Saturday, January 21, 2012

Buang saja.. Atau Bakar!! (XXXIV)

Mas.. tolong mampir ke rumah
Ayah demam, aku sudah membujuknya ke Dokter tapi ia terus menolak
Aku harus apa?? :'(

Kepala Dinda rasanya mau pecah, ia benar-benar kerepotan dengan semua yang terjadi, sudah dua minggu Bunda meninggalkan mereka dan kondisi Ayah semakin memburuk. Ya Allah aku hanya seorang wanita yang lemah, aku percaya Engkau tidak akan memberikan cobaan diluar kesanggupanku.

"Mamah.. aku ngga bisa mengerjakan PR yang ini" Dimas mendatanginya dengan LKS ditangan
"Hfff.. apa sayang?" Andai aku mempunyai suami mungkin aku tidak sepusing ini, atau.. andai saja aku single mungkin masalahku tidak overlapping seperti ini. Dinda tidak punya waktu lama untuk berandai-andai karena Blackberry-nya berbunyi. Teman satu kantornya menanyakan design yang ia janjikan akan segera ia kirim malam itu juga.

Din
Maaf aku ngga bisa kesana, aku sudah di tol menuju Lingkar Luar
Dan lagi macet parah

Mas Nadir membalas BBM Dinda. Ayah harus ke Dokter karena kalau tidak kondisinya akan semakin memburuk, err why he is so stubborn.. Bundaa.. Dinda hanya bisa menjerit dalam hati. Ia memberanikan diri menelepon ke rumah Erli

"Halo Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam, Lastri ada Pak Ara?" 
"Eee.. maaf ini siapa ya?"
"Huff... ini Dinda, adiknya Ibu Erli"
"Ooo maaf bu, saya belum mengenal suaranya, hehe.. tunggu sebentar saya panggilkan"

Dinda mengutarakan niatnya kepada Ara, ia ingin Ara membujuk Ayah agar mau ke Dokter karena Demamnya semakin tinggi. Ara mengiyakan dan setengah jam kemudian ia sudah tiba di rumah.

"Tok.. tok.. Ayah"
"Masuk" Ayah menutup tubuhnya dengan selimut, ia memang terlihat sakit. Ara menyentuh tangannya 
"Ayah badannya panas sekali, kata Dinda Ayah tidak mau ke Dokter"
"Ngga apa-apa, nanti juga sembuh sendiri"
"Jangan begitu Yah. Dinda sangat mencemaskan keadaan Ayah. Mari aku antar ke Dokter"
"Ngga usah repot-repot Ra. Bagaimana keadaan istrimu?"
"Erli sudah membaik, ia hanya tidak boleh bekerja berat dan tidak boleh stres" 
"Syukurlah, jaga dirinya baik-baik ya Ra, Ayah titipkan ia kepadamu"
"Ayah bicara apa sih" Ara tersenyum. Ternyata rayuannya juga tidak berhasil. Ayah tetap tidak mau ke Dokter. Ara memberitahukan hal itu kepada Erli dan Erli meneleponnya.

"Yah, Erli mau bicara"
Ayah mengambil Blackberry dari tangan Ara
"Halo"
"Ayah.. kenapa Ayah ngga mau ke Dokter?"
"Ayah ngga apa-apa koq"
"Ayah jangan begitu, plis Yah.. Bunda pasti sedih kalau tahu keadaan Ayah seperti ini" senjata andalan itu dipakai lagi
"Kalau besok masih sakit Ayah akan ke Dokter" Ayah mulai luluh
"Jangan menunggu besok dong, sekarang aja ya Yah. Atau Erli perlu kesana?"
"Jangan Li, kamu kan belum sehat betul"
"Makanya Ayah mau ya ke Dokter" 
dan bujukan itu berhasil. Dinda merasa lega, tapi karena rasa lelahnya ia menjadi sedikit sensitif Dibujuk Mba Erli aja mau, dari tadi sore aku sampai berbusa ngga didengarkan katanya dalam hati.

Keesokan paginya Ayah sudah agak sehat, ia sudah bisa bangun dari tempat tidur, dan berjalan-jalan di halaman belakang.
"Ayah lagi ngapain?" Dinda sudah bersiap pergi bekerja, tugas mengantarkan Dimas ke sekolah ia delegasikan kepada Nuni, pembantu baru
"Olah raga sedikit biar bugar"
"Naah begitu dong, Ayah jangan mendzalimi diri sendiri, ngga boleh itu Yah"
Ayah tersenyum "Nanti jangan pulang terlalu malam ya Din"
"Kenapa Yah?"
"Ngga apa-apa sih" 

Dinda berusaha membereskan pekerjaannya dengan cepat, jam lima teng ia meninggalkan kantor. Hal yang jarang terjadi karena ia selalu pulang diatas jam tujuh malam. Sesampainya di rumah ia melihat mobil lain yang diparkir di teras.

"Mba, udah sehat? Malam-malam koq kemari?"
"Ayah menyuruh aku kesini, ada apa ya?"
Dinda mengedikkan bahu "Ngga tahu aku juga disuruh pulang cepat, aku tinggal dulu ya Mba, mau mandi terus shalat maghrib"
Erli mengangguk.
Mereka berkumpul di teras belakang, meninggalkan Irna dan Dimas di ruang keluarga bersama Nuni.
"Maaf ya kalau Ayah memanggil kalian, Ayah cuma.. tidak ingin sendirian malam ini, kalian tahu kenapa?"
"Emm.. Anniversary?" Erli menebak
Ayah mengangguk "Hari ini tepat hari Ulang tahun pernikahan kami, tapi Bundamu sudah tidak ada disini, Ayah tak kuasa melewati malam ini sendirian. Semua tentang Bundamu terlalu manis untuk Ayah kenang. Bundamu... she is the best for me"
"And for us Yah" 
"Iya Li, for us... Ayah sepenuhnya mengerti bahwa ini semua kehendak Ilahi, Ayah pun bersedih akan kehilangan putramu, tapi... masih ada yang mengganjal dalam pikiran Ayah, alasan kenapa Bundamu pergi di sore itu. Kenapa Li? Kenapa kalian pergi? Bunda selalu mengajak Ayah kalau ia mau ke Mall, lalu kenapa saat itu ia malah memilih kamu?" 

Erli menunduk, perasaan bersalah mulai merayap kembali. Ia tahu bahwa perasaan itu tidak akan pernah hilang darinya. Untuk selamanya ia akan dibayang-bayangi teriakan Bunda, erangan kesakitannya, suara hujan dan guntur yang mencekam. Sejujurnya ia pun trauma tapi ia berusaha kuat.. Demi keluarganya, demi Ayah.

"Ehem.. Ayah.." Dinda mewakili Erli "Sebenarnya waktu itu Bunda mengajakku untuk menemaninya ke Grand Indonesia, tapi.. aku terlalu sibuk sehingga Bunda mengajak Mba Erli"
"Untuk apa? Mau apa Bunda sebegitu inginnya mengajak kalian di hari kerja?"
Keheningan yang menusuk dan tatapan Ayah yang tetap menuntut jawaban
"Bunda mau cari kado buat Ayah" Erli mulai meneteskan air mata, Ara merangkulnya
"Kado?"
"Iya Yah. Bunda ingin memberikan kado di hari jadi kalian. Ia mau kasih surprise buat Ayah" Bergantian Erli dan Dinda menjelaskan
"Jadi karena Ayah Bundamu meninggal?"
"Astaghfirullah, Ayah jangan bilang begitu"
"Tapi karena itukan?"
"Karena Erli Yah. Erli yang mengendarai mobil, Ayah boleh menyalahkan Erli" tangis Erli makin menjadi.
    
Ayah terdiam, Istrinya selalu memanjakannya, menyiapkan segala keperluannya, dan karena alasan ingin menyenangkan hatinya sekarang ia pergi untuk selamanya. Kado?? Aku tidak butuh barang yang kau beli di mall sebagai kado, kalau boleh memilih aku ingin kamu menjadi kadoku saat ini dan seterusnya. Tapi aku tidak bisa memilihkan? Kamupun hanya titipan bagiku.

"Maafkan Ayah, Ayah tahu Ayah tidak boleh menyalahkan siapapun atas kecelakaan itu. Memang sudah digariskan tapi... Ayah masih berat merelakan kepergian Bunda. Itu saja"
"Ayah.. kami akan selalu ada untuk Ayah, walaupun tidak ada yang bisa menggantikan Bunda tapi kami berusaha. Ayah yang tegar dong, biar kami juga tegar"
"Iya Din, Bunda bilang apa di saat-saat terakhirnya Li?"

Bayangan itu muncul lagi, bayangan yang mengganggu tidur Erli belakangan ini. Senyum manis Bunda ketika memilih jilbab di salah satu tenant, mata binarnya melihat cake aneka warna "Bunda nanti mau bikin cake bayam ah di hari jadi Bunda" "Eww memang enak?" "Enak dong, tenang aja" kerlingannya itu.. begitu nyata.

"Bunda mau bikin kejutan untuk Ayah, rencananya setelah pulang dari GI Bunda mau cari tiket pesawat, ia mau ke Lombok berdua saja dengan Ayah" 
Ayah menengadah, menahan air matanya agar tidak tumpah
"Lalu apa lagi?"
"Ayah, sudahlah.. Nanti Ayah tambah sedih"
"Dinda!! Ayah mau tahu" suaranya tiba-tiba tegas. Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri
"Apa lagi Li?"
"Bunda membeli tiga jilbab cantik untuk Bunda, Erli dan Dinda pakai hari ini, ia berharap Dinda bisa move on dan menemukan pria yang baik untuk ia dan Dimas"
Dinda sudah tidak tahan mendengarnya, ia pergi.

"Terus?" Ayah mengacuhkan kepergian Dinda, semua orang punya caranya sendiri dalam menghadapi kejadian ini
"Bunda juga mau bikin Cake Bayam, katanya Ayah harus mulai makan makanan yang sehat karena Bunda bertanggung jawab atas kesehatan Ayah"
"Lalu.."
"Ia membelikan Ayah sebuah tas, tunggu sebentar.." Erli beranjak, menuju mobil yang diparkir di teras, mengambil paperbag besar. Dinda ternyata duduk disana.

"Din, ayo temani aku" Erli menghampiri Dinda, mengulurkan tangannya. Mereka berjalan berangkulan. 

Erli meletakkan paperbag di meja
"Bukalah Yah, itu Bunda yang pilih"
"Ayah ngga butuh kado, apalagi dengan kejadian seperti ini"
"Aku sudah mengatakan begitu tapi Bunda bilang Bunda memaksa, kapan lagi Bunda bisa membelikan hadiah untuk Ayah" Erli mengulangi kata-kata Bunda yang sangat ia ingat dengan jelas. 

Ayah bergeming. Erli mengambil dan membuka paperbag, mengeluarkan isinya
"Kata Bunda tas kerja Ayah sudah jelek banget, kulitnya terkelupas. Jadi Bunda membelikan ini, bagus kan Yah?" Tas kulit branded berwarna coklat itu semakin terlihat mempesona diterpa sinar bulan
"Aku tidak mau memakainya. Buang saja!!"
"Jangan begitu Yah, Bunda pasti sedih kalau pemberiannya tidak dipakai"
"Din tolong berhenti menggunakan kata-kata seperti itu"
"Okey maaf tapi, tas coklat ini.." Dinda belum selesai berbicara karena Ayah sudah memotongnya
"Ayah bilang buang saja, atau bakar!!" Ayah pergi dari sana. Meninggalkan mereka bertiga. Gamang..

-43577/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging