Saturday, January 21, 2012

Tas, Hujan, Slip (XXXII)



"Sudah cantik Bun" Erli bersandar di pintu, Bunda tersenyum, jilbab warna peach yang ia kenakan begitu cocok di wajah elipsnya
"Udah ada kerutan nih disini" Bunda menunjuk ke bawah kelopak mata, mata coklatnya memicing mencari kerutan yang lain
"Ya wajar dong, kan udah punya cucu, dari Mas Nadir udah dua, Dinda satu, dari aku mau dua juga" ia memeluk Bunda dari belakang. 

Hari ini Erli pulang cepat dari kantor. Bunda menelponnya dan meminta diantar mencari kado pernikahan yang akan diberikannya kepada suami tercinta. Dua minggu lagi ulang tahun pernikahan Ayah dan Bunda yang ke tiga puluh tujuh tahun. "Jangan bilang siapa-siapa ya Li.. Bunda mau kasih suprise buat Ayah" usia pernikahan yang sudah tidak muda, tetapi cinta dan kasih mereka berdua masih membara.

"Maaf ya merepotkan kamu, abis Dindanya sibuk terus, ibu ngga bisa minta antar dia" 
"Iya Bundaa, ngga apa-apa koq" ada suatu peristiwa dimana sejak saat itu Bunda trauma untuk membawa kendaraan sendiri. Peristiwa yang melibatkan seekor kucing liar. Bunda yang mengendarai mobil sambil berbicara dengan Ayah di telepon tidak menyadari bahwa ada kucing tidur di tengah jalan, ia menabraknya, melindas kucing tersebut. Tidak berapa lama Ayah datang dan membawa kucing itu ke Dokter hewan, beruntung kucing tersebut tidak mati, sejak saat itu Bunda tidak mau lagi mengendarai mobil.
"Sudah dong jangan sedih begitu, kucingnya ngga apa-apa koq" Ayah menenangkannya
"Iya untungnya ngga apa-apa, kalau kucing itu mati aku ngga akan memaafkan diri sendiri" Mungkin bagi orang lain itu hanya sekedar kucing, tapi bagi orang dengan hati selembut Bunda, kucing juga tetap makhluk hidup yang tidak boleh dianiaya
"Aku jadi teringat Mac Gyver" dan saat peristiwa itu terjadi Mac Gyver sudah lama mati, karena usia.

Mereka menuju Grand Indonesia, Parkir di Basement East Mall, naik lift menuju salah satu toko ternama
"Bagus ngga?" Bunda mengambil salah satu tas kerja pria yang disodorkan Sales Promotion Girl
"Tas kerja Ayahmu sudah jelek banget, kulitnya terkelupas" katanya lagi, sambil memeriksa bagian dalam tas
"Bagus sih Bun, tapi pasti Ayah akan bilang terlalu mewah, terlalu mahal, kebagusan, begitu deh, tahu sendirikan Ayah"
"Iya, tapi kali ini Bunda memaksa, kapan lagi Bunda bisa membelikan hadiah untuk Ayah"

Hari sudah malam ketika mereka selesai berbelanja. 
"Makasih yah sayang udah menemani Bunda"
"With my pleasure my lovely Bunda" Erli menggandeng tangan Bunda, di tangan yang lain ia menentang beberapa paper bag.
"Anak-anak Bunda memang is the best deh" Bunda melihat wajah Erli, ia senang karena Erli sudah mau mengenakan jilbab, tepat setelah Ayah dan Bunda pulang dari Naik Haji satu tahun yang lalu.

Ternyata di luar hujan deras dan macet dimana-mana. Erli mengambil jalan tikus untuk menghemat waktu, ia melewati gang-gang sempit perumahan. Dengan lampu penerangan jalan seadanya ia harus memfokuskan diri untuk berkendara. Tikungan demi tikungan ia lalui dengan kecepatan lambat. Di salah satu tikungan ia harus menghindari motor dari arah berlawan, dan tanpa ia sadari ternyata ada motor lain yang melaju dari arah berlawanan pula dan dengan kecepatan kencang. Erli menghindar lagi tapi sayangnya ia tidak mengetahui kalau jalan di depan menurun dan terjal. Ia tidak dapat menguasai keadaan, mencoba banting stir tapi yang terjadi adalah mobil slip dan terjungkir balik lalu menabrak dinding rumah. Jalanan yang sepi karena hujan deras menyebabkan lambatnya pertolongan datang.

"Irna.. Bunda mana?"
"Belum pulang"
"Sudah jam tujuh lewat koq belum pulang?"
"Aku ngga tahu papaaah"
Entah kenapa hari ini perasaan Ara tidak enak, dari tadi pagi ia merasa tidak ingin bekerja tapi perasaan itu ia indahkan. 

Telepon Erli tidak diangkat, ini sudah kali ketiga Ara menelpon dan berakhir dengan kotak suara. Ia teringat Erli mengatakan akan mengantar Bunda ke suatu tempat.

"Assalmu'alaikum, halo"
"Wa'alaikumsalam, ini Dimas ya?"
"Iya, ini om Ara?"
"Iya betul, eemm Dimas disitu ada tante Erli ngga?"
"Ngga ada om, Umi juga ngga ada. Ngga tahu kemana"
"Mamah Dimas ada?"
"Belum pulang juga"

Ara mulai panik, hujan deras diluar menambah kepanikannya. Ia menelpon Ayah dan mendapatkan jawaban yang sama, Ayah pun tidak tahu mereka berdua kemana. Walaupun tadi pagi Bunda ijin akan keluar rumah tapi ia tidak memberitahu Ayah kemana tepatnya ia akan pergi.

"Setahu aku mereka mau ke Grand Indonesia Mas, Bunda mau beli sesuatu" Dinda masih terjebak di kantor, memutuskan untuk menunggu hujan reda dan macet yang tidak terlalu parah. 
"Mungkin cuma terjebak macet Mas" 
"Tapi kenapa teleponnya ngga diangkat?" 
"Duh, aku ngga tahu, aku akan coba telepon Bunda" Dinda ikut cemas.

Empat puluh lima menit kemudian telepon Ara berbunyi
"Halo, sayang kamu dimana sih? Aku telepon ngga di angkat-angkat"
"Emm maaf, ini suami dari Mbak yang punya telepon ini ya?" suara seorang wanita, tapi Ara tidak mengenalnya
"Ini handphone istri saya, namanya Erli, tapi.. koq anda yang..."
"Maaf saya sudah lancang membuka tas istri anda, karena saya tidak tahu harus memberi tahu siapa"
"Maksud anda? Maaf saya kurang paham"
"Eee.. jadi begini Mas, Istri anda dan seorang wanita lainnya sekarang sedang ada di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit, mereka mengalami kecelakaan"

Pernahkah kamu merasakan suatu waktu ketika dunia tiba-tiba berhenti berputar? Atau ketika kamu merasa terhisap ke dalam lubang hitam di luar angkasa? Berada di ruang hampa udara? Melayang tak tentu arah karena tiba-tiba saja kamu seperti kehilangan pegangan hidup? Suatu berita dapat membuatmu merasakan itu semua. Dan inilah yang dirasakan Ara, ia seperti berhenti bernafas sewaktu mendengar kata-kata itu..

"Halo.. halo.. Mas, anda masih disana?"
Ara tidak dapat berkata, bibirnya terasa kelu. Hampir saja hilang kesadarannya tapi kemudian ia beristighfar
"Iya Mbak, saya akan segera ke sana. Rumah Sakit mana?"

Setelah telepon ditutup ia menghubungi Ayah, dengan hati-hati ia mengabarkan hal tersebut. Ayah yang juga masih berada di kantor untuk beberapa saat tidak mengatakan apa-apa, setelah dapat menguasai diri Ayah berkata akan segera ke Rumah Sakit. Setelah itu Ara menghubungi Bik Jum dan menyuruh Bik Jum untuk memberitahukan Dinda dan Mas Nadir. Ara tidak sempat menghubungi mereka satu persatu karena ia ingin segera ke Rumah Sakit.

"Ayah kita mau kemana?"
"Jalan-jalan sebentar yuk" Ara tidak memberitahukan Irna
"Hujan juga, ngga nunggu Bunda?" 
Ara menggeleng. Lastri, gadis berumur tujuh belas tahun yang dibawa oleh Bik Jum dari kampung dan bekerja di rumahnya telah memakaikan Irna sweater dan sepatu. Dengan sigap ia juga menyiapkan tempat minum Irna yang telah diisi susu hangat.

"Pergi dulu ya Las, jangan lupa kunci pintu"
"Iya pak, Hati-hati pak"

Dengan pikirannya yang sangat tidak tenang Ara mencoba untuk tidak panik, ia membawa mobil dengan kecepatan sedang. Tidak menoleh sedikitpun kepada Irna. Dan kali inipun, entah kenapa Irna menjadi anak yang manis, duduk tenang tanpa banyak pertanyaan seperti biasa. 

Satu jam kemudian ia sudah sampai di Unit Gawat Darurat, Ayah sudah lebih dulu tiba disana karena letak kantornya yang lebih dekat ke Rumah Sakit.

"Bunda kritis, Erli masih ditangani Dokter" Ayah memberitahu tanpa menunggu Ara bertanya. Ara tidak dapat berkata apa-apa, hanya istighfar yang keluar dari mulutnya. Lalu beberapa orang mendatanginya, dan salah seorang pria menyerahkan dua tas yang diambilnya dari mobil Erli, tas milik Erli dan Bunda. 

"Saya Herman, Tadi putri saya yang menelpon anda" Pria itu berkata, kemudian ia menjelaskan apa yang ia tahu. Ternyata pria tersebut adalah pemilik rumah yang dindingnya di tabrak oleh Erli, awalnya ia tidak mengetahui bahwa bunyi keras itu adalah karena benturan mobil ke dinding, ia hanya berpikir itu suara petir atau sejenisnya, lalu kemudian ia menjadi curiga karena suara klakson yang tidak berhenti berbunyi. Dengan menggunakan payung ia keluar rumah dan mendapati mobil Erli sudah dalam posisi terbalik. Saat itulah ia mencoba menolong mengeluarkan mereka berdua. Ia memanggil penghuni rumah yang lain agar ikut membantu dan membawa mereka ke Rumah Sakit ini.

"Saya mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan bapak" Ara berusaha tegar, dengan sekuat tenaga ia menahan tangis. Di bangku ruang tunggu ia melihat Ayah memeluk Irna.

Dinda dan Mas Nadir datang bersamaan. Setelah hampir dua jam menunggu Dokter keluar dan menghampiri mereka.
"Ibu Erli, Alhamdulillah sudah dapat melewati masa kritisnya, tapi.. dengan sangat menyesal bayi yang ada dalam kandungannya tidak dapat diselamatkan"
Hening sesaat
"Lalu bagaimana dengan istri saya?" Ayah bertanya, nadanya begitu lemah
"Maaf pak, saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi.. Tuhan berkehendak lain, Ibu Vita tidak tertolong karena telah banyak kehilangan darah sebelum sampai kemari, saya..."

Dinda tidak dapat mendengar kata-kata Dokter selanjutnya. Dunianya gelap. Ia jatuh pingsan.

"Bik Jum.." beberapa jam kemudian Dinda sadar, ia ditemani Bik Jum, Irna dan Dimas
"Neng.. huhuhu" Bik Jum memeluknya, mereka menangis bersama
"Bunda.. Umi kenapa?"

Saat itu tidak ada yang dapat dilakukan Ayah, ia hanya terdiam di sebelah jasad istri tercinta. setelah mengambil wudhu ia mengaji. Mas Nadir berusaha lebih kuat, ia mengambil tugas untuk mengatur acara pemakaman Bunda esok hari sekaligus menyampaikan berita duka itu kepada semua orang yang mengenal keluarganya.

Ara bersama Pak Herman menuju ke Kantor Polisi untuk dimintai keterangan sekaligus mengambil mobil Erli yang dibawa ke Kantor Polisi. Setelah dimintai keterangan ia pun diperbolehkan membawa mobil itu pulang, tapi karena hari sudah larut Ara meminta ijin untuk menginapkan mobil itu disana, sampai ia mendapatkan mobil derek untuk disewa.

Setelah ia meminta nomer handphone Pak Herman untuk membicarakan lebih lanjut mengenai biaya penggantian atas kerusakan dinding rumah Pak Herman, ia kembali ke Rumah Sakit untuk mengurus administrasi dan sebagainya. Ia tidak kuasa melihat kondisi Ayah. Sosok yang sangat dikaguminya itu tiba-tiba berubah menjadi seperti sebatang kayu yang sudah rapuh. Seketika wajahnya menjadi jauh lebih tua. Tidak ada lagi sosok tenang dan tegar yang selalu terpancar darinya, kesedihan yang mendalam terlihat jelas. Sesekali ia menghapus airmatanya, suaranya yang melantunkan Ayat-ayat suci Al Qur'an bergetar karena menahan tangis.

"Mas.." Dinda bangun dari tempat tidur, ia sudah lebih kuat. Ara menyerahkan paperbag yang diambil dari mobil Erli. Dinda membukanya. Satu paperbag berisi tiga jilbab cantik Bunda beli tiga jilbab nih, nanti kita pakai bertiga yah, kamu mau kan sayang? Dinda teringat BBM Bunda tadi sore, hatinya kembali mencelos. Paperbag lain berisi baju hamil, milik Erli yang tidak perlu ia gunakan lagi. Dan paperbag terakhir berisi tas kerja pria berwarna coklat, tas itulah alasan mereka pergi. Dinda tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada Ayah. Memberikan tas ini kepadanya sama saja seperti memberikan bara api.

-40383/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging