Wednesday, January 18, 2012

Puncak-nya Cinta (XXVI)


Seluruh keluarga besar akhirnya tahu, Eyang Uti hanya bisa menangis. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sekarang bagaimana caranya agar bubur itu bisa tetap bisa dimakan. Ada yang simpati dan turut prihatin namun ada juga yg mencibir. Bagi Dinda itu semua tidak terlalu menjadi persoalan, cukuplah keluarga inti memback-up nya.

“Bunda, kog ngga arisan? Tadi kata Marsha hari ini arisannya dirumah dia, Ibunya menanyakan Bunda”
“Oh ya? Masa sih hari ini? Bunda kirain besok” kebenarannya adalah Bunda tahu kalau hari ini arisan dikocok tapi ia memilih untuk tidak datang. Para ibu-ibu tetangga komplek yang berpenampilan wah itu sudah membicarakan putrinya, Bunda menghindar.

“Masih bisa koq kalau Bunda mau kesana, baru mulai kata Marsha” Marsha adalah sedikit orang yang masih bersikap 'normal' akan kehamilan Dinda.

“Bunda sibuk Din, tadi Tante Mira menelpon ada yang pesan kue untuk besok pagi, Bunda buru-buru” Tante Mira sahabat Bunda mempunyai toko roti di depan komplek, ia sering menelpon Bunda untuk memesan beberapa jenis kue yang memang Bunda sangat ahli dalam membuatnya.

“Hmm.. Kapan-kapan kita jalan-jalan yuk Bun, udah lama banget nih ngga refreshing”
“Boleh, mau kemana?”
“Puncak aja yang dekat”
“Nanti Bunda bilang ke Ayah ya”

Dinda mengangguk cepat, bukan hanya ia yang butuh refreshing tapi mereka semua. Dinda bahkan berencana untuk mengajak Bik Jum.

“Assalamu’alaikuummm” Erli masuk lewat pintu samping meninggalkan Ara yang memarkir motornya di garasi
“Wa’alaikumsalam.. ceria banget. Ada apa nih?”
“Iyaa doong, hari ini ku gembira, melangkah di udaraa” Erli mendendangkan lagu lama tahun delapan puluhan yang ia sendiri tidak tahu siapa penyanyinya, ia hanya pernah mendengar lagu tersebut dari koleksi kaset Bunda

“Memang ada apa?” Dinda penasaran
“Tebak dooong”
“Ngga maaau, kasih tahuu”
“Hihi.. aku bacain aja yaa.. eemmm jadwal wisudaku tanggaaall”
“Haah anak Bunda udah lulus toh. Alhamdulillaahh, akhirnyaa”
“Ih Bunda begitu banget siihh”
“Ya habis kelamaan kamu kuliahnya, Bunda udah capek biayain tahu”
“Yee”

Ara masuk dan menambah kebahagiaan itu dengan mengatakan bahwa ia telah diterima kerja, dan sekali lagi Bunda mengatakan “Akhirnya”. Dinda memperhatikan kakaknya, ada perasaan iri dan teringat kepada Yosi.. Nasib orang berbeda-beda.. dan beginilah nasibnya.

Keinginan Dinda dikabulkan Ayah, mereka berangkat Jum’at malam menuju puncak, tidak ingin repot dengan makanan dan lainnya Ayah memilih menginap di Hotel. Bik Jum yang baru pertama kali menginap di hotel membuat Dinda tertawa dengan ulahnya. Ia berendam di malam hari dan setelah itu menggigil kedinginan, lalu ia memilih naik tangga daripada naik lift.

“Ih Bibik jangan norak gitu sih, Bibik kan pernah naik lift di Jakarta”
“Ngga pernah Neng, Bibik pernahnya naik eskalator. Itu juga kalau mau ke Diamond disuruh belanja sama Ibu. Bibik ngga pernah naik lift”

Di ruang makan ketika mereka sarapan pagi, Bibik berbisik “Nanti Bibik nyuci piringnya dimana?” kontan saja mereka tertawa mendengarnya. Keceriaan itu hadir kembali walau ada yang kurang karena Mas Nadir tidak ikut, ia lebih memilih menghabiskan waktu dengan calon istrinya “Nadir, kamu sudah waktunya menikah, jadi carilah calon istri. Bukan cari pacar” begitu warning Ayah kepadanya, dan iapun menuruti.
 
“Bibik belum pernah ke Taman Safari kan?” Bibik menggeleng, ia duduk di meja yang sama dengan yang lain, menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh chief hotel sambil sesekali ia bertanya apa resep makanan itu dan mengomentari rasanya. Lalu Erli akan menyuruhnya mengecilkan suara “Sttt nanti didengar sama yang masak loh Bik” “Memang kenapa Non?” “Nanti Bibik diusir” dan Bik Jum akan diam.

Setelah menghabiskan seharian di Taman Safari mereka check in di hotel yang lain, beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk jalan-jalan esok hari.

“Waah ternyata di Puncak banyak tempat wisata ya Neng, ada Taman Safari, ada Taman Topi, ada Taman Matahari, kalau di Jakarta mah paling adanya cuma Taman Menteng sama Taman Suropati itu juga kecil dan elek tenan. Belum lagi Facto.. Facto apa Neng namanya”

“Factory Outlet” Dinda yang sudah mengantuk di ranjang sebelah menjawab. Ayah memang memesan tiga kamar, dua kamar untuk Ayah dan Bunda juga untuk Ara dan Erli, lalu satu kamar untuk Dinda dan Bik Jum
“Brrr dingin Neng, ac nya kecilin ya.. Neng” Dinda sudah terlelap.

Di kamar lain Ayah dan Bunda membicarakan putra putrinya, merencanakan apa yang terbaik untuk mereka di kemudian hari.

“Aku ingin membeli sebuah rumah, rencananya sih untuk Nadir kalau ia menikah nanti” Ayah merangkul Bunda yang tidur disampingnya
“Oh ya? Di daerah mana Yah” saat-saat seperti ini yang disukai Bunda, pertemuan kulitnya dengan kulit suami tercinta, mendengar degup jantung sang suami dengan sangat jelas.

“Cibubur” tangan Ayah menyapu anak rambut dari kening sang istri
“Terus yang lain bagaimana? Erli dan Dinda”
“Hmm itulah yang aku pikirkan, untuk sementara ini aku hanya bisa membeli satu rumah. Pada dasarnya anak perempuan yang telah menikah menjadi tanggung jawab penuh sang suami, suamilah yang harusnya melengkapi kebutuhannya”

“Iya sayang harusnya begitu. Tapi situasinya berbeda. Erli menikah di usia muda yang Ara jauh dari mapan. Dan Dinda.. hhhh kondisinya lebih parah lagi. Aku sering mendapatinya melamun. Mata cerianya yang dulu tergantikan dengan mata sayu, kadang-kadang ia seperti orang yang frustasi, tidak tahu mau dibawa kemana hidupnya”
“Kamu harus terus mengawasinya sayang”
“Insya Allah, hmm mungkin untuk Erli kita bisa memberikan uang muka untuk membeli rumah, tabunganku cukup untuk itu, dan kalau Dinda yaa.. tetap stay sama kita”
“Tidak sekarang, Ara baru saja diterima kerja. Gaji yang didapat paling-paling baru cukup untuk biaya hidup sehari-hari mereka berdua. Kita tidak perlu menambah beban mereka dulukan? Kalau aku lebih concern untuk membawa Erli ke dokter, usia pernikahannya sudah cukup lama tapi.. ia belum juga hamil..”
“Iya akupun berpikir begitu, mungkin nanti setelah ia wisuda aku akan membawanya ke dokter” Bunda mengelus dada Ayah, memainkan bulu-bulu halus dengan jarinya ”Aku cuma takut ada perasaan iri ketika mereka tahu Ayah membelikan rumah untuk Nadir” lanjutnya lagi

“Mereka tidak mungkin punya pikiran seperti itu?”
“Kenapa tidak?”
“Karena mereka mewarisi sifat ibunya yang baik hati” 
Malam yang dingin itu tidak terasa dingin bagi dua insan yang selalu mencinta, selalu ada kehangatan disana. Hangat yang ditimbulkan oleh dua jiwa yang terpaut dan kehangatan lain yang disebabkan bertemunya dua fisik.


Nomer itu muncul kembali dilayar Blackberry Erli, nomer yang hampir saja ia lupakan siapa pemiliknya. Ia menutup balkon agar Ara yang sedang berada dikamar mandi tidak mendengarnya.

“Halo”
“De’.. aku tiba-tiba teringat kamu, aku kangen kamu.. sungguh”
“Mas, sudah berapa kali aku bilang untuk melupakan aku”
“Aku ngga bisa De’”
“Pasti bisa Mas, kembalilah kepada istrimu. Lihat ia dengan cinta karena sesungguhnya kamu mencintainya”
“Aku mencintaimu”
“Tidak, itu bukan cinta, itu nafsu. Mas tolonglah aku tidak ingin suamiku sampai tahu mengenai hal ini…”
“Kemana Erli yang dulu yang mencintaiku”
“Aku tidak pernah mencintaimu.. aku hanya.. hanya pernah berada disituasi yang membutuhkan seseorang, dan kamu ada disana. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tapi.. seperti yang pernah aku bilang, hubungan kita semu Mas”
“Jadi kamu hanya memanfaatkan aku?”
“Apa kamu tidak merasakan hal yang sama? Memanfaatkan kesendirianku untuk mengisi kesendirianmu juga?”
“Tapi aku mau lebih dari itu”
“Tidak Mas, tolong jangan ganggu aku, aku ingin menjadi istri yang baik, aku juga ingin menjadi… ibu yang baik untuk anak-anakku..”
“Aku bisa memberikanmu banyak anak seperti yang kamu mau”
“Tidak terima kasih. Saat ini aku sedang hamil Mas, doakan yah semuanya berjalan lancar. Aku minta maaf telah banyak salah sama kamu. Sudah dulu ya Mas. Assalamu’alaikum” 
Andi diam, entah apa yang ia rasakan tapi Erli harus tegas menyudahi hubungan yang tidak jelas ini.

“Beb, koq malam-malam diluar, memang ngga dingin?” Ara menghampirinya
“Ngga, karena hatiku sedang hangat”
“Wuiihh pujangga nih hehe”
Erli memeluk Ara, membenamkan kepalanya didada orang yang dicintainya Maafkan aku Ara, maaf karena pernah menduakanmu.

“Beb..”
“Iya sayang”
“Aku hamil”

-32872/50000-

No comments:

Post a Comment

Friends *ThankU ;)

About Me

My photo
i collecting words around me on my post
Penguin Jogging