Monday, January 16, 2012

Semarang (XXIII)

Terkadang aku ingin pergi jauh, ke tempat dimana tidak ada yang mengenalku dan akupun tidak bertemu dengan orang-orang yang aku kenal. Hanya aku dan lingkungan baru.
Aku tidak ingin berada di lingkungan lama yang terus meracuniku dengan hal-hal yang membuatku terluka. Inginku berjalan tanpa beban, tanpa tatapan sinis dari orang yang bahkan hanya mengenalku dipermukaan.
Aku ingin bebas, ingin menapaki dunia baru.. Tapi tentu saja kan ku bawa kau bersamaku. Biarlah yang lain kita tinggalkan dibelakang. Aku hanya mau kamu, untuk saat ini dan yang akan datang.


“Sstt Joko, sstt woyy”
Joko pemuda yang bekerja sebagai tukang kebun itu sedang asik merapikan tanaman anggrek di halaman belakang. Ia menoleh
“Mas manggil saya?”
“Ya iyalah, siapa lagi, sini cepetan” Yosi masih berbisik
“Iya mas, ada apa?”
“Lo tolong cariin taxi, terus kalo udah dapet jangan elo bawa kesini, tapi parkir di depan rumah sebelah aja” Joko manggut-manggut walau belum mengerti situasi
“Tapi elo sekarang ke kamar gue dulu, bawa turun koper yang ada dikamar, nah terus lo bawa deh naik taxi. Ngerti ngga?”
“Iya Mas” Joko manggut-manggut lagi
“Udah sana cepetan, nunggu apa lagi… Eh tapi inget jangan sampai ada yang lihat, termasuk Bik Onah” Bik Onah adalah kakak dari Joko, yang juga bekerja di rumah Yosi

----------

“Neng Dinda mau kemana? Tumben udah mandi hehe”
“Bosen Bik di rumah terus, aku mau ke mini market depan komplek ya”
“Waduh sama siapa?”
“Sama Nisa, tadi udah janjian. Udah dulu ya Bik, nanti dia nunggu kelamaan aku ngga enak” Dinda berlalu cepat dari hadapan Bik Jum, takut Bik Jum curiga atau bahkan menghalangi. Maaf ya Nis, nama elo gue pinjam, abisnya cuma elo tetangga yang sekaligus sahabat dekat.

Dinda menengok ke kanan dan kiri sebelum masuk ke taxi yang sudah menunggunya di pertigaan. Dadanya naik turun, hamil membuatnya gampang capek.

“Elu ngapain sih Yos, kenapa ngga ke rumah aja”
“Gua takut, nanti diusir”
“Siapa yang mau mengusir elu”
“Mac Gyver, hehe.. Pak jalan pak”

Taxi berhenti di Stasiun Gambir, Yosi tidak perlu repot-repot mengantri di loket, karena satu hari sebelumnya ia telah menugaskan Joko untuk membeli tiket kereta api.

“Yosi.. kita mau kemana?” yang Dinda tahu mereka hanya ingin makan dan ngobrol di suatu tempat yang sifatnya privasi, tentu saja itu bukan di rumah. Tapi… kenapa stasiun kereta? Dan kenapa Yosi membawa koper?
Yosi tidak menjawab, ia terus menggandeng tangan Dinda, memegangnya kuat-kuat seolah takut kalau Dinda akan melepas pegangan itu dan pergi darinya.



“Jadi Dinda bilangnya mau pergi ke mini market sama Nisa?” Ayah mengulang perkataan Bik Jum yang menunduk, antara campuran bingung, takut dan cemas
“Iya pak, Neng Dinda bilangnya begitu sama Bibik. Mau Bibik anterin dia ngga mau, langsung aja ngeloyor pergi”
“Erli, coba kamu ke rumah Nisa”
“Tadi sudah Erli telpon Yah, Nisa nya belum pulang kuliah dari tadi pagi. Tapi kata Tante Melda dia akan menanyakan perihal Dinda ke Nisa, jadi Erli lagi menunggu kabar dari Tante Melda”
“Huff, kemana sih anak itu. Bikin orang panik aja”

Ayah mencoba menelpon kembali..

“Yos, nih ayah telpon lagi.. Duuhh gua takuut. Sumpah gua ngga mau merepotkan mereka terus, gua mau pulang aja” Dinda menangis
“Ngga bisa pulang sayang, keretanya udah jalan”
“Turun di stasiun berikutnya, gua ngga mau tahu pokoknya gua mau pulang. Elu mau digebukin lagi sama Mas Nadir?”
“Ih koq ngancem begitu”
“Habisnya” Dinda semakin menangis, membuat orang disekitar melihat ke arah mereka
“Sttt… elu jangan nangis dong, cepcep.. nanti orang mengira kalau gua nyulik elu”
“Ya makanya” Dinda menghapus air matanya dengan kasar, bayangan Ayah yang pastinya akan marah, Bunda yang menangis, Mba Erli yang sangat khawatir dan Mas Nadir yang… duuhh gua ngga bisa membayangkan akan jadi apa nanti kalau Yosi bertemu Mas Nadir

“Bisa-bisa elu jadi rempeyek”
“Hah.. Apa?” Yosi tidak mengerti dengan perkataan Dinda yang tiba-tiba itu
“Gua bilang bisa-bisa elu jadi rempeyek kalau ketemu sama Mas Nadir” ia cemberut, mengalihkan pandangan ke luar kereta yang melaju kencang
“Gua lapar”
“Memang tadi di rumah belum makan”
“Udah, tapikan orang hamil itu bawaannya laper melulu, elu sih ngga pernah hamil”
“Yee masa gua hamil, nanti kaya filmnya Arnold Schwarzenegger dong, yang apa tuh judulnya, yang dia jadi bapak-bapak tapi hamil”
“Ngga tahu ah, bomad”

Yosi membelikan jajanan khas kereta, aksi suap ini membuahkan hasil, Dinda tidak terlalu uring-uringan walaupun wajah khawatirnya terlihat jelas
“Yosi, elu bilang elu mau belajar Islam, bohong ya?”
Yosi menggeleng cepat
“Ngga gua serius, Gua pengen anak gua punya orang tua yang lengkap makanya gua akan nikahin elu”
“Di Semarang?”
“Hmm di mana aja boleeehh”
“Iiihh ngga lucuuu”
“Aww…” kalau Erli hobinya suka mencubit, Dinda lain lagi, ia lebih suka menginjak kaki

Dinda mengeluarkan Blackberry-nya, ia akan memberitahukan keberadaannya kepada orang rumah, harus!!

Mba Erli, sebelumnya Dinda minta maaf sama semuanya kalau Dinda selalu bikin susah. Dinda ngga tahu kalau bakalan seperti ini.


Jadi ceritanya tadi siang Yosi mengajak ketemuan, dia bilang dia mau belajar Islam, mau nikahin Dinda. Makanya Dinda keluar rumah, tapi Dinda bilang sama Bik Jum kalau Dinda mau ke mini market (pliiss jangan omelin Bik Jum, dia ngga salah). Terus ternyata Yosi membawa Dinda ke Gambir. Beneran deh Dinda ngga tahu.

Dan sekarang Dinda udah di jalan menuju Semarang. Dinda sih pengen turun di stasiun berikutnya tapi Dinda takut, kami berdua ngga punya pengalaman naik turun kereta. Jadi.. dengan terpaksa Dinda (untuk saat ini) akan ikut Yosi ke Semarang. 

Nanti di Semarang Dinda akan kasih tahu alamat rumah saudaranya Yosi. Pliiss jangan marah yaa… Dinda sayaaang banget sama kalian… Tidak pernah ada maksud untuk menyusahkan apalagi membuat malu keluarga. Maafin Dinda.

Peluk cium Dinda untuk semua.

Send. Dinda mengirim email kepada Erli, ia tidak ingin kalimatnya terpotong sehingga ia memutuskan untuk mengirim email, bukan BBM atau telepon

----------

“Kita lapor ke polisi aja Yah, Nadir punya teman polisi. Dia pasti mau bantu”

Sudah jam delapan malam, dan tidak ada kabar dari Dinda, Bunda mengurung diri di kamar, masih dengan berbalut mukena ia bermunajat kepada Allah, meminta agar tidak terjadi apa-apa dengan Dinda.

“Bunda” Erli mengetuk pintu kamar, ia membawakan nampan berisi teh manis hangat dan hakau buatan Bik Jum. Ia masuk setelah Bunda mempersilakannya masuk

“Bunda makan dulu, dari tadi sore Bunda ngga makan apa-apa” Erli menahan diri untuk tidak menangis

Bunda menggeleng

“Bunda mengkhawatirkan Dinda, kalau saja tadi sore Bunda ada di rumah, pasti ngga akan seperti ini”
“Bunda jangan bilang begitu”

Blackberry dikantong Erli berbunyi, ia membukanya, sempat menahan nafas sebentar lalu..

“Bunda, baca ini.. dari Dinda”

Setelah membacanya Bunda berlari keluar kamar, memberitahukan hal itu kepada Ayah dan Mas Nadir

“I knew it, aku udah feeling Yah, pasti gara-gara anak brengsek itu… Arrghh”
“Nadir, kita semua marah, kita kecewa, tapi Ayah ngga mau kamu bertindak gegabah seperti waktu itu. Ingat itu?” Ara yang juga ada disana memperhatikan Ayah, semakin lama ia mengenal Ayah semakin bertambah perasaan respeknya.

Erli hendak menelpon Dinda tapi Ara mencegahnya, menurutnya akan lebih bijak kalau Erli membalas email tersebut.

Dindaaaa, kamu tuh ya bikin orang panik aja, kamu ngga tahu betapa sedihnya Bunda. Ia menangis terus, merasa bersalah, takut kamu melakukan perbuatan nekat. Kamu bikin kita senewen. Hampir aja kita mau lapor polisi, biar polisi mencari kamu. Apa menurutmu Mas Nadir akan diam saja? Bisa-bisa si Yosi itu habis sama Mas Nadir, tahu kamu hah? Paham kamu??


Kamu ngga kasian sama Ayah, beliau itu begitu sayangnya sama kita. Plis Dinda be mature, kamu tidak hidup sendirian, kamu punya kami. Jadi tolong jangan hanya memikirkan keinginanmu sendiri.

Ara baru membacanya setelah Erli mengirim email tersebut

“Koq begini bahasanya?”
“Habis harusnya bagaimana?”

Ara tidak bisa menjawab, ia hanya menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal

----------

Dinda menangis, lagi. Guncangan tubuhnya membangunkan Yosi
“Kenapa? Laper lagi?”

Dinda tidak menjawab, ia hanya menyerahkan Blackberry-nya kepada Yosi
“Tuhkan aku bilang apa. Kamu pasti habis sama Mas Nadir”

----------

Keesokan paginya Bunda mencoba menghubungi Dinda, tapi kotak pesan suara yang menjawab

“Mungkin kehabisan batrei kali Bun, dia kan ngga bisa ngecharge di kereta” Erli menenangkan. Pagi itu mereka berkumpul di meja makan seperti biasa, tapi sarapan yang dihidangkan oleh Bik Jum hampir tidak mereka sentuh. Loose appetite. 

----------

Dinda merasa tubuhnya sangat lelah, pegal karena berjam-jam hanya duduk, dan disini.. di rumah ini ia kembali terduduk untuk mendengarkan ‘ceramah’ dari sepupu jauh Yosi. Pada dasarnya keluarga ini baik, tapi mereka hanya menyayangkan yang telah terjadi. Selain merasa diceramahi mereka berdua merasa seperti tahanan yang sedang diwawancara dan dikorek kejahatannya. Untung tadi pas datang langsung dikasih makan, kalau ngga aku mungkin saat ini udah bertanduk, atau kalau tanduknya ngga keluar yaa paling banter aku pingsan ditempat. Pikiran Dinda menerawang, ia membayangkan kasur empuk, selimut tebal dengan ruangan ber-ac, berendam di bath up seperti yang sering ia lakukan di kamar mandi Bunda kalau ia merasa penat.

Akhirnya Bima, sepupu jauh tersebut mengijinkan Dinda beristirahat di kamar tamu. Dinda diberikan handuk bersih dan pakaian ganti oleh Vivi, istri Bima. Kelegaan yang sangat ketika tubuhnya menyentuh kasur, ia tidak perduli dengan nasib Yosi yang masih diceramahi Bima. Rasain!, gumamnya sebelum matanya benar-benar tertutup.

----------

“Assalamu’alaikum” lamat-lamat Dinda memberikan salam
“Wa’alaikumsalam, Neng Dinda?” Bik Jum langsung mengenali suara itu, dan suara Bik Jum yang kencang membuat orang rumah yang masih berada di meja makan menghambur menghampirinya. Bik Jum memberikan gagang telepon kepada Bunda

“Iya Bik, ini aku. Bagaimana keadaan di rumah” Dinda masih belum tahu kalau gagang telepon sudah berpindah tangan
“Dinda..” Suara Bunda bergetar, walau sedih dan kecewa tapi ada perasaan syukur kalau putrinya baik-baik saja
“Bundaa.. huhuhu” Dinda tidak kuasa menahan diri, tangisnya pecah.. ia memegang gagang telepon dengan erat
“Maafin aku Buun, aku sudah durhaka sama Ayah dan Bunda”
“Jangan bilang begitu sayang.. Kamu dimana? Kamu baik-baik sajakan?” tentu saja Bunda akan memarahinya, tapi nanti bila mereka bertemu. Memarahi anak di telepon bukanlah tindakan yang baik. Anak akan semakin takut kepada orang tua, lalu ia akan menyesal telah memberitahukan kesalahannya kepada orang tuanya. Ia akan melarikan diri, dan tidak bertemu dengan orang tua adalah tindakan yang ia pikir akan lebih nyaman untuknya. 

Ayah membiarkan Bunda berbicara dengan Dinda sampai Dinda menanyakannya
“Ayah udah berangkat kerja ya Bun?”
“Belum sayang, kamu mau bicara sama Ayah?” Dinda menggeleng tapi lalu ia sadar kalau Bunda tidak melihatnya
“Hmm ngga usah deh Bunda, Dinda takut. Sudah dulu ya Bun, ngga enak nih nelpon kelamaan, soalnya Dinda pinjem telpon dari Mba Vivi, BB Dinda belum dicharge”
“Ya sudah, nanti kalau BB nya sudah ada batreinya jangan lupa kamu kasih tahu alamat disana ya. Insya Allah hari ini juga kami akan menjemputmu. Segera ya sayang karena Mba Erli mau booking tiket” Bunda tidak ingin menunda menjemput Dinda, lebih cepat lebih baik.
“Iya Bunda, nanti aku sms aja deh dari BB nya Yosi” Yosi yang namanya disebut langsung melihat kearah Dinda, sedari tadi Yosi berdiam diri, ia memupuk mental, takut akan kedatangan keluarga Dinda.

-28406/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging