunda dimata Ayah. Tapi di lain sisi ia sangat sedih melihat Ayah seperti itu. Seorang pria yang dulu tegar, selalu punya solusi untuk semua hal dan selalu menjadi tempat bergantung di rumah ini tiba-tiba tumbang hanya karena seorang wanita. 

Mungkin memang benar adanya suatu pepatah yang mengatakan bahwa di balik pria sukses ada wanita yang hebat. Dan Bunda memang terbukti hebat, dengan kedua tangannya yang lentik ia dapat mengatur semua berjalan baik di rumah itu. Dengan senyumnya yang menawan ia tanamkan cinta kasih. Dengan kata-katanya yang lembut ia membentuk pribadi anak-anaknya hingga menjadi berhasil. Ah Bunda, aku sangat merindukanmu, aku masih sangat membutuhkanmu.

"Dinda.."
"Eh Tante, aku kira sudah pulang" Ibu Ara memegang pundaknya
"Kamu yang kuat ya nak" seakan tahu isi hati Dinda ia berkata
"Insya Allah Tante, aku mungkin tidak sebaik Bunda tapi aku akan menjaga Ayah"

Hari ketiga dan Erli belum sadarkan juga, Ara tertidur di sofa ketika ibunya, Dimas dan Irna datang. Ara bersyukur karena sang Mamah mau menjaga kedua anak tersebut, bantuannya sangat diperlukan oleh Dinda
"Ara, heyy.. bangun.."
Ara mengerjapkan mata "Mamah"
"Ini Mamah bawakan makanan, kamu makan dulu gih biar ngga ikut-ikutan sakit"
"Jam berapa ini Mah?" Ara meminta cuti dari kantor selama beberapa hari
"Jam dua belas"
"Ara shalat dulu deh, nanti selesai itu baru makan" Mamah tersenyum

"Koq Bunda kamu ngga bangun-bangun sih?" Dimas bertanya sambil tangannya tetap sibuk bermain PSP
"Bunda lagi pingsan" entah dapat darimana kata-kata itu tapi Irna mengatakannya dengan yakin
"Memang kalau pingsan lama?"
"Ya iyalah" jawabnya lagi

"Allah Yang Maha Menyembuhkan aku memohon kepadaMu dan hanya kepadaMu, Ya Allah tolong sembuhkan istriku, angkatlah segala penyakitnya" Dalam sujud panjangnya Ara kembali meminta kesembuhan untuk Erli. 

Dimas dan Ara tertidur di sofa, kamar VIP sebagai fasilitas yang didapat dari kantor Ara sangat membantu, mereka tidak berbagi kamar dengan pasien lain sehingga pasien tersebut tidak perlu mendengarkan kegaduhan dari dua bocah cilik itu. Mamah melipat mukenanya, ia telah selesai menunaikan shalat dzuhur ketika dilihatnya jari-jari Erli bergerak.

"Erli" dengan suara pelan Mamah memanggil, perlahan Erli membuka mata, menutup dan membukanya kembali, perlu waktu untuk mengadaptasikan cahaya bagi kedua matanya yang telah tertutup selama berhari-hari.
"Mah"
"Kamu sudah sadar sayang. Alhamdulillah Ya Allah"
"Haus"

Ara melangkah dengan gontai menuju kamar, tapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika melihat Erli sudah sadar. 
"Beb" ia memanggil pelan, tidak mau membangunkan kedua anak yang sedang tertidur pulas
Setelah beberapa saat Erli ingat dengan apa yang terjadi
"Sayang, bagaimana keadaan Bunda?" 
Dan Ara terpaksa berbohong "Baik, kamu mau makan? aku juga lapar belum makan" ia mengalihkan perhatian yang ia tahu ia tidak akan bisa terus melakukannya.

Mas Nadir dan keluarga datang menengok sebelum pergi tahlilan. Baju koko yang dipakainya sempat menjadi pertanyaan oleh Erli tapi istri Mas Nadir hanya berkata "Sekarang Mas mu kan jadi anak shaleh" dan kemudian mereka tertawa. Pertanyaan lain yang dilontarkan Erli adalah kenapa ia tidak sekamar dengan Bunda. Mereka sudah tidak tahu lagi harus menjawab tapi lalu Dimas dan Irna membuat ulah yang -untuk sementara- mengalihkan perhatian Erli.

Ayah memaksa Dinda untuk pergi ke Rumah Sakit seusai tahlilan malam itu, dan Dinda, dengan menepis lelahnya menurut. 
"Erli.."
"Ayah"
"Sudah baikan kamu nak?"
"Alhamdulillah, bagaimana keadaan Bunda Yah? Kenapa Erli tidak satu kamar dengan Bunda?" pertanyaan itu ia lontarkan kembali.

Ayah melihat Ara, Ara mengangguk, mereka tidak bisa terus menghindar dari pertanyaan itu, toh Erli bukan anak kecil yang bisa dibohongi
"Bunda..."
"Bunda kenapa Yah?"
Dinda mendekati Erli, ia menggenggam tangannya
"Ada apa?... Please somebody tell me.. ugh" ia merasakan sakit diperutnya
"Kamu ngga apa-apa sayang?" 
"Beb, please tell me what's going on"
Mereka masih diam
"Ada apa dengan Bunda? Bunda dimana?"
"Bunda sudah pergi untuk selamanya Mbak"
"Maksud kamu? Dinda" Erli menekan tangan Dinda digenggamannya
"Passed away" 
"Innalillahi wa innailaihi raji'un" Erli menangis sekencang-kencangnya, ia menyalahkan dirinya atas kematian Bunda. Dan sakit itu kembali menderanya, sakit bekas jahitan karena kuret
"Duuh sakitnya, kenapa dengan perutku? Bayiku baik-baik sajakan?" 
Pertanyaan kedua yang ingin dihindari tapi tak mungkin. 

Ara memanggil Dokter, lalu yang lain menunggu di luar. Saat itulah Dokter menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Bahwa karena kecelakaan itu tim Dokter dengan terpaksa mengangkat janin dengan melakukan proses kuretase atau kuret. 

"Kami telah meminta ijin dari Pak Ara, kondisi janin saat itu sudah.. meninggal karena terbentur dan guncangan yang sangat keras. Mendiamkannya hanya akan memperburuk kondisi ibu" 
Erli menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia baru saja sadar dari tidur panjangnya dan menerima dua berita pahit sekaligus. Dokter memberikannya obat antibiotik dan penghilang rasa nyeri, Erli hanya diam.

"Tas aku mana?" tanyanya datar. Ara memberikan tasnya, di salah satu resleting ia menemukan apa yang ia cari. Poto hasil scan bayinya. Selama beberapa saat ia menekuri poto itu lalu ia teringat hal lain..

"Ayah.. maafkan aku, maafkan kebodohanku Yah.. aku" 
Ayah yang duduk di sofa menghampirinya
"Tidak Li, bukan salah kamu. Memang sudah digariskan Allah seperti ini, kamu harus sabar ya Li" dan kali ini Ayah tidak bisa menahan air mata itu, mereka berdua menangis.

Ara sudah tidur tapi Erli masih memandang keluar jendela. Mencari bintang diantara gelapnya malam. Hikmah? Apa hikmah dari kematian orang terkasih? Tegurankah bahwa semua yang bernyawa akan mati? Bahwa dahulu kami tiada lalu ada dan akan kembali tiada? Bahwa kami tidak boleh terlalu mencintai makhluk karena makhluk itu akan pergi meninggalkan kami?? Ooh Bunda kasih dan sayangmu sangat besar kepada kami, belum sempat kami membalas jasamu selama ini. Aku tidak tahu akan bagaimana hidup kami tanpamu Bun.. Engkau adalah Ibu yang sempurna untuk kami, Engkau adalah lentera untuk kami. Ia mengelus perutnya dan menemukan bekas jahitan disana. Anakku.. belum sempat aku melihat wajahmu Nak, kenapa kau pergi sebelum kau hadir di dunia ini? Aku ingin menyentuhmu Nak, memelukmu agar kau tahu bahwa Bundamu menyayangimu, bahkan kini aku merindukanmu sebelum kau tertidur didekapanku.. Bunda.. Rian bayi kecilku, selamat jalan ku ucapkan untuk kalian berdua, kalian adalah penyemangatku untuk terus menjadi wanita yang shalehah karena aku ingin berjumpa dengan kalian di akhirat sana. Tunggu aku..

-42256/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging