Friday, January 20, 2012

Empat bulanan (XXXI)

"Ibu mau melihat jenis kelaminnya?" 
"Memang sudah bisa Dok?"
"Ya bisa dong, alatnya kan sudah canggih"
Tidak berapa lama Dokter tersenyum "Wah ada dede nya"
"Maksud Dokter?" 
"Maksudnya Bapak dan Ibu bakalan punya jagoan" Dokter Hadi yang suka bercanda itu tidak menjawab secara langsung. Ara dan Erli saling berpandangan
"Cowok?" 
"Iya dong Pak, kan ada dedenya"
"Ih Dokter mah bikin bingung aja" 
Dokter tersenyum
"Tapi kata orang hasilnya suka berubah-ubah Dok"
"Kalau hasilnya cewek bisa jadi berubah, tapi sejauh ini sih yang hasil usg nya cowok ngga berubah"

Hasil USG untuk mengetahui jenis kelamin bayi bisa diketahui dalam usia minimal empat bulan.

"Koq bisa berubah, bagaimana maksudnya Dok?" Ara ngeri sendiri membayangkan sang bayi berubah-ubah jenis kelamin
"Maksudnya kalau di scan dan ternyata hasilnya adalah bayinya cewek, itu belum bisa dipastikan keakuratannya, kali aja si dedenya ngumpet, atau ketutup kakinya, atau malah yang di scan bagian bokongnya, jadinya kan ngga kelihatan tuuh. Tapi sebaliknya, kalau terlihat ada dede nya udah dapat dipastikan kalau bayinya laki-laki, mosok bayi perempuan ada yang nongol-nongol. Kira-kira begitu yah Dok" Erli menjelaskan dengan bahasa yang sangat tidak ilmiah
"Naah itu ibu taahu, ah ibu biasa melihat yang nongol-nongol yah" 

Erli wajahnya memerah, ia jadi menyesal menggunakan kata-kata yang sangat absurd itu. 

"Alhamdulillah aku mau punya jagoan, akhirnyaa ada yang membelaku"
"Maksudnya?" 
"Maksudnya.." Ara mengemudikan mobil dengan pelan ".. selama inikan kamu dan Irna suka berkomplot mendzalimi aku.. hahahah... awww" hobi mencubit Erli tidak pernah hilang.

Sebelum pulang ke rumah, mereka mampir ke Toko Bangunan, membeli dua kaleng cat warna biru untuk menyambut si dede baru.
"Masih lama kali papaah"
"Kan ngecetnya juga ngga sekarang, kalau lagi sempat aku cat, kalau capek yaa aku tinggal lagi hehe" Ara terlihat sangat excited menyambut anak keduanya. Ia merasa mereka memang lebih siap untuk itu. Berbeda dengan ketika kelahiran Irna, mereka yang masih 'merintis' harus berhemat dan menahan diri untuk membelikan segala keperluan sang bayi. 

Walau keluarga Erli dan keluarga Ara menawarkan bantuan tapi sebisa mungkin Ara tidak meminta. Ia menerima apa yang mereka berikan, tapi tidak meminta apa yang ia rasa kurang.
"Hmm besok lihat-lihat box bayi yuk Bun"
"Haahh.. apaan sih kamu, pamali tau. Kata orang jaman dulu keperluan bayi boleh di beli kalau sudah nujuh bulan"
"Emang ada aturannya dalam Islam?"
"Emmm.. belum tahu sih, tapi... ngga ah, nanti aja"

"Aku mau punya adek bayi" Irna berkata kepada Dimas di sela-sela pelajarannya
"Kapan?"
"Ya nantilah, tahun depan kali, kamu minta dong sama Mamah kamu"
"Ngga ah"
"Kenapa?"
Dimas menggeleng, ia lebih menginginkan Ayahnya daripada seorang Adik.

Selametan empat bulanan di gelar di rumah Orang Tua Erli, sang Bunda memaksa untuk menggelar hajat di sana. 

Umat muslim mempercayai bahwa ruh ditiupkan ketika bayi berusia 4 bulan atau 16 minggu di dalam kandungan, dan di usia tersebut anggota tubuh bayi telah lengkap, minggu-minggu atau bulan-bulan setelahnya adalah proses perkembangan dan penyempurnaan bayi. Di saat inipun hati dan organ tubuh lainnya telah menjalankan fungsinya. Bayi sudah mulai bergerak dan dapat mendengar. Oleh karena itu diadakan tasyakuran sebagai wujud syukur sekaligus pengharapan akan kelancaran kehamilan sampai waktu melahirkan nanti.

Undangan disebarkan kepada ibu-ibu pengajian di wilayah komplek, juga para handai taulan. Sambutan sebagai pembuka hajatan dilakukan oleh Ayah (yang ditolak oleh Ara karena alasan malu berbicara di depan ibu-ibu), setelah itu acara dilanjutkan dengan pembacaan kalam Ilahi, seorang Ibu anggota pengajian melantukan Ayat-ayat suci Al Qur'an, yang lain mendengarkan dengan khidmat, hanya Erli yang kurang khidmat karena perasaan was-wasnya. Ini kali kedua ia akan mengaji didepan khalayak ramai, dan ia masih takut akan salah membaca "Tajwidnya udah bener kan Bun?" ia bertanya kepada Bunda dua hari sebelumnya.

"Ibu Erli" moderator memanggil namanya "Ibu mau membaca Surat Apa?" tanyanya lagi
"Sepenggal Surat Maryam, lalu dilanjutkan dengan Surat Yusuf dan.. ditutup dengan Ar Rahman" tangannya yang memegang mic berkeringat
"Baca Surat Yusuf biar anaknya ganteng kaya Nabi Yusuf ya?" kata-kata MC sedikit melepas ketegangan Erli, setelah membaca Basmalah ia melantunkan tiga surat tersebut. 

Dari kejauhan Ara merekam peristiwa itu, sesekali rekaman ia alihkan kepada Irna yang duduk disamping Neneknya. Ia memandang putri kecilnya yang dibalut busana muslim, poni rambutnya menyembul diantara jilbab yang posisinya sudah tidak rapi lagi, kala Irna melihat papahnya sedang mengambil gambarnya ia akan melambaikan tangan lalu sang nenek akan menyuruhnya diam. Ara tersenyum.

Setelah Erli selesai mengaji, acara selanjutnya adalah tausyiah atau ceramah oleh Ustadzah pemimpin pengajian komplek. Dan ditutup dengan Doa lalu pembagian nasi box yang telah disiapkan oleh keluarga.
"Tadi aku ngajinya bagus ngga?"
"Heemm.. bagus ngga Ir?" Ara malah bertanya kepada Irna
Dan dengan gayanya yang lucu Irna menjawab "Emmm yaa lumayanlah" 

Dimas pun hari itu tampak berbeda, baju koko yang baru dibelikan oleh Dinda sangat pas ditubuhnya, Dinda terus memperhatikan putranya tersebut, semakin lama ia perhatikan semakin ia menemukan kemiripan Dimas dengan Yosi.

"Jadi aku boleh bertemu Dimas?"
"Bukan bertemu, tapi cuma melihat dari jauh"
"Aku ingin menyentuhnya"
"Tidak sekarang"
Dinda akhirnya menyetujui keinginan Yosi untuk bertemu, ia merasa tidak enak dengan orang rumah karena Yosi terus saja menelponnya.

"Boleh aku minta poto Dimas?"
"Untuk apa?"
"Aku ingin melihatnya, malah kalau boleh aku mohon kamu memberikan poto-poto dari dia masih bayi, sampai saat ini"
"Bukannya kamu sudah bahagia? Menikah, sudah punya anak juga" ada rasa sakit ketika Dinda mengatakannya
"Aku dijodohkan, aku dipaksa menikah"
Dinda mendengus
"Kamu tidak percaya? Kamu tidak tahu betapa menderitanya aku selama ini, aku tidak mau pergi kuliah, aku hanya mengurung diri di kamar. Aku.. "
"Sudahlah Yos, kamu tidak perlu mengumbar deritamu. Disini akulah yang paling tersiksa, kamu tidak tahu bagaimana rasanya hamil dibawah tekanan. Di antara seliweran kata-kata yang tidak enak. Aku harus berhenti kuliah, aku melahirkan sendirian. Menangis sendirian. Kamu tahu? Aku sampai mengalami baby blue, aku ngga mau memegang bayiku, aku memukul-mukul diriku sendiri. Lalu dimana kamu? Jangan bilang kamu menderita Yos, itu ngga ada apa-apanya dibandingkan apa yang aku rasakan"
Yosi terdiam, ia memandang lekat-lekat ke arah Dinda
"Dimas anak yang pintar, ia sering bertanya dimana Ayahnya? What am i suppose to answer?" lanjutnya lagi
"Lalu kamu jawab apa?"
"Kamu mau aku menjawab apa? Ayahnya sudah mati?" Dinda menyadari kekasarannya tapi ia tidak perduli
"Din.. please.. jangan begitu" Yosi mengulurkan tangan, ingin menyentuhnya tapi ia menepis.

"Mah.. Mamah melamun ya?"
"Hah.. Ngga koq, kenapa sayang?"
"Di dalam perut tante Erli ada bayinya ya?" Dimas duduk dipangkuan Dinda
"Ada, tapi bayinya masih kecciill banget"
"Koq bisa? Masuknya lewat mana?" 
Dinda menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari jawaban akan pertanyaan kritis tersebut
"Lewat mana yaa.. Humm coba kita tanya sama tante Erli yuk" Dinda tidak ingin kerepotan sendiri dalam hal ini, ia pun melibatkan kakaknya
 
"Bagaimana kalau kita tanya sama Nenek?" dan itulah jawaban Erli, ia mendelikkan mata kepada Dinda yang cuma bisa mengangkat bahu memasang tampang "I don't know either" 

Mas Nadir yang memperhatikan adik-adiknya hanya bisa tersenyum, di balik keseharian mereka berdua dalam mengurus anak, mereka tetap jiwa-jiwa muda yang masih harus banyak belajar menjadi seorang Ibu yang sempurna
  
-38726/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging