Thursday, January 19, 2012

Aku mau dia (XXIX)

Ayah mendatangi rumah Yosi, hal itu ia lakukan karena ia tidak ingin keluarga Yosi datang kembali ke rumahnya. Sudah cukup keonaran yang mereka buat. Ayah tidak ingin membuat Dinda stres karena melihat kelakuan Ibunda Yosi. Ayah dipersilakan duduk di ruang tamunya yang megah, rumah bermarmer putih dengan guci setinggi orang dewasa semakin memberi kesan tidak adanya kehangatan di rumah itu. Seorang pembantu membawakan nampan berisi minuman dingin tapi Ayah tidak berselera untuk meminumnya.

Papah Yosi tersenyum, ia menjabat tangan Ayah
"Saya Herman, kita sudah pernah bertemu di Kantor polisi bukan?" Ia lebih ramah dari istrinya
"Saya kemari untuk membicarakan kedua anak kita, Pak Herman pasti sudah tahu kalau kemarin istri bapak datang ke rumah saya dan mengatakan tidak akan mengijinkan Yosi menikah dengan putri saya" Ayah Dinda langsung menyampaikan maksud kedatangannya tanpa tedeng aling-aling
"Iya saya sudah dengar hal itu, lalu... bagaimana?"
"Saya membawa Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa Yosi tidak akan mengganggu putri saya dan anaknya kelak. Bila nanti putri saya telah melahirkan maka saya tidak mau Yosi datang untuk menuntut hak asuh akan anak tersebut"
Pak Herman diam sesaat, ia tidak menyangka bahwa Ayah akan setegas itu
"Tapi.. anda tidak bisa memisahkan seorang anak dari ayahnya"
"Awalnya saya tidak berniat seperti itu, tapi istri bapak menginginkan hal itu. Orang tua mana sih yang rela kalau anaknya dihamili lalu ditinggalkan begitu saja, yang saya inginkan Yosi menikahi putri saya, tapi... sekali lagi.. istri bapak berkehendak lain"
Pak Herman tampak bimbang
"Saya datang kemari dengan niat baik, saya menuruti keinginan istri bapak, tapi saya mengajukan syarat. Kita tidak perlu menikahi anak-anak kita tapi tolong jangan usik lagi keluarga saya"
Ayah menyodorkan map yang berisi selembar kertas, telah dibubuhi oleh materai dan siap untuk ditanda tangani, oleh Pak Herman, juga Yosi.

"Mamaahh... maaah... banggguuunn" Dimas menggoncang tubuh Dinda
"Nanti aku telat sekolahnyaa" 
Dinda mengerjapkan mata dan menutupnya kembali setelah penglihatannya membentur matahari pagi yang masuk lewat jendela kamar. Silau. 
"Dimas yang buka jendela ya?"
"Iyaa, kata Bu Guru matahari pagi itu menyehatkan loh Mah"
Dinda mengumpulkan nyawanya, berusaha mengingat mimpi dalam tidurnya
"Mamah ayo banguunnn"
"Iyaa.." ia menyibak selimut, dengan langkah gontai ia menuju ke kamar mandi. Mimpi itu.. diantara kucuran shower ia mulai merangkai mimpi yang sudah dua hari berturut-turut merasuki tidurnya. Mimpi yang tidak sama tapi memiliki pola yang sama. 

"Jangan bawa dia, dia milikku"
"Kamu sudah cukup merawatnya, sekarang giliran aku" seseorang yang wajahnya samar membawa pergi Dimas. Lexus hitam yang dikendarai melaju kencang, tidak membiarkan Dinda untuk mengejar, Dinda terjatuh dipinggir jalan. Menangis.

Dan tadi, semenit sebelum Dimas membangunkannya ia kembali bermimpi aneh, ia bermimpi melambaikan tangan ke arah pesawat. Dimas yang duduk di dekat jendela membalas lambaian tangannya. Pria dengan wajah tersamarkan hadir kembali, ia duduk disebelah Dimas. Wajah samar dengan senyuman yang jelas, senyuman kemenangan.

"Oh Tuhan, apa maksud semua itu? Siapa pria itu? Kenapa ia mau mengambil Dimas? Siapa yang mau mengambil anakku?"

"Mamaahhh jangan lama-lama dong mandinya" gedoran pintu Dimas membuyarkan lamunannya
"Iyaaa... duuuh bawel banget yah"


Dinda mengantarkan Dimas ke sekolah, disana ia bertemu dengan Erli
"Din, kenapa wajahmu muram begitu?"
Dinda tersenyum, tapi senyum itu hanya menggantung di bibirnya, sedangkan matanya masih bermuram durja, ia masih memikirkan mimpi-mimpi itu.
"Aku takut Mba"
"Takut apa?"
"Hmm.. Entahlah, aku hanya mencemaskan keadaan Dimas"
"Tentang ia bertanya dimana Papahnya? Irna bercerita bahwa kemarin Dimas mengatakan ia ingin menjadi pelaut, ketika Bu Guru bertanya kenapa ia bercita-cita seperti itu Dimas bilang karena Papahnya seorang pelaut"
"Dimas berkata begitu?"
Erli mengangguk "Aku tahu keadaanmu sangat sulit, toh kamu juga belum bisa mengatakan hal yang sebenarnya kepada Dimas"

Kecemasan Dinda bertambah, Dimas.. jauh dilubuk hatinya ia merindukan figur seorang ayah
"Din, apapun keputusanmu, kami akan selalu mendukungmu. Dan bila suatu saat nanti Dimas marah karena kebohongan-kebohonganmu kami akan membelamu" Erli memegang tangan Dinda yang terkulai lemas, Dinda benar-benar tidak mempunyai tenaga untuk menghadapi kemarahan Dimas kalau suatu nanti saat Dimas menuntut kebenaran darinya
"Makasih ya Mba" mereka berpelukan sebelum berpisah. Tidak seperti Ibu-ibu lain yang menunggui anaknya sampai selesai sekolah, mereka dua Ibu muda harus bekerja demi masa depan yang lebih baik.

Irna dan Dimas berlari keluar kelas, celingak celinguk mencari wajah yang mereka kenal
"Mimiii... Koq Mimi yang jemput, Bunda aku mana?" Irna menghampiri Neneknya, ia menyeret ransel pinknya, tempat minuman yang digantung dilehernya bergoyang ke kanan dan ke kiri
"Halo Irna, Dimas.. bagaimana sekolah kalian hari ini? Bundakan harus bekerja sayang"
"Mamahku juga bekerja kan Umi?" 
"Ya sudah ayo kita pulaaangg" Irna kembali menyeret ranselnya ke arah mobil.

"Hei, kamu siapa?? kenapa kamu ingin membawa Dimas?"
"Dinda, bukan cuma kamu yang membutuhkan Dimas, tapi akupun butuh" pria dengan wajah samar itu berbicara. Ia menggendong Dimas yang tertidur lalu membawanya.

Dinda terbangun oleh suara alarm, jam tiga pagi. Hari ini ia harus bangun lebih cepat. Jam lima subuh Dinda harus sudah duduk di pesawat dengan tujuan Batam. Ia tidak membawa koper karena ia tidak berniat untuk bermalam, tiket pulang pergi sudah ada ditangannya. Ajakan teman kantornya untuk menyebrang ke Singapura ia tolak, ia lebih memilih berada dekat Dimas. Kesibukan pagi itu membuatnya kembali melupakan mimpi-mimpi anehnya.

"Hey Din, how's life?" Bimo menyapanya di Lounge Garuda, ia sudah datang terlebih dahulu dan sedang menikmati secangkir kopi hitam
"Black coffee hah? biar ngga ngantuk?"
"Yeap, gila aja pagi buta begini udah sampai Bandara.. Huff" balutan pakaiannya yang rapi tidak bisa menyamarkan mata yang masih mengantuk
"Lanjut tidur aja di pesawat" Dinda meletakkan kopi susu dan dua roti bakar dimeja lalu ia menarik kursi disamping Bimo.

"Bagaimana Dimas? Ia tidak menangis kamu tinggal?" 
Pada awalnya Dinda merahasiakan statusnya sebagai single parent, ia tidak ingin manajemen kantor tahu, ia takut statusnya akan menyangsikan keprofesionalannya dalam bekerja, tapi ia merasa hal itu tidak adil bagi Dimas, maka setelah tiga bulan ia bekerja, ia mengetuk pintu ruangan manajer HRD dan mengatakan bahwa ia adalah ibu dari seorang putra. Diantara kecemasannya akan kemungkinan dipecat ternyata sang manajer mengatakan bahwa hal itu bukan masalah asal ia bisa bekerja sebaik yang telah ia kerjakan sekarang. 

Hal itu menghebohkan kantor berlantai lima tersebut, seorang wanita yang dikira masih single dan baru berusia dua puluh enam tahun ternyata sudah memiliki seorang anak dengan usia lima tahun. Cibiran pun datang kembali, selama beberapa waktu ia diperlakukan seperti seorang kriminal, tatapan sinis para wanita dan lirikan menggoda dari para pria. Mereka yang sebelumnya mengaku teman mulai menyindir statusnya, mereka berusaha mencari tahu sisi gelap yang sangat ingin ia kubur. 

Ia sampai kepada titik menyerah, berniat mengundurkan diri dari perusahaan yang dibilang bonafit itu. Tapi seluruh keluarga mengatakan jangan, ia harus bertahan dan memperlihatkan bahwa ia tidak seperti yang orang lain kira. Ia tidak akan mengganggu pacar atau suami siapapun yang ada dikantornya, ia tidak akan menjadi wanita gampangan yang mau bersama siapa saja yang mengajaknya. Ia harus menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh dalam bekerja dan ia adalah wanita baik-baik. "Karena kalau kamu memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain, kamu akan menemui permasalahan yang sama Din, situasi yang sama" Ayah menenangkannya. Dinda pun bertahan, dan disinilah ia.. dipercaya untuk merancang gedung kantor cabang di Batam.


"Dimas tidak tahu aku pergi jauh, dia tahunya aku berangkat kerja lebih pagi"

Dalam suatu acara gathering kantor, Dinda mengajak Dimas. Tak disangka teman-teman kantornya menyambut baik hal itu, mereka menegur Dimas dan tidak menunggu waktu lama mereka menyukai Dimas.

Pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan, sambil menunggu waktu kepulangannya Dinda berjalan-jalan di Nagoya, dengan ditemani Bimo dan seorang supir. 

"Sepertinya kamu ngga perlu menyebrang ke Singapura deh Bim, disini semuanya ada" ini toko ke tiga yang mereka datangi, tangan Dinda sudah dipenuhi kantong belanja, ia sudah membeli beberapa helai scarf untuk Bunda juga jam tangan untuk Dimas dan Irna, dan huntingnya belum selesai.
"Ckckck cewek tuh yah, ngga dimana ngga dimana shopping is number one" Bimo menggeleng, sekarang ia berdiri diantara deretan tas branded. Batam terkenal dengan barang-barang bermerk dengan harga miring, tentu saja Dinda tidak akan melewatkan hal itu. Ia mempoto sebuah tas dan mengirimkannya via BBM kepada Erli

Mau yang ini

Baguuss
mau mau
lihatin jahitannya ya Din
sertifikatnya jangan lupa


Bimo menggeleng lagi, ia meninggalkan Dinda dan memilih merokok di luar toko.


"Aku mau dia!!!" Dinda tersentak, ia tertidur di pesawat akibat kelelahan. Dan.. pria berwajah samar itu muncul lagi, Yosi, diakah Yosi??



-36297/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging