Monday, January 23, 2012

Move on? (XXXV)

"Din, aku turut berduka cita ya atas kepergian Ibumu, aku tahu kalau ia sangat berarti untuk kalian"
Kata-kata Yosi terdengar tulus. Ini kali keempat mereka bertemu di pelataran parkir sekolah Dimas. Seperti janji Dinda Yosi boleh melihat Dimas tapi tidak boleh bersinggungan langsung dan untuk itu Dinda sebisa mungkin mengawasi Dimas

"Thanks"
"Dimas lucu yah, ia sepertinya anak yang pintar"
"Damn Right" Yosi hanya melihat Dinda, kata-kata Dinda yang kasar tidak ditanggapi

Dimas keluar dari kelas, dibelakangnya Irna berlari kecil mengejarnya. Kedua bocah itu berjalan menuju Nuni dan Pak Kirun yang sudah datang menjemput mereka. Dimas tidak tahu keberadaan Dinda.

"Sampai kapan aku akan seperti ini? Menunggu di sudut dan hanya bisa melihatnya dari jauh. Aku ingin memeluknya Din"
"No you can't" Dinda menjawab singkat
"Din.. plis berhenti bersikap kaku. Ini aku.. Yosi, orang yang dulu kau cintai, Ayah dari Dimas"
"Yos, cinta kita itu cinta monyet"
"Aku tidak menganggapnya begitu"
"Ya sudah, it's up to you. Bygones" Dinda melangkah pergi. Tugasnya sudah selesai
"Bisakah kita ngobrol di suatu tempat? Sambil lunch?"
"I'm busy"
"Iya aku tahu kamu wanita karier, but please.. jangan terus menghindari aku"

Yosi tidak tahu betapa inginnya Dinda bersama Yosi, membicarakan masa lalu mereka, bertukar cerita tentang apa yang terjadi selama beberapa tahun ini, mengatakan kepada Yosi bahwa ia merindukannya.. Yah Dinda masih menyimpan perasaan itu, bagaimana mungkin ia mengabaikan Ayah dari putranya? cinta itu masih ada, walaupun beberapa pria berusaha mendekatinya tapi ia menolak. Jauh dilubuk hatinya ia masih menginginkan Yosi.
"Next time ya" tapi itulah yang keluar dari bibir Dinda

Move on.. kata-kata itu kembali terngiang di telinga Dinda, I don't wanna move on, i wanna move back, with him.. Lamunannya kembali ke episode lama dalam hidupnya. Andai orang tua Yosi mengijinkan mereka menikah mungkin saat ini berbeda, mungkin saat ini ia tidak perlu bekerja pontang panting untuk menghidupi dirinya dan Dimas, bahkan mungkin.. ia yang akan menemani Bunda mencari kado untuk Ayah dan Bunda tidak akan.. Astaghfirullah, maafkan aku Ya Allah, aku hanya belum bisa menerima ini semua. It's too much.

Ajakan selanjutnya Dinda mengangguk, atas dasar "tidak enak" ia menerima tawaran Yosi untuk makan siang

"So.. how's life?"
"Like you see, I'm alive"
"Din.. plis deh, jawabnya ngga usah seperti itu kenapa sih"
"Seperti apa?"
"Sinis"
"Hhh.. Jadi aku harus apa? Bermanis-manis?"
Yosi terdiam, lalu ia berkata
"Kamu masih marah denganku? dengan keluargaku? Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan kebencianmu itu? Tolong Din, aku sangat kangen kamu yang dulu, kamu yang terbuka, kamu yang.. ceria. Dari pertama aku bertemu kembali denganmu aku tidak melihat tawamu. Sesulit apa efek dari perbuatan kita? Katakan Din.. aku ingin merasakan penderitaanmu"

Dinda meleleh, kata-kata itu seperti angin surga ditengah-tengah kepayahannya
"Kamu tidak tahu apa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, aku banyak menangisi hidupku, tapi juga tertawa.. karena Dimas. Kamu tidak tahu Yos" jawabnya pelan
"So ceritakan kepadaku agar aku tahu" Yosi semakin menuntut, ingin sekali ia kembali involve ke dalam hidup Dinda. Dinda merasakan kenyamanan yang dulu, rasa tentram yang membuatnya mengindahkan larangan Ayah untuk dekat dengan Yosi.

"Mamah.. koq Mamah yang jemput, bukannya Mbak Nuni?" Dimas bertanya ketika suatu hari dilihatnya Dinda menunggunya di luar pagar sekolah
"Kamu lebih senang dijemput Mbak Nuni yaa daripada Mamah?"
"Ya ngga laah hehe"
Dimas dan Irna memasuki mobil, duduk di tengah lalu menggunakan safety belt. Tanpa banyak bicara Dinda mengantarkan Irna pulang ke rumahnya yang memang tidak jauh dari sekolah, pun dengan rumah Ayah. Ara sengaja mencari rumah yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ayah karena ia tahu bahwa Erli akan sangat membutuhkan kedekatan itu.
"Dadagh Irna, salam ya sama Bunda and Papah" 
"Dadagh, makasih tante. See ya tomorrow Dimas"
"Byee" Dimas menutup kaca

Dinda menjalankan mobil setelah dilihatnya Lastri keluar rumah dan menyongsong Irna.
"Kita ke mall sebentar ya Mas"
Dimas memandangnya dengan heran "Mamah ngga kerja?" 
"Tadi ijin sebentar, nanti balik lagi"
"Huumm.. bekerja itu bisa keluar-keluar ya? Dimas ngga bisa loh di kelas, paling-paling kalau mau ke toilet aja" Dinda tersenyum, sudah terbiasa dengan kritisnya sang putra. Ia lebih menyiapkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan seputar Yosi. Nanti.. setelah ia mempertemukan mereka berdua akan ada banyak pertanyaan dari Dimas.
Agar jauh dari jangkauan penglihatan, Dinda memilih tempat duduk agak di sudut, duduknya gelisah sementara Dimas sudah mengaduk Ice Creamnya, cheesecake yang diblender dengan peppermint choco plus taburan oreo membuatnya tidak memperhatikan kegelisahan Dinda.

Orang yang ditunggu datang..
"Ehem.. Dinda? Apa kabarnya?" rencana mereka adalah pertemuan itu merupakan pertemuan tak terduga
"Eh Yosi? Hei apa kabar? Aku baik" 
Lalu Yosi duduk di hadapan Dimas
"Dimas, kenalkan ini teman Mamah" perhatian Dimas tidak lagi ke mangkuk ice cream, ia melihat Yosi lalu menerima uluran tangan Yosi
"Namaku Dimas" ia berkata seperti yang selalu diajarkan Mamah
"Hai Dimas.. Eee kalau nama lengkapnya siapa?"
"Dimas Zahirul Amin"
"Wah nama yang bagus sekali.. Siapa yang kasih nama itu?"
"Ya Mamah aku lah"
Dinda diam
"Ooo.. artinya apa tuh kalau om boleh tahu" senyum Yosi masih mengembang
Dimas menengok ke arah Dinda
"Jawab dong Mas" dalam hati ia berdoa agar ia terus dikuatkan
"Dimas itu artinya terkasih, kaloo Zahir itu artinya pelindung, terus kaloo Amin.." ia menengok lagi, meminta bantuan sang Ibu
"Amin artinya dapat dipercaya, jadi kalau digabung?"
"Kalau digabung berarti anak yang dikasihi dan bisa melindungi, samaa bisa dipercaya"
Yosi terkagum-kagum akan kepintaran anak kelas satu SD itu, ia hampir saja ingin memeluknya tapi untunglah ia menyadari posisinya
"Waah hebat sekali ya Dimas, memangnya Dimas mau melindungi siapa sih?"
"Ya Mamah laah" 

Dalam BBM nya Yosi berterima kasih atas pertemuan itu, dengan nada tidak memaksa ia mengharapkan bisa bertemu lagi dengan Dimas, Ya memang Yosi tidak memaksa secara langsung tetapi ia sangat piawai dalam meracik kata-kata sehingga tanpa disadari, Dinda sudah terintimidasi olehnya. Apalagi Dimas pun mengatakan bahwa pertemuan itu menyenangkan

"Mah om itu itu siapa sih?" Dimas bertanya dalam perjalanan pulang
"Teman Mamah, kenapa?"
"Orangnya baik yah, aku senang ketemu sama om itu" 

Dan bagian dalam rencana mereka pula bahwa Yosi tidak memperkenalkan diri. Dinda tidak ingin Dimas menceritakan pertemuan ini dan menyebut nama Yosi di keluarganya.

"Mamah kenal dimana?"
"Teman Mamah dulu"
"Rumahnya dimana?"
"Duh, Mamah juga ngga tahu"
"Sepertinya aku pernah lihat, emmm dimana yaa?"
"Dimana.. dimanaa.. dimanaa..."
"Aahh Mamah niihh kaya Ayu tingting aja, males deh"

Yosi semakin sering mengisi hari-hari Dinda, ia menggantikan posisi Bunda dalam hal perhatian, mengingatkannya makan atau shalat, menanyakan jam berapa ia pulang, berkata "Hati-hati di jalan" dan "Selamat tidur". Tidak lupa disisipi pertanyaan tentang Dimas. Dinda semakin terbuka oleh Yosi. Ia menceritakan masalah Ayah, pekerjaannya, Mbak Erli dan apapun yang merisaukan hati. Perasaan itu kembali bersemi, perasaan yang dengan susah payah ia coba kubur kini menyeruak dengan mudahnya. 

Bunda, engkau menyuruhku untuk move on, menemukan pria yang aku nyaman bersamanya, kini ada seorang yang dekat dengan aku, tapi.. orang itu orang dimasa laluku. Orang yang pernah dipisahkan dari aku. Orang yang memberikanku bahagia sekaligus derita. Orang yang aku cinta tapi tak bisa untuk bersama. Bunda.. Aku harus bagaimana? Hadirlah dalam mimpiku Bun, berikanlah aku wejanganmu yang selalu menenangkan hatiku.. Aku rindu engkau.

-44740/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging