Sedikit lega dicampur was-was
yang belum usai ketika mengetahui kedatangan keluarga Dinda mundur satu hari
"Tiket sold out Din
sampaikan kepada Mas Bima dan Mba Vivi bahwa kami datangnya besok pagi. Mudah-mudahan
sekitar jam sepuluh kami sudah sampai di Bandara"
"Iya Mba, nanti Dinda
sampaikan" hmm naik kereta aja Mba, seru loh. Tapi Dinda menelan
lanjutan kata-katanya itu. Saat ini ia belum berani untuk bercanda, walaupun
dengan Erli
“Ya sudah dulu ya, kamu disana
jangan terlalu banyak merepotkan orang”
“Iya Mba”
“Bagaimana dengan mualmu?
Masih?” Erli bertanya kembali, jujur ia khawatir akan jauhnya keberadaan Dinda
“Masih Mba, ngga enak banget,
untung Mba Vivi baik sekali, dia mengerti sekali kondisi aku, aku jadi malu”
“Baguslah kalau kamu merasa
malu. Kamu lihat sendirikan semua orang menyayangi kamu Din, kamunya saja yang
suka..” kata-kata Erli terpotong karena tatapan Ara
“Din, udah dulu ya, salam sama
yang disana”
“Iya, makasih Mba. I miss you
all”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Erli menekan tombol merah,
Disconnected.
“Kamu kenapa sih Beb? Mendelik
begitu?”
“Ya aku ngga mau kamu ngomong
begitu di telpon”
“Kenapa?” Menurut aku kalau
kamu mau marah-marah ya besok aja, nunggu kalian ketemu. Tuh contoh dong Ayah
dan Bundamu, mereka ngga marah-marah di telpon kan sama Dinda? Tapi aku yakin
kalau nanti bertemu mereka pasti akan berbicara dari hati ke hati”
“Sotoy banget deh, memangnya
yang anak mereka siapa sih?? Kamu atau aku?”
“Kalau aku sih anak menantu,
kalau kamu… hmmm sepertinya kamu anak pungut deh.. wakwakwak” Ara tidak lama
menikmati kebahagiannya itu karena Erli sudah ‘menyerang’nya, mengelitik
pinggangnya.
Hari ini semua berangkat ke
Semarang, kecuali Bik Jum yang tetap harus menjaga rumah, dan Mac Gyver yang
tentu saja tidak boleh naik pesawat. Mereka menumpang pesawat dengan
icon singa. Masuk lewat terminal satu B, cek in dan menunggu selama kira-kira
empat puluh lima menit barulah pesawat itu berangkat. Satu jam sepuluh menit
kemudian mereka tiba di Semarang. Walau dengan perasaan takut tapi Dinda dan
Yosi tetap menjemput mereka.
Bandara Ahmad Yani nampak
lengang di Rabu pagi, tidak banyak orang bepergian karena hari ini bukan hari
libur. Di sebuah restoran franchise mereka bertiga termasuk Bima menunggu.
Dinda sudah mengirimkan pesan via BBM kepada Erli untuk memberitahukan bahwa
mereka sudah menunggu di terminal kedatangan.
Yosi yang paling tegang,
duduknya gelisah, yang ia sangat takutkan adalah Mas Nadir.
"Tenang, Mas Nadir ngga
akan macem-macem di Bandara, dia juga mengerti kali kalo ini publik area,
palingan nanti kamu diajak ke Rest Room terus disana kamu digebukin" Dinda
sepertinya menikmati sekali membuat Yosi ketakutan.
BB Dinda berbunyi
"Dimana Din"
"Di meja luar McD Mba, aku
udah liat Mba, pakai kaos biru kan" jantung Dinda berdegup lebih kencang,
ternyata ia pun merasakan takut. Tidak lama keluarga melihatnya dan menghampiri
mereka. Setengah berlari Bunda mendekati Dinda, ia memeluknya, mengelus rambut Dinda,
mencium pipinya, suasana itu menjadi haru oleh sikap Bunda.
Sesampainya di rumah Bima
mereka disambut oleh Vivi, berbasa-basi sebentar lalu Vivi mempersilakan para
tamunya untuk makan siang. After this, i've got feeling. Dinda berujar
dalam hati, walau takut mendominasi tapi disisi lain ia sangat ingin masalah
ini selesai. Seperti bisul yang mau pecah, menunggunya hanya menambah siksa.
Kamar Dinda diketuk, ia mengira
akan melihat sosok ayah tapi ternyata..
"Masuk Mas"
"Kamu ngga ikut
makan?"
"Perutnya ngga enak, mas
ngga makan?"
"Udah, baru selesai"
Diam merambat diantara mereka
berdua
"Maafin Dinda ya Mas,
Dinda benar-benar ngga tahu kalau akan seperti ini"
"Memang beneran kamu mau
menikah sama itu anak?"
"Mungkin itu yang terbaik
Mas, dia ayah dari anak ini" kata-kata kaku yang harus mulai dibiasakan
oleh Dinda
"Yakin dia bisa mengurusi
kamu? Andai Ayah ngga melarang udah gue
hajar itu anak” kegeraman Mas Nadir akhirnya terkatakan, Dinda tidak bisa
berkata apa-apa, dalam hati ia berdoa mudah-mudahan Yosi tidak mengetuk pintu
kamarnya.
“Ini
bukan cuma salah Yosi, tapi juga salah aku. Maafin kita Mas”
Mas
Nadir menoleh, ia menatap adik bungsunya
“Kamu
tahu? Kamu sangat menggoreskan luka dihati Ayah. Kamu pikir Ayah setegar yang
kamu lihat? Kamu ngga memperhatikan kalau Ayah jadi lebih kurus. Beruntung kamu
memiliki Bapak sebijaksana dia, kalau aku yang jadi Ayah udah aku pasung kamu.
Diantara keluarga besar Ayahlah yang paling dihormati. Eyang Uti selalu
menjadikan kita keluarga percontohan. Pernikahan Erli dan Ara menambah kebaikan
keluarga kita bahwa walaupun dijaman sekarang sudah banyak free sex tapi
keluarga kita malah mencontoh orang dulu yang menikahkan anaknya di usia muda. Dan
kamu? Apa yang sudah kamu lakukan sangat membuat malu, Ayah bahkan tidak datang
di arisan keluarga kemarin. Dinda..”
“Iya
Mas” Dinda menahan tangisnya sekuat tenaga
“Please
stop do something stupid”
Dinda
lebih berharap Mas Nadir marah-marah, tidak seperti saat ini yang berbicara
dengan suara datar tapi kata-katanya sangat menohok. Ia membenamkan diri dalam bantal,
menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Ya
aku tahu aku bertindak bodoh, tapi apakah aku tidak bisa dimaafkan? Ya Allah
apakah engkau juga tidak memaafkan aku?. Ia tertidur karena lelah menangis
“Bunda”
Dinda membuka mata ketika dirasakan ada seseorang menyentuhnya. Bunda dengan
wajah lembutnya tersenyum, masih membelai rambut Dinda
“Kamu
kenapa ngga makan? Bunda ambilkan sup ya. Supnya enak loh” Dinda ingin
menggeleng, tapi ia teringat kata-kata Mas Nadir, Please stop do something stupid
“Suapin
ya Bun”
Bunda mengangguk, ia keluar kamar dan kembali lagi dengan membawakan sedikit nasi, satu mangkuk sup, buah potong, satu gelas air putih dan susu
coklat hangat
“Bunda
membelikan kamu susu baru, yang merk kemarin kamu ngga suka kan? Semoga yang
ini tidak menambah mualmu” Dinda diam, hanya sekali-kali menatap Bunda diantara
suapannya. Ia memaksakan diri untuk menerima apapun yang Bunda berikan. Sampai potongan
buah terakhir.
“Udah
kenyang?”
“Banget”
“Ibu
hamil harus banyak makan, kalau dulu Bunda selain makan plus minum susu, Eyang
Uti juga memberikan Bunda jamu, rasanya pahit tapi bagus untuk badan”
“Bunda
ngga marahkan sama aku?”
“Tentu
saja Bunda marah” jawaban itu mengagetkan Dinda
“Ayah,
Bunda, semuanya marah sama kamu Din”
“Aku
ngga tahu Bun, aku diculik”
“Kemarahan
kami bukan cuma karena kepergianmu ini, tapi dari awal kamu sudah salah”
“Apakah
aku ngga bisa dimaafkan?”
“Tentu
saja bisa, tapi kamu telah melukai. Ibarat paku yang telah menancap di tembok. Apakah
bisa dicabut? Tentu saja bisa, tapi lubangnya membekas, waktu yang akan
menutupnya. Begitulah kesalahan yang sudah dilakukan Din, termaafkan tapi tidak
terlupakan. Saat ini yang kami pikirkan adalah apakah akan terus menyembunyikan
ini dari keluarga besar. Atau…” Bunda mengangkat bahu, lalu ia melanjutkan kata-katanya
“Pasti Ayah akan lebih memilih untuk memberitahukan keluarga, karena toh
percuma untuk ditutup-tutupi. Bunda hanya menunggu kesiapan Ayah”
Kenapa aku
tidak bisa seperti Mba Erli yang selalu menyenangkan keluarga? Dinda
berkata dalam hati.
“Lalu
bagaimana dengan Yosi?”
“Ayah
sedang berbicara dengan Bima dan Yosi diluar” Deg.. Ayah lagi bersama Yosi? Apa yang mereka bicarakan? Kenapa Ayah tidak
berbicara denganku terlebih dahulu? Sebegitu marahnyakah ia?
“Koq
Bunda ngga ikut?” Bunda tersenyum
Dinda
benar-benar tidak berani keluar kamar walaupun ia sangat ingin, ia gelisah,
mondar-mandir hanya membuatnya capek. Baru saja ia hendak mem-BBM Erli ketika
Erli mengetuk pintu kamarnya.
“Nanti
malam, last flight kita pulang. Kamu ngga apa-apakan bepergian malam-malam?” semenjak
hamil kondisi Dinda memang kurang stabil, ia mudah lelah
“Malam
ini? Ngga besok aja Mba?”
“Kita
udah terlalu banyak merepotkan orang disini, by the way kenapa Yosi tidak mau
memberitahukan keberadaannya ke orang tuanya? Apa mereka tidak mencari Yosi?”
“Sepertinya
Yosi takut dijemput paksa terus dikurung dalam rumah Mba, tidak boleh lagi
bertemu dengan aku”
“Oooo”
“Mba,
Ayah masih bersama Yosi?”
Erli
mengangguk
“Ayah
meminta Yosi untuk menikahi kamu, dan tentunya menikah secara Islam. Ayah
maunya sih Yosi bilang ke kedua orang tuanya tapi Yosi tidak mau. Tapi Ayah
tetap bersikeras Yosi harus bilang, mencegah masalah baru”
“Terus”
“Ayah
memberikan waktu dua hari kepada Yosi, kalau dalam dua hari ia tidak ada kabar
Ayah akan mendatangi rumahnya. Ia sudah punya alamat rumah Yosi dan Mas Bima
sudah membenarkan alamat tersebut. Bahkan Mas Bima mau membantu kalau Ayah
dipersulit oleh keluarga Yosi”
Dinda
menghela nafas, membayangkan kerepotan yang akan Ayah hadapi
“Mudah-mudahan
Yosi memberi kabar secepatnya” ia berkata, hampir seperti kepada dirinya
sendiri
“Apa
ia pulang bersama kita Mba?”
“Mas
Bima sudah menelpon ke Jakarta, dan orang tuanya akan menjemputnya besok”
“Ooo”
“Bagaimana
perasaanmu sekarang?”
“Capek..
udah menyusahkan keluarga, wasting time, wasting energy”
“Ember.
Aku jadi ngga lulus-lulus kuliah gara-gara kamu hehe” Erli mencoba mencairkan
suasana. Ia tidak ingin situasi ini berakibat buruk kepada janin dalam perut
Dinda.
Langit
mulai gelap, adzan maghrib sudah dikumandangkan tetapi belum sekalipun Ayah
mendatanginya untuk berbicara, mereka hanya berbicara ala kadarnya ketika makan
malam atau diruangan lain ketika mereka berpapasan. Hal itu menambah gelisah
bagi Dinda, ia benar-benar tidak bisa menebak apa yang Ayah pikirkan tentang
dirinya.. Huff kenapa Ayah tidak seperti
yang lain sih, yang mendatangiku dan berbicara? Apa aku saja yang
mendatanginya? Tapi… mungkin besok aku akan melakukannya di rumah
Setelah
berpamitan kepada Bima dan Vivi, tidak lupa mengucapkan terima kasih dan
permohonan maaf karena telah merepotkan, mereka masuk untuk Cek In dan duduk di
ruang tunggu. Ara dan Erli menghilang secepat kilat, mencari coffee latte untuk
menghangatkan mereka, Mas Nadir sibuk dengan Ipadnya. Ayah dan Bunda terlihat
sedang asik membaca majalah.
Yosi
PING!!!
PING!!!
Elu
dimana?
Tidak
lama kemudian Yosi menjawab
Hei
Din, elu dimna? Msh di bandara?
Msh
Trs
bagaimana Yos?
Td
ngobrol sm Ayah y?
Iya,
Ayah elu baik ya Din? Dia ga marah2, Mas Nadir aja tuh yang melihat gua kaya
mau makan orang, hiyy sereeemm
-_-“
Trs
Ayah ngomong apa lagi?
Dia
Cuma minta ketegasan. Dia mau gua nikahin elu secepatnya
Trs?
Lo udah ngomong sm nyokap bokap elo?
Hmm..
Udah
sih, td gue telpon, mereka ngamuk-ngamuk
Mereka
mau ksini bsk, smoga Mas Bima bisa bantuin ngomong sm mreka biar mengijinkan
gue untuk nikahin elu
Aamiin
Eh
uda dulu ya, uda masuk psawat nih
Okay,
ttdj ya sayang :)
Thx
-30008/50000-
No comments:
Post a Comment