Wednesday, January 25, 2012

Ayah sakit (XXXVIII)

Setelah pembicaraan malam itu, sebisa mungkin Dinda menghindari Ayah. Ia pulang larut dari kantor dan berangkat lebih pagi sebelum Ayah keluar kamar untuk sarapan dan berangkat kerja. Protesnya Dimas tidak ia hiraukan, ia butuh waktu untuk memikirkan sikap apa yang harus diambil selanjutnya. Apalagi saat ini ia benar-benar kembali membuka hatinya untuk Yosi. Mereka kembali dekat


"Din kamu makin cantik aja" ini sudah kali keberapa mereka makan malam, walau Dinda menampik itu bukan kencan tapi kenyataannya mereka seperti dua orang yang sedang memadu kasih. Dinda tersenyum mendengar kata-kata itu, pipinya yang diberi blush on tipis semakin memerah

"Aku boleh menanyakan sesuatu?" Dinda mengumpulkan keberaniannya, ada suatu hal yang ia sangat ingin tahu
"Emm.. boleh"
"Sejak kapan kamu menikah dengan.. istrimu?" Dinda memelankan suaranya
"Sejak...." ada jeda sebelum Yosi menjawab "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Ya.. I just wanna know. Can I?"
"Aku tidak mau merusak malam kita, sayang"

Dinda tidak memungkiri ada perasaan senang mendengar kata-kata 'sayang', tapi ia pun merasa risih. Apakah ia sedang menjadi selingkuhan seorang pria beristri? Selingkuhan dari ayah putranya? How absurd.

"Yosi.. kenapa kamu melakukan ini?"
"Melakukan apa?"
"Menggodaku seperti ini"
"Hahaha.. aku tidak menggodamu" Yosi tertawa
"Yeah you did"
Wajah Yosi berubah serius "Dinda.. kamu tahu tidak? Aku tidak pernah melupakanmu. Aku masih mencintaimu. Kenangan saat kita bersama selalu hadir. Dan ketika aku bertemu kembali denganmu.. aku merasa saat itu aku hidup kembali"
"Memang sebelumnya kamu tidak hidup" dalam angan Dinda terlintas bayangan Yosi yang berjalan dengan istri dan anaknya. Tidak hidupkah itu?
"Entahlah... Aku.. I feel like a robot, bernafas, bekerja, do something but i feel numb"
Bayangan Yosi bersama istrinya muncul kembali, mereka yang sedang... "Termasuk menikah lalu punya anak?" bagaimana mungkin seseorang yang tidak hidup dapat punya anak? hati Dinda berkata lagi
"Aku dijodohkan, you know my mom.."
"No I don't, I have no time to recognized your 'bossy' mom" dengan nada sinis Dinda memotong kata-kata Yosi

--------------------

Erli hanya mengangguk ketika Ara mengajaknya berlibur. Dan disinilah mereka, di Gili trawangan yang indah.  Laut terhampar luas, dengan birunya air yang sangat menyejukkan mata. Erli memejamkan kedua mata, menikmati desir angin di bibir pantai, sesekali ombak datang dan membasahi kakinya. Ia membuka mata dan mendapati Ara yang sedang berenang, Ara melambaikan tangan kearahnya. Lesung pipi itu.. sudah lama sekali Erli tidak melihat lesung pipi dan mata yang tersenyum. 

"Sayang.. sinii.."
Erli berjalan menuju Ara, perlahan tubuhnya mulai terendam. Ia menunduk dan melihat kakinya di kebeningan air. Tiba-tiba ia teringat Irna, Irna pasti senang sekali kalau diajak kemari, ia pasti sudah snorkling dari tadi. Perlahan perasaan bersalah menggelayutinya, bagaimana beberapa saat belakangan ini ia menarik diri dari putrinya bahkan membentaknya.

"Sayang.." Ara memegang tangannya, mengajak berenang agak ke tengah
"Jangan takut, kata penjaga sekarang waktu yang aman untuk berenang"
Erli memasukkan kepalanya ke dalam air, menutup matanya, dan bayangan peristiwa itu kembali muncul.. 

Bunda mencoba menggapainya, tapi ia pun tak sanggup bergerak. Tubuhnya terhimpit dengan kuat diantara setir dan jok mobil, beberapa kali ia mendengar Bunda memanggil namanya sebelum akhirnya Bunda menutup mata.. Bun.. Bundaa.. Bunda bangguunn.. Bun.. Ya Allah.. mulutnya terasa asin karena campuran darah dan air mata, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali menekan klakson sambil menahan sakit yang teramat sangat di perutnya, sampai akhirnya ia pun tak sadarkan diri.

"Sayang.. hey.. kamu kenapa?" Ara mengangkat Erli yang gelagapan dari dalam air. Erli membuka mata dan menangis

"Keingetan Bunda lagi ya?" 
Erli mengangguk. Ara membawanya ke pantai, mendudukinya di atas pasir
"Sayang, apa sebenarnya yang kamu rasakan? Tolong jelaskan sekali lagi kepadaku?"
Erli bersandar di bahu Ara
"Aku tidak berhalusinasi" Ara menggeleng
"Aku tidak demensia" Ara kembali menggeleng
"Aku juga ngga delusi Beb" 
"Tidak, tentu saja tidak, kamu cuma trauma"
"Setiap kali aku menutup mata, kecelakaan itu kembali menyeruak, wajah kesakitan Bunda, erangannya masih sangat nyata bagiku"
"Kamu merasa bersalah, aku tahu itu"
"Dan aku juga tahu betapa kamu menginginkan kehadiran Rian, ia putramu yang sangat kamu tunggu-tunggu. Tapi aku merenggutnya darimu"

Ara menyentuh dagu Erli, menatap matanya dalam-dalam
"Hey.. kalau masalah Rian, kita bisa buat lagi sayang, kita bisa buat banyak Rian.. kalau kamu mau" dan Ara tersenyum lalu memeluknya
"Tapi kamu harus mulai melupakan kejadian itu sayang. Untuk kesehatanmu sendiri" Ara berkata lagi
"Kenapa kamu menyuruh aku melupakannya?"
"Aku tidak ingin kamu terjebak dengan peristiwa naas itu, I want you to move on. Ingatlah Bunda dengan segala kebaikannya tapi bukan kecelakaan itu. Doakan ia tapi jangan ratapi kepergiannya"
"Feel guilty.."
"Allah menakdirkan Bunda pergi malam itu, di jam itu. Kalaupun kalian ngga kecelakaan pastilah akan ada peristiwa lain yang menyebabkan Bunda pergi untuk selamanya"
"Begitukah?"
"Yup, kamu pasti ingat film Final Destination, bagaimana mereka dikejar kematian, dan walaupun mereka menghindar tetap saja kematian itu mendatangi mereka"
Erli mulai mencerna kata-kata Ara, ia tidak lagi menutup hatinya seperti hari-hari kemarin.

"Kata Bunda 'kapan lagi Bunda bisa membelikan hadiah untuk Ayah' apakah itu pertanda?"
"Hemm.. could be. Lalu Bunda ada pesan apa lagi?"

Erli mengingat kembali tiap detik kebersamaan mereka, tapi kini ia tidak histeris, kepanikannya ditahan sebisa mungkin. 

"Sekarang kalian sudah dewasa, Bunda bahagia melihat kalian semua sukses. Kalian jangan pernah bertengkar ya satu sama lain. Kalian harus saling menyayangi. Termasuk kepada Ayah, kalian harus sering-sering menengoknya. Keluarga itu yang utama, setelah Allah pastinya"
Erli mendengarkan kata-kata Bunda diantara bunyi klakson dan deru kendaraan yang menembus kaca jendela mobil
"Iya Bun, Insya Allah"
"Irna sudah mulai shalat sendiri tanpa disuruh kan Li"
"Sudah Bun, she is my cutie little girl, pintar sekali anak itu"
"Kamu jangan berbicara sembarangan di depan dia, orang tua adalah guru bagi anak-anaknya. Mereka itu peniru ulung. Tanamkan nilai-nilai agama sejak dini agar dewasanya dia ngga salah jalan"
"Ih Bunda kaya guru PAUD nya Irna.. hehe"
"Yee.. kamu tuh lagi dinasehatin sama orang tua koq malah begitu, untuk kebaikanmu juga Li, kalau Bunda udah ngga ada siapa lagi coba yang bisa nasehatin kamu. Kamu kan keras kepala"

--------------------

Telepon berbunyi, Lastri mengangkat dan memberikan kepada Irna yang sedang mengerjakan PR nya
"Non.. telepon nih dari Papah" dulu ketika Erli sedang mengandung Rian, Lastri memanggil Irna dengan Kaka di depan namanya, tapi kini tidak lagi. Erli melarangnya karena hal itu hanya menyakiti ia dan yang lain
"Halo.. Assalamu'alaikum papah"
"Wa'alaikumsalam sayang, bagaimana kabar putri papah yang cuantik ini?"
"Sebel"
"Loh.. kenapa?"
"Habis aku ngga diajak jalan-jalan. Kalian sedang berbulan madu ya?"
Ara tertawa mendengarnya, ia tidak tahu Irna mendapat darimana kata-kata bulan madu itu
"Nanti deh, kalau lagi musim libur sekolah Papah ajak Irna jalan-jalan. Deal?"
"Bener? Janji?" 
"Janji, Insya Allah"
"Looh koq pake Insya Allah"
"Ya memang harus begitu dong sayang, kalau kita menjanjikan sesuatu harus dibarengi dengan kata Insya Allah, yang artinya kalau Allah mengijinkan"
"Ooo begitu" Irna mengangguk, walau Ayah tidak dapat melihanya
"Emm.. Irna, Bunda mau bicara nih"
Hening, Irna tidak langsung menjawab, ada perasaan sedikit takut karena sikap Bunda yang kemarin-kemarin agak kasar tehadap dirinya
"Sayaang" Ara memanggil lagi
"Iya deh" jawabnya singkat
Ara menyerahkan Blackberry nya kepada Erli
"Halo.. Assalamu'alaikum anak Bunda"
"Wa'alaikumsalam" nada takut terdengar jelas di telinga Erli, seketika itu juga ia merasa sangat bersalah
"Bunda.. minta maaf ya sayang kalau kemarin-kemarin Bunda jahat sama Irna. Bunda... sayaang banget sama Irna. Irna itu pelita hati Bunda"

Irna si anak pintar nan cengeng menangis
"Huhuhu.. Bunda jahat sama Irna"
"Iya Bunda tahu, maafin Bunda ya?" Ara memeluknya, ia mengucap 'Alhamdulillah' dalam hati, bersyukur karena benang kusut itu mulai terurai

--------------------

Dinda kembali sangat larut, setelah makan malam Yosi mengajaknya nonton di Blitz. Yosi membuka kaca dan mengucapkan 'Bye' ketika mobil Dinda mulai memasuki komplek rumah. Tadinya ia berniat untuk membuka pagar sendiri, tidak ingin mengganggu Bik Jum, tetapi Bik Jum telah membukakan pagar untuknya.

"Bibik ngga perlu nungguin saya sampai malam begini, saya bawa kunci koq"
"Bibik sengaja menunggu Neng Dinda pulang"
"Ada apa? Tumben"
"Dimas baik-baik aja kan?" tanyanya lagi karena Bibik tidak menjawab
"Den Dimas sih baik, tapi... Bapak"
"Kenapa dengan Bapak" Dinda menutup garasi mobil, menguncinya dari dalam dan masuk rumah lewat pintu samping
"Dari tadi sore Bapak mengurung diri di kamar, Bibik ketuk pintunya ngga dijawab. Bapak belum makan. Den Dimas sih sudah Bibik suruh ke kamarnya tapi kata Dimas Bapak badannya panas"
"Ya Allah, kenapa Dimas ngga telepon aku Bik"
"Sudah koq Neng, tapi kata Den Dimas telepon Neng Dinda mati"

Dinda teringat kalau ia memang mematikan telepon dengan tujuan menghindari telepon dari kantor. Tapi ternyata.. Ia melempar tas kerjanya ke sofa dan menuju kamar Ayah. Diketuknya tapi tidak terdengar jawaban dari dalam, ia mulai khawatir. Perlahan ia membuka pintu, mengintip dan mendapati Ayah menutup tubuhnya dengan selimut.
"Ayah.. Ya Allah Ayah koq badan Ayah panas sekali. Ayah sakit?" 
Ayah terbangun, wajahnya pucat

"Biikk... tolong buka garasi, saya mau bawa Ayah ke Rumah Sakit"

-48518/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging