Wednesday, January 18, 2012

Namaku Dimas (XXVII)

"Heii sudah hentikan, kalian jangan ganggu anak cewek terus'
"Waahh pacarnya dateng nih"
"Yee siapa yang pacal-pacalan, Dimas itukan saudala aku tahuu"
Tapi segerombolan anak nakal itu masih saja mengganggu Irna, mengambil topi dari atas kepalanya lalu membuangnya di halaman rumput
"Iiiihh leseeh.. aku bilangin ibu gulu looohh... huhuhuhu"
"Hahaha dasar cadeell" salah seorang dari anak-anak nakal itu mendekatinya kembali, menarik ransel pink yang dipakainya. Dimas berlari ke anak tersebut dan mendorongnya sampai jatuh. Anak itu menangis.

"Dimas, apa yang kamu lakukan?" 
"Bukan salah Dimas Bu Gulu, anak-anak itu gangguin aku duluan" Irna menunjuk kepada beberapa anak cowok yang mengganggunya. Mereka menunduk
"Bayu, sudah berapa kali Ibu bilang jangan bandel, nanti kalau Orang tuamu menjemput Ibu akan adukan kelakuanmu, yang lain juga akan Ibu adukan" Bayu menunduk, sedangkan Dimas dan Irna saling melirik dan melemparkan senyum

"Namaku Dimas. Umurku lima tahun. Hobiku berenang. Cita-citaku ingin menjadi pelaut" Dimas berdiri di depan kelas, ini adalah hari pertama ia bersekolah. Ia sangat exciting ingin buru-buru sampai ke sekolah, bahkan saking inginnya ia tidak mau tidur dimalam sebelumnya 

"Aku takut kesiangan Mah" 
"Ngga sayang, Mamah akan bangunkan kamu" 
"Janji?" Dimas menyodorkan kelingkingnya 
"Janji" dan Mamah menautkan kelingking itu dengan kelingkingnya
"Jam berapa?" tanyanya lagi
"Jam lima, kan shalat subuh dulu. Oke?"
"Oke" ia menarik selimutnya, membaca Doa tidur lalu menutup kedua mata

"Kenapa pelaut Dimas?" Bu Guru bertanya
"Karena kata Mamahku, Papahku seorang pelaut, jadi aku ingin seperti Papah"
"Mah, papah mana sih? Koq aku ngga pernah ketemu?"
"Papah kamu itu sibuuuk sekali"
"Emang Papah kerjanya apa sih?"
Mamah terdiam sesaat, ia sudah menduga suatu saat pertanyaan itu akan muncul
"Berlayar. Papah keliling dunia. Jadi ia tidak bisa menemuimu"
"Berlayar itu apa?"

"Ooo begitu, Emm kalau Mamahmu bekerja tidak?" Bu Guru bertanya lagi
"Mamahku pekerjaannya menggambar, Mamah menggambar rumah, gedung, pokoknya banyak deh Bu Guru" ia masih berdiri di depan kelas, teman-teman yang lain memperhatikan sambil menunggu giliran memperkenalkan diri

"Sudah jangan menangis, kamu cengeng" Dimas kembali ke tempat duduk, disampingnya Irna duduk sambil sesekali melap matanya dengan tissue
"Huhuhuhu"
"Sudah kalau kamu ngga mau maju ke depan ya sudah bilang aja sama Bu Guru" 
"Memangnya boleh ngga maju ke depan?" berbanding terbalik dengan Dimas, Irna sangat tidak mau pergi ke sekolah. Orang tuanya harus membujuknya berulang kali sampai akhirnya ia luluh. Dan kecengengannya itulah yang membuatnya jadi bulan-bulanan anak-anak cowok di Taman Kanak-kanak tempat mereka berdua bersekolah.

"Kalian belum pulang?" salah satu Guru di TK Furqan menghampiri mereka. TK sudah sepi, bahkan anak-anak nakal yang mengganggu Irna sudah dijemput oleh orang tuanya masing-masing
"Belum datang jemputannya Bu"
"Oke Ibu akan menemani kalian sampai kalian di jemput ya"
"Telima kasih Buu"

Sepuluh menit kemudian Ara datang. Irna berlari menyongsongnya 
"Papaahh... lama banget siihhh"
"Iya maaf ya sayang, muacett banget" 
setelah mengobrol sebentar dengan Ibu Guru, Ara mengajak keduanya pulang
"Siapa yang mau makan ice cream?"
"Akuuu"
"Dimas ngga mau?" Ara menunduk melihat Dimas yang sedari tadi berdiam diri
"Aku mau pulang aja Om"
"Loh koq begitu? Ngga mau makan ice cream dulu?"
Dimas menggeleng
"Yaa Dimass.. ikut yaa, ayo doongg" Irna sudah pasang ancang-ancang untuk menangis, Irna memang pintar mengintimidasi orang lain, terkadang tidak dapat dibedakan apakah ia sungguh-sungguh menangis atau hanya berpura-pura. Saat ini yang Dimas mau hanya pulang, banyak sekali yang ingin ia ceritakan kepada Mamahnya, tapi lalu ia menyadari kalau Mamahnya sedang bekerja. Jadi.. 
"Iya deh, tapi jangan lama-lama yah"
"Horee"


Dinda baru sampai rumah jam tujuh malam, selama menunggu kedatangan Dinda Dimas tidak henti-hentinya melongok melalui jendela kamarnya di lantai dua, kamar yang dulu ditempati Erli dan Ara. Ia begitu gelisah tidak sabar ingin menceritakan apa yang dialaminya di sekolah.

"Den Dimas, makan dulu yuk, pesan Mamahnya Aden, Aden baru boleh main PSP kalau sudah makan" Bik Jum merayu. Tapi Dimas tidak mau makan, tidak juga berselera main PSP

"Mamah koq belum pulang ya Bik"
"Biasanya juga pulangnya malam kan Den"
"Iya tapikan aku mau cerita sama Mamah"
"Cerita sama Bibik aja" Dimas menoleh, melihat wajah Bibik
"Ngga mau ah" ia menarik bed cover sampai menutupi kepalanya
"Eh Aden jangan begitu, nanti kepanasan" Bibik berusaha menarik bed cover itu tapi Dimas menahannya dengan kuat
"Ngga maaauu"

"Duh ada apa ini teriak-teriak, suaranya terdengar sampai bawah"
"Mamaaahhh" Dimas melompat dari tempat tidurnya, memeluk kaki Dinda
"Kenapa ini anak Mamah yang bandel?" Dinda berjongkok lalu memeluk Dimas. Selama ini Dimas lah yang menjadi pelipur laranya, teman dikala senang dan penyemangat dikala sedih. Anak kecil lima tahun itu bisa menjadi teman bicara yang baik, walau bahan pembicaraan mereka masih sangat terbatas tapi Dimas dengan rasa ingin tahunya yang besar selalu menanyakan kondisi sang ibu. Ia akan memeluk Dinda dari belakang ketika Dinda bersedih dan ia akan bertanya "Mamah kenapa?", atau ketika Dinda sedang sibuk di depan laptopnya dengan wajah serius Dimas akan mendatanginya dan berkata "Mamah lagi kerja ya? Mau susu ngga?" lalu bila Dinda mengangguk ia akan berlari menemui Bik Jum untuk meminta tolong dibuatkan susu hangat. Pernah suatu kali ada tetangga baru yang mempunyai seekor anjing yang galak. Anjing itu terlepas dari rantai dan mengejar Dinda, tapi dengan beraninya Dimas melempari anjing itu dengan batu sampai anjing itu pergi ketakutan.

"Mamah udah makan belum?"
"Emm belum, Dimas?"
"Belum juga, aku mau makan bareng Mamah"
"Ya sudah ayo kita makan"
"Mamah ngga mandi dulu? Iih bau"
"Hehe.. memangnya Dimas masih bisa menunggu? Belum terlalu lapar?
"Belum, Mamah mandi aja dulu"
"Okeh.. Siap Komandan"
Dimas tertawa, Dinda merasa sangat beruntung memiliki Dimas, walaupun ia harus berjuang tanpa kehadiran seorang suami tapi memiliki Dimas adalah anugrah yang luar biasa. Terkadang bayangan aborsi yang pernah ia lakukan muncul kembali dan ia bersyukur Dimas tetap bertahan dalam keadaan itu. Ia memang anak yang kuat. Ia malaikatku, terima kasih Ya Allah. Dinda mencium kening Dimas sebelum memasuki kamarnya.

"Jadi, tadi belajar apa di sekolah?"
"Buaanyaaak sekali" Dimas tidak jadi menyuap makanan yang sudah ada disendoknya "Mamah tahu ngga masa Irna nangis dikelas gara-gara ngga mau maju, terus dia juga diganguin sama anak-anak dikelas. Tapi untung ada aku, aku yang belain dia. Terus masa mereka bilangnya begini "Eh eh ada pacarnya tuh" Ih masa masih kecil udah pacar-pacaran ya Mah" Dinda hanya mendengarkan kata-kata putra kecilnya sambil tersenyum, makanan di piring mereka tidak tersentuh, mereka lebih asik berbicara. Binar mata Dimas sangat sayang untuk tidak diperhatikan. Sesekali tangannya bergerak menambah keseruan cerita. Ah Yosi andai kamu bersama kami, kamu akan sangat bangga dengan putramu.


-33929/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging