Tuesday, January 24, 2012

Its Unwrap (XXXVII)

Serapat-rapat engkau menutup bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Sepintar-pintar engkau menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan ketahuan juga.

Di ruang keluarga, Ayah yang sedang menonton CNN memandang Dimas yang duduk di karpet, sedang merangkai rel kereta berwarna kuning
"Dimas, mainannya bagus sekali, baru ya?"
"Iya Kek, ini kan yang beliin om itu" Dimas mulai menjalankan kereta di relnya
"Om?? Om siapa?"
"Itu looh temennya Mamah"
Ayah tidak pernah melihat Dinda bersama pria, tentu saja mengherankan kalau Dimas mendapat hadiah dari seorang 'om'
"Memang Dimas pernah bertemu dengan temennya Mamah?"
"Sering"
Keheranan Ayah semakin menjadi. Dengan nada santai Ayah mulai bertanya kapan mereka bertemu, dimana dan seperti apa penampilan pria itu.
"Kalau pulang sekolah dan Mamah yang menjemput, aku sering diajak makan, pernah juga hari libur. Orangnya baik Kek"
"Oh ya?"
"Iya, tapi masa ada yang lucu deh" Dimas meninggalkan mainannya dan duduk di pangkuan kakeknya
"Apa?"
"Kan si om itu lagi nemenin aku main di kidzania terus ada ibu-ibu yang bilang "Ih anaknya lucu deh".. memang aku anaknya om itu" dengan kepolosannya Dimas bercerita
"Terus om itu bilang apa?"
"Om itu bilang "Iya anak saya memang lucu, pintar lagi" begiitu"

Sudah dua hari Ayah memikirkan cerita Dimas, ia teringat Yosi, walau ia berharap om yang dimaksud bukan Yosi.

"Dinda, koq baru pulang?" 
"Iya Yah, tadi habis dari rumah Mbak Erli"
"Ada apa?" 
"Mbak sakit Yah, dia... aku mencoba membujuknya untuk ke psikiater"
"Kenapa dengan Mbakmu?"
Dinda menceritakan kondisi Erli, ia bertukar pikiran dengan Ayah
"Ayah punya teman seorang psikiater, Ayah akan berbicara kepadanya"
"Hu-uh, makasih ya Yah. Erli ke kamar dulu ya, capek banget" dan Ayah mengurungkan niatnya untuk menanyakan perihal "Om" tersebut

Keesokan harinya Ayah berkunjung ke rumah Erli, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat perubahan dalam diri Erli. Anaknya itu menjadi lebih kuyu, wajah bulat telurnya berubah tirus dengan kantung mata menghitam. Erli lebih banyak melamun.

"Li.. lihat tas yang ayah pakai. Masih ingat?" Ayah mengacungkan tas kulit berwarna coklat
Erli mengangguk, ia mengenali tas itu, matanya berkaca-kaca 
"Katanya Ayah mau buang, sini Erli bakar"
"Jangan dong, inikan hadiah dari Bunda"
"Katanya Ayah ngga mau pakai" suaranya menggantung di udara
"Ayah berubah pikiran. Ayah akan menjaga barang-barang yang diberikan Bunda. Dan kamu tahu Li Ayah akan menjaga diri Ayah karena itulah yang paling berharga bagi Bundamu dulu"
Erli terdiam
"Aku.. sering mendengar suara Bunda Yah, dan Rian.."
"Rian?"
"Iyaa.. Rian my baby"
"Bagaimana bisa kamu mendengar mereka sedangkan mereka sudah tidak ada. Kamu berhalusinasi?"
"Feel like real"
"Li.. kamu tidak pernah meninggalkan shalat kan?"

Sebelumnya Ayah telah menemui salah satu temannya yang berprofesi sebagai psikiater, sang sahabat mengatakan agar Ayah berbicara kepada Erli dari hati ke hati, menanyakan apa yang ia rasakan, menyentuh tangan Erli dan mengusahakan eye contact ketika berbicara. Erli perlu menyibukkan diri dengan hal-hal yang ia sukai, dan ia juga menyarankan agar mereka berlibur bersama. "Jangan lupa selalu melibatkan Tuhan Hen.. yaah you know better than me laah" sang psikiater menutup pembicaraan mereka.

"Kenapa Ayah bertanya seperti itu?"
"Entahlah, mungkin karena Ayah bingung. Kamu anak Ayah yang paling wise dalam menghadapi masalah. Tapi.. kali ini kamu benar-benar down. Ayah sedih melihatmu seperti ini Li" Ayah menyentuh tangan Erli. Tangan itu lebih kecil dari yang terakhir Ayah ingat
"Aku.. aku sangat rapuh Yah. Without Bunda i am nothing"
"Sstt.. kamu jangan bilang begitu. Ara dan Irna, mereka lebih membutuhkanmu saat ini"
"Tapi Erli butuh Bunda"
"Li.. kamu ingatkan satu ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kesanggupan umatNya?"
Erli mengangguk
"Allah pasti tahu kalau kita sanggup melewati cobaan ini. Semua yang ada di dunia ini cuma titipan sayang.."
"Iya Yah, aku tahu tapi.. kalau bukan karena aku mungkin Bunda masih ada, kalau aku tidak melewati jalan-jalan kecil itu mungkin kita tidak akan seperti ini. Mungkin masih ada Bunda.. dan Rian dalam perutku" Erli menghapus air matanya
"Satu lagi yang dilarang Allah, yaitu berandai-andai. Kamu menyangsikan keputusanNya Li? Bukankah ia memberikan yang terbaik untuk kita? Kamu ingat bahwa Allah memberikan yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan"
"Memangnya saat ini kita butuh kehilangan Bunda?"
Erli menatap wajah Ayah, mencari ketenangan akan ketakutannya sendiri
"Semua yang hidup akan mati kan sayang?"
"Errghh.. in theory i know it for sure, tapi.. aku masih susah mengaplikasikannya"
"Itu sebabnya kamu berhalusinasi? Mendengar suara Bunda dan Rian?"
 
Ara berterima kasih atas kedatangan Ayah, ia menerima usulan Ayah agar tidak membujuk Erli untuk ke psikiater terlebih dahulu, karena Erli akan terus memberontak dan itu hanya akan memperburuk keadaan. Ayah ingin Ara meluangkan waktu berdua saja dengan Erli, pergi ke suatu tempat, mengajaknya kontemplasi, karena itu bukanlah delusi atau schizophrenia, ia hanya mengalami perasaan bersalah yang akut. Dan ia butuh bimbingan untuk itu.

"Darimana Yah?"
"Dari rumah Erli"
"Ooo.. Lalu bagaimana?"
"Sering-seringlah tengok Mbakmu, dia cuma butuh pengertian bahwa semua ini takdir Allah"
"Aku jugakan sibuk Yah, so many things to do"
"Termasuk bertemu dengan pria itu?" Ayah merasa ini kesempatan untuk bertanya
"Pria siapa?"
"Pria yang memberikan mainan kepada Dimas"
Dinda masih diam
"Siapa Din?"
Dinda menarik nafas panjang, mencari kata yang sesuai untuk tidak menimbulkan kemarahan Ayah. Tapi ia tidak ingin terus menutupi, lamat-lamat ia menjawab
"Yosi Yah"

Kini tak ada lagi Bunda yang menenangkan Ayah, memeluknya di kala Ayah marah. Dan tidak ada juga Mbak Erli yang membelanya. Dinda sendirian, menunduk dalam diam. 
"Apa yang kamu harapkan dari dia hah?"
"Dia hanya ingin bertemu dengan Dimas Yah"
"Kenapa kamu tidak cerita ke Ayah?"
"Aku takut Ayah marah" 
"Kamu pikir sekarang Ayah tidak marah? Kamu ingat bagaimana dulu keluarganya menghina kita?"
"Tapi Dimas anaknya Yah"
"Tapi seharusnya kamu membicarakan hal ini kepada Ayah, kamu melangkahi Ayah"
"Yah plis aku sudah dewasa, aku punya hak untuk menentukan hidup anakku sendiri"
"Dinda! Kamu masih tinggal di rumah ini dan kamu masih anak Ayah jadi Ayah berhak tahu segalanya tentang kamu!!"
Dinda masih mau membantah, tapi Ayah berkata lagi
"Memangnya kamu mau kemana kalau kamu ada masalah? Kamu akan kembali ke Ayah, ke keluarga ini. Dan akan selalu seperti itu. Mengerti kamu?"
"Aku selalu salah di mata Ayah, ngga seperti Mbak Erli"
"Jangan bawa-bawa Erli, ngga ada hubungannya sama sekali"
"Tentu aja ada. Ayah memanjakan Erli dan suaminya. Ayah tampung mereka di rumah ini sampai mereka bisa membeli rumah sendiri. Mengurus anaknya sendiri. Ayah bahkan ngga menyalahkannya ketika kecelakaan itu terjadi. Ayah langsung datang memberikannya perhatian ketika tahu ia stres. Kepergian Bunda tidak cuma dirasakan oleh Ayah dan Mbak Erli, aku juga sangat kehilangan, tapi Ayah tidak pernah bertanya perasaanku. Aku capek Yah, aku capek di anak tirikan"

Hampir saja Ayah menamparnya, tapi itu tidak dilakukan. Dan Dinda pergi dari hadapan Ayah..

Hampir saja tangan itu.... , hampir.. besok-besok mungkin bukan hanya hampir.. Dia yang bahkan tidak pernah berkata kasar hampir saja menjatuhkan tangannya kepadaku.. Aku tidak membencimu Mbak, aku cuma.. kadang terganggu dengan semua ini.. Maafkan aku.. 

-47078/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging