Tuesday, January 17, 2012

Dari Hati ke Hati (XXIV)

Sedikit lega dicampur was-was yang belum usai ketika mengetahui kedatangan keluarga Dinda mundur satu hari

"Tiket sold out Din sampaikan kepada Mas Bima dan Mba Vivi bahwa kami datangnya besok pagi. Mudah-mudahan sekitar jam sepuluh kami sudah sampai di Bandara"
"Iya Mba, nanti Dinda sampaikan" hmm naik kereta aja Mba, seru loh. Tapi Dinda menelan lanjutan kata-katanya itu. Saat ini ia belum berani untuk bercanda, walaupun dengan Erli
“Ya sudah dulu ya, kamu disana jangan terlalu banyak merepotkan orang”
“Iya Mba”
“Bagaimana dengan mualmu? Masih?” Erli bertanya kembali, jujur ia khawatir akan jauhnya keberadaan Dinda
“Masih Mba, ngga enak banget, untung Mba Vivi baik sekali, dia mengerti sekali kondisi aku, aku jadi malu”
“Baguslah kalau kamu merasa malu. Kamu lihat sendirikan semua orang menyayangi kamu Din, kamunya saja yang suka..” kata-kata Erli terpotong karena tatapan Ara

“Din, udah dulu ya, salam sama yang disana”
“Iya, makasih Mba. I miss you all”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”

Erli menekan tombol merah, Disconnected.
“Kamu kenapa sih Beb? Mendelik begitu?”
“Ya aku ngga mau kamu ngomong begitu di telpon”
“Kenapa?” Menurut aku kalau kamu mau marah-marah ya besok aja, nunggu kalian ketemu. Tuh contoh dong Ayah dan Bundamu, mereka ngga marah-marah di telpon kan sama Dinda? Tapi aku yakin kalau nanti bertemu mereka pasti akan berbicara dari hati ke hati”
“Sotoy banget deh, memangnya yang anak mereka siapa sih?? Kamu atau aku?”
“Kalau aku sih anak menantu, kalau kamu… hmmm sepertinya kamu anak pungut deh.. wakwakwak” Ara tidak lama menikmati kebahagiannya itu karena Erli sudah ‘menyerang’nya, mengelitik pinggangnya.

Hari ini semua berangkat ke Semarang, kecuali Bik Jum yang tetap harus menjaga rumah, dan Mac Gyver yang tentu saja tidak boleh naik pesawat. Mereka menumpang pesawat dengan icon singa. Masuk lewat terminal satu B, cek in dan menunggu selama kira-kira empat puluh lima menit barulah pesawat itu berangkat. Satu jam sepuluh menit kemudian mereka tiba di Semarang. Walau dengan perasaan takut tapi Dinda dan Yosi tetap menjemput mereka.

Bandara Ahmad Yani nampak lengang di Rabu pagi, tidak banyak orang bepergian karena hari ini bukan hari libur. Di sebuah restoran franchise mereka bertiga termasuk Bima menunggu. Dinda sudah mengirimkan pesan via BBM kepada Erli untuk memberitahukan bahwa mereka sudah menunggu di terminal kedatangan.

Yosi yang paling tegang, duduknya gelisah, yang ia sangat takutkan adalah Mas Nadir. 
"Tenang, Mas Nadir ngga akan macem-macem di Bandara, dia juga mengerti kali kalo ini publik area, palingan nanti kamu diajak ke Rest Room terus disana kamu digebukin" Dinda sepertinya menikmati sekali membuat Yosi ketakutan.

BB Dinda berbunyi
"Dimana Din"
"Di meja luar McD Mba, aku udah liat Mba, pakai kaos biru kan" jantung Dinda berdegup lebih kencang, ternyata ia pun merasakan takut. Tidak lama keluarga melihatnya dan menghampiri mereka. Setengah berlari Bunda mendekati Dinda, ia memeluknya, mengelus rambut Dinda, mencium pipinya, suasana itu menjadi haru oleh sikap Bunda. 

Sesampainya di rumah Bima mereka disambut oleh Vivi, berbasa-basi sebentar lalu Vivi mempersilakan para tamunya untuk makan siang. After this, i've got feeling. Dinda berujar dalam hati, walau takut mendominasi tapi disisi lain ia sangat ingin masalah ini selesai. Seperti bisul yang mau pecah, menunggunya hanya menambah siksa.

Kamar Dinda diketuk, ia mengira akan melihat sosok ayah tapi ternyata..
"Masuk Mas"
"Kamu ngga ikut makan?"
"Perutnya ngga enak, mas ngga makan?"
"Udah, baru selesai"

Diam merambat diantara mereka berdua

"Maafin Dinda ya Mas, Dinda benar-benar ngga tahu kalau akan seperti ini"
"Memang beneran kamu mau menikah sama itu anak?"
"Mungkin itu yang terbaik Mas, dia ayah dari anak ini" kata-kata kaku yang harus mulai dibiasakan oleh Dinda
"Yakin dia bisa mengurusi kamu? Andai Ayah ngga melarang udah gue hajar itu anak” kegeraman Mas Nadir akhirnya terkatakan, Dinda tidak bisa berkata apa-apa, dalam hati ia berdoa mudah-mudahan Yosi tidak mengetuk pintu kamarnya.
“Ini bukan cuma salah Yosi, tapi juga salah aku. Maafin kita Mas”

Mas Nadir menoleh, ia menatap adik bungsunya
“Kamu tahu? Kamu sangat menggoreskan luka dihati Ayah. Kamu pikir Ayah setegar yang kamu lihat? Kamu ngga memperhatikan kalau Ayah jadi lebih kurus. Beruntung kamu memiliki Bapak sebijaksana dia, kalau aku yang jadi Ayah udah aku pasung kamu. Diantara keluarga besar Ayahlah yang paling dihormati. Eyang Uti selalu menjadikan kita keluarga percontohan. Pernikahan Erli dan Ara menambah kebaikan keluarga kita bahwa walaupun dijaman sekarang sudah banyak free sex tapi keluarga kita malah mencontoh orang dulu yang menikahkan anaknya di usia muda. Dan kamu? Apa yang sudah kamu lakukan sangat membuat malu, Ayah bahkan tidak datang di arisan keluarga kemarin. Dinda..”
“Iya Mas” Dinda menahan tangisnya sekuat tenaga
“Please stop do something stupid”

Dinda lebih berharap Mas Nadir marah-marah, tidak seperti saat ini yang berbicara dengan suara datar tapi kata-katanya sangat menohok. Ia membenamkan diri dalam bantal, menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Ya aku tahu aku bertindak bodoh, tapi apakah aku tidak bisa dimaafkan? Ya Allah apakah engkau juga tidak memaafkan aku?. Ia tertidur karena lelah menangis

“Bunda” Dinda membuka mata ketika dirasakan ada seseorang menyentuhnya. Bunda dengan wajah lembutnya tersenyum, masih membelai rambut Dinda
“Kamu kenapa ngga makan? Bunda ambilkan sup ya. Supnya enak loh” Dinda ingin menggeleng, tapi ia teringat kata-kata Mas Nadir, Please stop do something stupid
“Suapin ya Bun” 
Bunda mengangguk, ia keluar kamar dan kembali lagi dengan membawakan sedikit nasi, satu mangkuk sup, buah potong, satu gelas air putih dan susu coklat hangat
“Bunda membelikan kamu susu baru, yang merk kemarin kamu ngga suka kan? Semoga yang ini tidak menambah mualmu” Dinda diam, hanya sekali-kali menatap Bunda diantara suapannya. Ia memaksakan diri untuk menerima apapun yang Bunda berikan. Sampai potongan buah terakhir.
“Udah kenyang?”
“Banget”
“Ibu hamil harus banyak makan, kalau dulu Bunda selain makan plus minum susu, Eyang Uti juga memberikan Bunda jamu, rasanya pahit tapi bagus untuk badan”
“Bunda ngga marahkan sama aku?”
“Tentu saja Bunda marah” jawaban itu mengagetkan Dinda
“Ayah, Bunda, semuanya marah sama kamu Din”
“Aku ngga tahu Bun, aku diculik”
“Kemarahan kami bukan cuma karena kepergianmu ini, tapi dari awal kamu sudah salah”
“Apakah aku ngga bisa dimaafkan?”
“Tentu saja bisa, tapi kamu telah melukai. Ibarat paku yang telah menancap di tembok. Apakah bisa dicabut? Tentu saja bisa, tapi lubangnya membekas, waktu yang akan menutupnya. Begitulah kesalahan yang sudah dilakukan Din, termaafkan tapi tidak terlupakan. Saat ini yang kami pikirkan adalah apakah akan terus menyembunyikan ini dari keluarga besar. Atau…” Bunda mengangkat bahu, lalu ia melanjutkan kata-katanya “Pasti Ayah akan lebih memilih untuk memberitahukan keluarga, karena toh percuma untuk ditutup-tutupi. Bunda hanya menunggu kesiapan Ayah”

Kenapa aku tidak bisa seperti Mba Erli yang selalu menyenangkan keluarga? Dinda berkata dalam hati.
“Lalu bagaimana dengan Yosi?”
“Ayah sedang berbicara dengan Bima dan Yosi diluar” Deg.. Ayah lagi bersama Yosi? Apa yang mereka bicarakan? Kenapa Ayah tidak berbicara denganku terlebih dahulu? Sebegitu marahnyakah ia?
“Koq Bunda ngga ikut?” Bunda tersenyum

Dinda benar-benar tidak berani keluar kamar walaupun ia sangat ingin, ia gelisah, mondar-mandir hanya membuatnya capek. Baru saja ia hendak mem-BBM Erli ketika Erli mengetuk pintu kamarnya.
“Nanti malam, last flight kita pulang. Kamu ngga apa-apakan bepergian malam-malam?” semenjak hamil kondisi Dinda memang kurang stabil, ia mudah lelah
“Malam ini? Ngga besok aja Mba?”
“Kita udah terlalu banyak merepotkan orang disini, by the way kenapa Yosi tidak mau memberitahukan keberadaannya ke orang tuanya? Apa mereka tidak mencari Yosi?”
“Sepertinya Yosi takut dijemput paksa terus dikurung dalam rumah Mba, tidak boleh lagi bertemu dengan aku”
“Oooo”
“Mba, Ayah masih bersama Yosi?”
Erli mengangguk
“Ayah meminta Yosi untuk menikahi kamu, dan tentunya menikah secara Islam. Ayah maunya sih Yosi bilang ke kedua orang tuanya tapi Yosi tidak mau. Tapi Ayah tetap bersikeras Yosi harus bilang, mencegah masalah baru”
“Terus”
“Ayah memberikan waktu dua hari kepada Yosi, kalau dalam dua hari ia tidak ada kabar Ayah akan mendatangi rumahnya. Ia sudah punya alamat rumah Yosi dan Mas Bima sudah membenarkan alamat tersebut. Bahkan Mas Bima mau membantu kalau Ayah dipersulit oleh keluarga Yosi”

Dinda menghela nafas, membayangkan kerepotan yang akan Ayah hadapi
“Mudah-mudahan Yosi memberi kabar secepatnya” ia berkata, hampir seperti kepada dirinya sendiri
“Apa ia pulang bersama kita Mba?”
“Mas Bima sudah menelpon ke Jakarta, dan orang tuanya akan menjemputnya besok”
“Ooo”
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Capek.. udah menyusahkan keluarga, wasting time, wasting energy”
“Ember. Aku jadi ngga lulus-lulus kuliah gara-gara kamu hehe” Erli mencoba mencairkan suasana. Ia tidak ingin situasi ini berakibat buruk kepada janin dalam perut Dinda.

Langit mulai gelap, adzan maghrib sudah dikumandangkan tetapi belum sekalipun Ayah mendatanginya untuk berbicara, mereka hanya berbicara ala kadarnya ketika makan malam atau diruangan lain ketika mereka berpapasan. Hal itu menambah gelisah bagi Dinda, ia benar-benar tidak bisa menebak apa yang Ayah pikirkan tentang dirinya.. Huff kenapa Ayah tidak seperti yang lain sih, yang mendatangiku dan berbicara? Apa aku saja yang mendatanginya? Tapi… mungkin besok aku akan melakukannya di rumah

Setelah berpamitan kepada Bima dan Vivi, tidak lupa mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf karena telah merepotkan, mereka masuk untuk Cek In dan duduk di ruang tunggu. Ara dan Erli menghilang secepat kilat, mencari coffee latte untuk menghangatkan mereka, Mas Nadir sibuk dengan Ipadnya. Ayah dan Bunda terlihat sedang asik membaca majalah.

Yosi 
PING!!!
Elu dimana?

Tidak lama kemudian Yosi menjawab

Hei Din, elu dimna? Msh di bandara?


Msh

Trs bagaimana Yos?
Td ngobrol sm Ayah y?

Iya, Ayah elu baik ya Din? Dia ga marah2, Mas Nadir aja tuh yang melihat gua kaya mau makan orang, hiyy sereeemm


-_-“

Trs Ayah ngomong apa lagi?

Dia Cuma minta ketegasan. Dia mau gua nikahin elu secepatnya


Trs? Lo udah ngomong sm nyokap bokap elo?


Hmm..

Udah sih, td gue telpon, mereka ngamuk-ngamuk
Mereka mau ksini bsk, smoga Mas Bima bisa bantuin ngomong sm mreka biar mengijinkan gue untuk nikahin elu

Aamiin

Eh uda dulu ya, uda masuk psawat nih

Okay, ttdj ya sayang :)


Thx

-30008/50000-  

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging