Thursday, January 12, 2012

Disidang (XX)

"Ceritakan apa yang kamu tahu!!" Erli menunduk, tidak kuasa menatap wajah-wajah di depannya, terdengar suara Bunda yang sesenggukan, dari ekor matanya terlihat Mas Nadir yang geram, memukul tembok Rumah Sakit beberapa kali. Ayah berkacak pinggang, tepat dihadapannya menanti jawaban. Erli tahu bahwa diamnya hanya sia-sia karena suatu saat ia memang harus menceritakan yang terjadi. Ara.. untuk pertama kali dalam hidupnya ia sangat berharap Ara ada di sini, ia bagai tikus yang terjepit, semua langkah tetap merugikannya.

"Erli juga baru tahu Yah, sabtu kemarin Dinda ke rumah" ia memberanikan diri 
"It's a mistake Yah, kejadiannya waktu di Rumah Ray, waktu Ray ulang tahun. Dinda bilang itu pertama kalinya"
"Terus"
"Dinda takut sama Ayah sama Bunda, katanya ia lebih baik bunuh diri daripada ketahuan. Mereka tidak bisa menikah karena beda agama. Dinda bilang Ayah juga ngga suka sama Yosi... hik" Erli mulai menangis kembali, Bunda merangkulnya
"Karena faktor umur dan perbedaan itu, mereka memutuskan untuk menggugurkan bayi itu"
"Mereka? Mereka atau si Yosi itu yang mau?" Erli tidak pernah melihat Mas Nadir semarah itu, matanya memerah. Tadi hampir saja ia pergi mencari Yosi tapi Bunda melarangnya
"Aku sudah mencegahnya, tapi ketakutan Dinda terhadap Ayah sama Bunda lebih besar" Erli meneruskan.

Tiba-tiba Blackberry nya berbunyi, Ara is calling
"Hallo"
"Kamu lagi ngapain?" suara Ara sudah lembut kembali
"Kenapa?" 
"Hmm kenapa ya? Ngga tahu, feeling aja pengen nelpon kamu. Kamu di mana sih?"
"Di Rumah Sakit"

Setengah jam kemudian Ara tiba, ia membawa serta Mamah dan Mba Niar, itupun atas persetujuan Ayah, Ayah merasa tidak ada yang perlu ditutupi, toh pada akhirnya semuanya akan tahu, justru saat-saat seperti ini Bunda membutuhkan teman berbicara.

"Bebeebb" tangis Erli kembali pecah, Ara memeluknya erat, tidak ada sikap Ara yang dingin, semuanya menguap begitu saja
"Kenapa kamu ngga cerita sama aku?"
"Bagaimana aku mau cerita, kamunya menyebalkan begitu"
"Aawww" Ara kembali merasakan cubitan Erli

Mamah dan Mba Niar bersama Bunda, menenangkannya. Sesekali mamah menyeka air matanya, Erli beruntung mempunyai mertua dan kakak ipar yang baik, termasuk Mba Lita, walaupun ia jarang ada tapi ia selalu ada.

Disudut lain Ayah sedang berbicara dengan Dokter. Tidak terlihat Mas Nadir.

Erli mendekati ruangan dimana Dinda masih tidak sadarkan diri, Adiknya yang biasanya ceria kini terbaring lemah, dampak dari kebodohannya sendiri.

Dokter menjelaskan bahwa masa kritisnya sudah lewat, obat yang ia dapat dari klinik sudah dinetralisir. Dan berita terbesarnya adalah janin dalam kandungannya baik-baik saja.. such a strong baby

"Kalian pulang saja, malam ini Ayah yang menjaga Dinda" Ayah yang paling tenang dalam menyikapi hal ini, salah satu hal yang membuat Erli menaruh respek yang besar kepadanya  
"Bunda temani ya Yah" Ayah menggeleng, ia memeluk Bunda dan mencium keningnya, untuk pertama kalinya Erli melihat kemesraan mereka berdua, ia berjanji dalam hatinya tidak akan menyakiti hati mereka
"Kami pulang dulu ya Yah. We love you so much"

"Bik, Mas Nadir udah pulang?" Erli bertanya setelah menunggu Bunda masuk kamar, ia tidak ingin membuat Bunda tersadar akan ketiadaan Mas Nadir
"Loh bukannya tadi bareng-bareng di Rumah Sakit? Terus Non Dinda gimana keadaannya?"
"Alhamdulillah masa kritisnya sudah lewat. Itu yang paling penting Bik" Erli menjawab, tapi hatinya masih memikirkan Mas Nadir, ia takut kakaknya itu bertindak gegabah, masih terbayang keinginan Mas Nadir untuk mencari Yosi, mata kebencian itu seakan ingin menghajar Yosi sampai babak belur.

Erli menyampaikan kekhawatiran tersebut kepada Ara, mereka mulai mencari tahu bagaimana cara menemukan Yosi, karena menemukan Mas Nadir adalah suatu keniscayaan. Mas Nadir bagai ditelan bumi, BBM yang dikirim Erli bahkan tidak dibaca. Sejam berlalu tanpa petunjuk sedikit pun, Erli mencoba menelpon Yosi dari Blackberry Dinda tapi Yosi tidak menjawab. Mereka menyerah dan bersiap untuk tidur.

12.25 AM... Ara sempat melihat jam ketika telpon rumah berbunyi, ia turun dari ranjang, menuruni tangga dalam gelap tapi telpon itu sudah diangkat oleh Bik Jum 
"Halo"
"Malam, iya benar disini kediaman Pak Hendra"
"Apa??"
"Kenapa Bik?"
Bik Jum menyerahkan gagang telpon kepada Ara, wajah ngantuknya tiba-tiba berubah menjadi tegang
"Halo.."

Ara membangunkan Erli, dengan lembut dan berhati-hati ia menyampaikan apa yang ia dengar lewat telpon
"Appa??" kesadaran Erli terkumpul, seperti Bik Jum ia juga mendadak tegang
"Ya Allah apa lagi ini"
"Kita harus memberitahukan Bunda atau tidak?"
"Ngga tahu, Ayah... we should tell him"
"Bunda?"
Erli menggeleng "Let her rest, hari ini sudah cukup berat untuknya"

Mereka mendatangi Rumah Sakit, andai boleh memilih tentulah mereka tidak akan menyampaikan berita ini, tapi.. mereka perlu didampingi orang yang lebih dewasa
"Ayah" Erli menyentuh tangan Ayah, rasa tidak tega dan keharusan beradu kuat
Ayah terbangun, kaget melihat mereka berdua kembali ke Rumah Sakit pada dini hari
"Ada apa?"
"Mas Nadir di Kantor Polisi, ia di tangkap oleh Polisi Patroli"
"Hah?? Dia.... Apa.. "
"Dia mencari Yosi. Polisi menemukan mereka sedang berkelahi"
Setelah menitipkan Dinda kepada suster jaga, mereka berdua menuju ke Kantor Polisi. Setelah wawancara singkat dan membayar sejumlah jaminan Mas Nadir dibebaskan. Berbarengan dengan itu ternyata orang tua Yosi juga datang untuk menjemput anaknya.

Situasi kembali tegang karena orang tua Yosi menyudutkan Mas Nadir, dan Mas Nadir yang masih emosi menanggapinya. 
"Nadir!! kamu tunggu di mobil, Erli temani kakakmu" Erli mengangguk cepat, menggamit lengan Mas Nadir dan membawanya dari sana. Ara berdiri kaku, tidak tahu harus bagaimana.

Pak Polisi yang baik memberikan mereka ruang untuk reconcile. 

"Putra bapak dan putri saya telah melakukan kebodohan yang sangat besar, yang menyebabkan putri saya hamil, dan yang lebih mengecewakan lagi mereka berdua berusaha menggugurkan janin itu. Usaha itulah yang membuat putri saya sekarang berada di Rumah Sakit, belum sadarkan diri" Yosi yang sedari tadi menunduk terlihat kaget mendengarnya.

"Tapi bukan berarti anak bapak bisa menghajar anak saya sampai babak belur" Ibu Yosi berkata, mengindahkan perkataan Ayah.. What? Is she deaf? or dumb? Ara membatin.

"Saya meminta maaf atas perlakuan putra saya... TAPI saya juga meminta pertanggung jawaban kalian"
Ayah harus menaikkan nada suaranya beberapa oktaf ketika dilihatnya sang Ibu ingin memotong kata-katanya
"Pertanggung jawaban?" Kali ini orang tua laki-laki Yosi yang berbicara
"Iya, mereka sudah melakukan tindakan asusila, sampai menyebabkan putri saya hamil. Mereka harus menikah" Tegas Ayah
"Setahu saya, Dinda itu Islam" Ouh God why they act so cocky, Ara geram sekali melihat keluarga ini
"Mah, Pah.. Yosi mau bertanggung jawab"
"Diam kamu Yosi, you have no ride to talk. Shut your fuck up" Ara melongo mendengar papah nya Yosi berkata seperti itu, keluarga stres.

Pembicaraan itu berjalan alot, mereka tidak mau Yosi masuk Islam, mereka jelas-jelas mengancam akan membuang Yosi dan menghapus namanya dari daftar waris kalau ia tidak menuruti keluarga.

Lamat-lamat mata Dinda terbuka, sudah dua hari ia tidak sadarkan diri, tapi wajahnya terlihat lebih segar, tidak lagi kuyu
"Bunda, A...yah" ia menyapu ruangan, semua keluarga berkumpul. Perasaan takut mulai merayapinya 
"Maaf.... kan Dinda" 
Bunda memeluknya, perasaan sayang itu lebih besar daripada kekecewaan. 
"Ayah mau berbicara berdua saja dengan Dinda" yang lain saling pandang tapi tidak kuasa menolak kata-kata Ayah. Pintu ditutup dan tak ada satupun yang berani menguping. Runtuhlah pertahanan Ayah selama dua hari ini, ia menangis

"Apa salah Ayah dan Bunda? Kenapa kamu tega melakukan ini kepada kami?"
"Ayaaahh" Dinda menangis sejadi-jadinya
"Maafin Dinda"
"Apakah cara Ayah salah dalam mendidik kamu, apakah kurang landasan agama dalam rumah kita sampai-sampai kamu melakukan itu?" Ayah masih bertanya. 
Dinda berusaha meraih tangannya dan menciumnya.

"Aku terima semua hukuman yang Ayah berikan. Aku siap Ayah, bahkan sekalipun Ayah membuangku dan tidak menganggapku anak aku akan terima itu. Aku tidak mau membuat malu Ayah dan Bunda. Aku sangat menyayangi kalian, aku mencintai kalian lebih dari apapun. Apa yang aku lakukan dengan Yosi benar-benar diluar kesadaranku. Aku tidak pernah berniat mengecewakan Ayah. Demi Tuhan" bibir Erli gemetar karena menangis.

Ayah memeluknya, mereka menangis bersama. Tanpa mereka ketahui Ayahlah yang paling merasakan sakit akan kejadian ini. Ia merawat mereka dengan cinta. Bekerja keras siang dan malam, menjaga mereka dari makanan yang diharamkan agama. Berusaha mencukupi mereka dalam segi pendidikan dan kesehatan. Melindungi mereka dari pergaulan dan lingkungan yang buruk. Kejadian ini bagai pukulan telak untuk Ayah. Ia merasa bahwa ini adalah teguran kalau selama ini usahanya belum maksimal

-24116/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging