Wednesday, January 18, 2012

Tamu yang tak diharapkan (XXV)

Sore yang tenang itu rusak oleh tamu yang membuat rusuh, Bik Jum tidak bisa menghalau ketika sang tamu berteriak-teriak ingin bertemu dengan tuan rumah. Ayah yang baru saja kembali dari kantor cepat-cepat keluar menemui mereka

“Ada apa ini Bik?”
“Ini Pak, mereka memaksa ingin bertemu dengan Bapak”
“Oh silakan masuk” Ayah mempersilakan masuk mereka
“Begini, langsung saja. Saya tidak akan mengijinkan anak saya menikah dengan Dinda. Saya jadi curiga jangan-jangan memang itu niat kalian. Menikahkan Dinda dengan anak saya”
“Mamah”
“Diam kamu Yosi”
“Mamah jangan berbicara seperti itu, kalau Mamah mau menyalahkan, Yosilah yang pantas disalahkan”
“Diam kamu!! Kamu disini hanya sebagai petunjuk jalan. Kamu tidak punya hak berbicara” Ibunda Yosi yang berpenampilan laiknya sosialita ternyata tidak punya manner sedikitpun
“Ibu, tolong jangan membuat onar di rumah saya. Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Saya rasa ibu mengerti sopan santun”
“Hallah, ngga usah berpura-pura. Sebenarnya kalian maunya apa? Uang?” dengan congkaknya sang ibu berkata
“Mamah!! Stop Mah, jangan seperti itu..”
“PLAAKK… Mamah sudah bilang diam, kamu anak tidak tahu diri”
“Cukup!!!. Saya tidak terima jika anda berlaku kasar di rumah saya. Silahkan pergi dari sini. Keluar sekarang juga. Dan asal tahu saja saya juga tidak sudi menikahkan putri saya dengan anak anda”

Ibunda Yosi terkejut diusir seperti itu
“Oke, bagus kalau begitu, jangan menuntut apa-apa kepada kami. Ayo pulang Yosi, kamu bisanya Cuma merepotkan keluarga”
“Om maafin Mamah saya om..”
“Yosi!”

Ayah hanya menggeleng, ia terduduk di sofa, tidak habis pikir akan sikap orang tua yang seperti itu. Di ruang keluarga Dinda memeluk Bunda, matanya terpejam. Ia tidak pernah ibunda Yosi dengan baik, tapi ia juga tidak menyangka bahwa sang Ibu bisa berlaku seperti itu.

“Bik, kunci pagar depan” Ayah melangkah ke kamar tapi Dinda mencegatnya
“Ayah” Ia memegang lengan Ayah. Menuntut kata-kata dari Ayah yang sudah ditunggunya dari kemarin
“Please say something Yah, don’t punish me like this”

Ayah diam sesaat, lalu kemudian dibimbingnya Dinda ke halaman belakang. Mereka duduk berhadapan

“Kemarin Ayah berniat untuk menikahkan kamu dengan Yosi. Tapi saat ini tidak lagi. Kita tidak perlu meminta pertanggung jawaban dari mereka. Ayah akan membuat Surat Perjanjian agar mereka tidak menuntut hak asuh dari anakmu, karena Ayah yakin suatu hari kelak mereka akan mencari darah daging mereka sendiri. Terlebih Yosi” kalimat yang Dinda tidak sangka dari Ayah

“Kenapa begitu Yah?”
“Karena untuk saat ini itulah yang terbaik. Ayah bukannya mau memisahkan anakmu dengan bapaknya. Tapi Ayah Cuma ingin mereka tahu bahwa tanpa mereka pun Ayah bisa menghidupi anakmu. Kamu dengar sendiri tadi bagaimana Ibunya Yosi menghina kita. Dia anggap apa kita ini? Tanpa tedeng aling-aling menghina orang dirumahnya sendiri, menganggap ini konspirasi untuk mendapatkan anaknya. Dia pikir dia siapa? Mau kamu mempunyai mertua seperti itu?”

Yang ditanya hanya menunduk
“Sampai kapanpun Ayah tidak rela kamu direndahkan”
“Ayah membenci Yosi?”
“Ayah tidak suka dengan orang tuanya. Dari dulu Ayah mengingatkan kamu untuk tidak terlalu dekat dengan Yosi tapi kamu membandel. Ayah sudah feeling kalau hubungan kalian tidak akan baik. Situasi kalian berbeda dengan Erli dan Ara. Dan Ayah kesal karena kamu tidak menuruti kata-kata Ayah. Lihatkan bagaimana akibatnya sekarang. Kalian anak muda tidak berpikir panjang, yang kalian tahu hanya senang-senang sesaat. Padahal apa yang kalian lakukan saat ini sangat berdampak untuk kehidupan kalian di masa depan”

Dinda masih terdiam, berusaha mencerna setiap kata
“Terus apa selanjutnya kalau sudah begini? Kuliahmu terbengkalai, hamil tanpa ada suami yang menemani, digunjingkan keluarga dan tetangga. Tidak mempunyai teman lagi. Kehidupanmu benar-benar berantakan”
“Aku ngga tahu Yah”
“Din, coba sekarang Ayah Tanya, menurutmu apa hikmah dari semua kejadian ini?” Dinda terdiam, ia tidak tahu apa hikmahnya, yang saat ini ia tahu bahwa ia telah menghancurkan dirinya sendiri

Bunda menceritakan peristiwa tadi siang kepada Erli, lalu Erli bercerita kepada Ara, dan Ara menyampaikannya kepada Mas Nadir
“Arggh Damn, gua belum pulang sih. Coba kalau ada gua”
“Aku juga ngga ada Mas”
“Masih mencari pekerjaan? Udah di tempat Ayah aja”
“Sebenarnya sih udah ada titik terang. Kantor yang tadi aku datangi membuka cabang baru. Jadi aku disuruh stand by aja menunggu info”
“Cabang baru bagaimana? Di kota lain?”
“Bukan cabang sih tapi lebih ke anak perusahaan”
“Ooo.. eh gua masuk dulu ya, mau mandi” Mas Nadir memasukkan peralatan ke dalam kotak perkakas, setelah melap Kawasaki ninjanya ia menutup garasi dan masuk ke dalam rumah

“Dinda, udah makan?”
Dinda tersadar dari lamunannya
“Udah”
“Menurut gue elo jangan menghubungi si Yosi itu dulu, nanti ketahuan ibunya repot lagi, kesini terus mencak-mencak lagi. Elu mau bikin Ayah Bunda cepat sakit ya?”
“Ya ngga lah Mas”
“Ya uda makanya stop”

Dinda merasa batinnya tertekan, hanya karena satu kesalahan yang ia lakukan ia harus menanggung begitu banyak derita. Ia teringat ia belum pernah lagi tertawa bersama yang lain, semua dirumah ini tampak suram. Tidak ada lagi canda tawa, hanya Mac Gyver yang masih sama. Andai ia bisa mengulang waktu tak akan ia melakukan kebodohan itu. Dinda menghitung apa lagi yang kira-kira akan terjadi di waktu mendatang. Kelahiran anaknya yang tanpa didampingi suami? Biaya membesarkan anak tersebut? Kapan harus kembali melanjutkan kuliah dan kapan ia dapat bekerja untuk menafkahi diri dan anaknya sendiri? Sampai saat ini ia belum bertemu dengan keluarga besarnya, perlakuan apa yang ia dapat dari mereka? Ya Allah maafkan aku, pliiiss

Din

Gmana kabar elu?

Yosi mem-BBM nya, lagi-lagi ia teringat kata-kata Mas Nadir dan hal itu mengurungkannya untuk membalas BBM Yosi

Din, gua minta maaf ya. Sumpah gua ngga tahu kalau nyokap begitu kasarnya td siang

Setengah jam kemudian

Din

Pliisss jawab doongg
Gua minta maaaaafffffffff

Dinda is writing a message

Andai maaf elu bisa dijadiin duit, gua udah kaya kali ya Yos

Loh koq ngomongnya begitu

Dinda kembali tidak menjawab


“Assalamu’alaikum, Tantee” Johan kembali menekan bel pagar. Tidak berapa lama Bibik membukakan pagar
“Mobilnya ngga dibawa masuk Den?”
“Ngga usah, ngga lama. Tante ada?”
“Ada Den
Johan masuk dan menemukan Bunda sedang membuat risoles
“Wuih lagi ada acara apa nih tan?”
“Eh Johan, ada apa Jo?”
“Ini si Reza ulang tahun hari minggu besok” Johan menyerahkan undangan ulang tahun adik bungsunya
“Oo taruh deh di meja, tangan tante kotor” Bunda memperlihatkan tangannya yang berlepotan adonan kue. Dinda yang baru keluar dari kamarnya berpapasan dengan Johan
“Wuee.. tambah ndut aje lo, Din. Sehat lo?” yang ditanya kikuk, bingung harus menjawab apa. Johan dengan cueknya menatap Dinda dari ujung kepala sampai kaki
“Jadi lo beneran hamil?” tiba-tiba dada Dinda sesak, ia terbatuk
“Ckckcck.. elu ngebalap Erli ya? Dia aja ngga jadi-jadi eeh elu udah duluan. Ckckck” dengan suara pelan takut terdengar oleh orang lain Johan berkata
“Ehem” Ara berjalan menuruni tangga
“Eh ada pengangguran, enak ye hari gini baru bangun tidur, turun tinggal makan”

Bayangan beberapa tahun lalu berkelebatan di pikiran Ara, bagaimana Johan si pelaku tabrak lari yang menabrak Ibunya muncul lagi dalam ingatan
“Mau ngapain lo ke sini?”
“Terserah gue, ini rumah tante gue”
“Kalo urusan elu udah selesai mendingan elu cabut daripada bikin reseh”
“Eh siapa lo ngusir-ngusir?”
“Johan.. masih disini toh, Tante kira udah pulang”
“Eee.. ini baru mau pulang Tante. Pulang dulu Tan”
“Iya hati-hati ya” Bunda memandang Dinda dan Ara bergantian “Kalian kenapa?”

Mereka menggeleng bersamaan

Dua acara yang ingin sekali dihindari oleh Dinda saat ini, pernikahan Mba Niar dan Ulang tahun Reza. Bunda mengizinkan ia tidak ikut ke acara ulang tahun tapi ia harus datang ke pernikahan Mba Niar. Ia mematut diri di depan cermin, berusaha tetap bernafas dalam baju kurung yang sudah sempit di badannya yang semakin membesar. Mengeluarkan kipas dan memegangnya untuk menutupi perut, lalu mencoba menyampirkan tas, dengan tujuan yang sama. Menutupi perutnya. Ia memakai high heel yang sesuai dengan warna pakaian yang ia kenakan

“Dinda, ibu hamil ngga boleh pakai high heel”
“Aneh dong Mba kalau aku pakai sepatu ceper”
“Hufff iya juga ya, ya udah tapi jalannya hati-hati”
“Hooh” dalam hati ia sedikit berharap kalau high heel ini dapat membebaskannya dari kehamilan, dengan terjatuh lalu keguguran mungkin? Ia mengernyit ngeri akan khayalannya itu

Erli dan dua keluarganya tidak ikut sibuk mengatur karena semua sudah ditangani oleh Wedding Organizer, mereka hanya tersenyum manis, menyambut tamu dan mempersilahkan tamu mencicipi hidangan. Tapi kemudian Erli melihat seorang tamu yang sangat dikenalnya. Ih ngapain dia disini? Omaigat, mudah-mudahan dia ngga melihat aku. Dan sebisa mungkin Erli menghindari orang tersebut. Tentu saja hal itu membuat Ara curiga

“Kamu kenapa sih? Koq seperti orang gelisah?”
“Ha? Ngga.. aku.. aku mau pup” mudah-mudahan bohongku ini dianggap white lie
“Huff ada-ada saja sih, ya udah sana ke belakang”
“Kamu kan tahu kalau aku ngga bisa itu sembarangan”
“Toiletnya bersih kaleee.. Emangnya toilet umum, Udah sana”

Agar tidak membuat Ara semakin curiga Erli berjalan menuju rest room

“Hei” sapaan itu mengagetkannya setengah mati, ia terlonjak dan seketika menjadi patung
“Duuh sombongnya. Biasa aja dooong” orang tersebut melangkah kehadapan Erli, lalu tersenyum. Senyuman manis yang masih sama pada wajah yang dulu sempat mencuri hatinya dari Ara
“Kamu ngapain disini?”
“Aku diundang, kalau ngga diundang ya ngga mungkin disini kan”
“Kamu temannya Mba Niar?”
“Niar? Oh bukan aku temannya Reza” Reza, suami Mba Niar memang dosen juga, tapi Erli tidak tahu kalau Reza dan Andi mengajar di kampus yang sama
“Kamu apa kabar De?” Erli celingak-celinguk, mencari sosok Ara
“Udah dulu ya, dah”
“Eehh tunggu” Andi memegang lengan Erli yang langsung ditepis olehnya
“Kamu jangan macem-macem. Disini ada Ara dan keluargaku”
“Koq bisa?”
“Ya bisalah, Ara kan adiknya Mba Niar” Erli menyesali kata-katanya barusan
“Oooo jadi kamu sama Reza iparan dong, hmm bisa dong aku minta info tentang kamu ke Reza”
“Ngga usah ngaco. Udah deh plis jangan ganggu aku” Erli berjalan menjauh tapi Andi mengikutinya
“You don’t know how I miss you De’”
“Forget it Mas, udahlah lupain semua, kalau kamu perduli sama aku, kamu jangan ganggu aku lagi”
“Bisa yah kamu berkata seperti itu”
“Tentu saja bisa, toh aku ngga punya perasaan apa-apa sama kamu”
“Kamu jahat De’”
“Memang”


-31629/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging